Senin, 31 Januari 2011

Etika Belajar Menurut Imam Az-Zarnuzi

ETIKA BELAJAR MENURUT AZ-ZARNUZI

Oleh : Drs. Aipin Muslim

I. Pendahuluan

Perkembangan ilmu-ilmu budaya manusia lebih terbelakang dari ilmu-ilmu kehidupan dan ilmu-ilmu alam. Teknik-teknik yang menyangkut aspek budaya manusia pun berkemban pula sesuai dengan itu. Teknik-teknik penerapan ilmu sosiologi, psikologi, pendidikan, politik dikembangkan lewat penelitian-penelitian statistika. Dalam bidang komunikasi masa, bisa terjadi pengurasan otak manusia brain washing¬-lewat propaganda, periklanan, atau teknik-teknik komunikasi masa lainnya. Penyebaran dan pengendalian isu bisa menimbulkan anggapan massa tokoh yang sesungguhnya benar menjadi bersalah. Etika dengan demikian semakin dikehendaki peranannya, karena dalam bidang ilmu ini lebih langsung menyangkut kemanusiaan. Andaikan perkembangan dua kelompok ilmu yang lain, teknik-teknik yang berkembang di bidang ilmu budaya itu negatif, berarti lebih dahsyat pengaruhnya pada kemanusiaan. Dengan begitu etika semakin dituntut peranannya. Sehubungan dengan itu, maka didalam belajar pun perlu ada Etika yang mengatur, sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan balajar itu sendiri. Dalam kaitan ini etika belajar setiap langkah dan tingkah laku guru sangat diperlukan. Karena dengan itu penampilan guru akan terarah dengan baik, bahkan akan terus bertambah baik. Ia akan terus mengembangkan profesinya sebagai guru. Kalau etika belajar yang merupakan pedoman atau pegangan itu tidak dihiraukan berarti akan kehilangan pola umum sebagai guru. Kepribadian guru akan terlihat bagaimana pemanfaatan dan pelaksanaan dari etika belajar. Etika belajar yang dimaksud adalah etika belajar menurut Az-Zarnuji seorang pemikir Islam yang hidup di abad ke 6 Hijriyah. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang Etika belajar Menurut Az-Zarnuzi dengan maksud untuk:

  1. Menemukan Idealisasi Islam tentang Etika belajar menurut Az-Zarnuji, yang dikaji dari aspek teoritis dan formal, dengan menjawab pertanyaan, apa etika belajar menurut Az-Zarnuzi ?
  2. Melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses dan perilaku Etika belajar menurut Az-Zarnuzi, yang kajiannya secara praksis dan substansial dengan menjawab pertanyaan, Bagaimana Isi, ciri-ciri / karakteristik etika belajar menurut Az-Zarnuzi?
  3. Melakukan iedalisasi dari perspektif Islam terhadap relevansi dan nilai guna etika belajar menurut Az-Zarnuji dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, wilayah kajiannya yang ditinjau dari sisi Aksiologi, dengan menjawab pertanyaan mengapa etika belajar penting dalam penyelenggaraan pendidikan Islam?

II. Telaah Pustaka

Dalam kaitan etika pembelajaran paling tidak terdapat tiga paradigma tentang pandangan Islam mengenai Etika Pembelajaran, pertama paradigma Integratif yaitu: antara etika pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan Islam. Kedua paradigma simbiotik, yang memandang bahwa etika pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan Islam berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Ketiga paradigma instrumental, yaitu bahwa Etika pembelajaran merupakan instrumen atau alat bagi pengembangan Pendidikan Islam dan realisasi nilai-nilai Islam.

Agama memang potensial dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan, karena agama memiliki beberapa kemungkinan fungsi terhadap pendidikan. Pertama, agama merupakan sumber motivasi bagi pembangunan, yaitu faktor yang mendorong dan menggugah manusia dan masyarakar untuk membangun. Kedua, agama merupakan sumber inspirasi bagi pembangunan, yaitu faktor yang dapat menyumbangkan nilai dan ide bagi pembangunan. Ketiga, agama merupakan sumber evaluasi bagi pembangunan, yaitu bahwa agama dapat dijadikan sebagai alat ukur dan bahkan alat kritik untuk kebaikan proses pembangunan. (M. Din. Syamsudin, ”Etika agama dalam membangun masyarakat madani”, jakarta, Logos wacana Ilmu, 2002 :44).

Ada dua pendekatan yaitu pendekatan formalistik dan pendekatan substantivistik, pendekatan formalistik lebih mementingkan bentuk, sementara pendekatan substantivistik lebih cenderung mengedepankan isi ke timbang bentuk atau simbol. Kedua kelompok ini juga menampilkan perbedaan mendasar pada aktualisasi keyakinan keagamaan (religius belief) kedalam aksi pendidikan. Yang formalis cenderung memformalkan bentuk/simbol-simbol agama, sedangkan yang substantivisme cenderung melakukan subtansi agama dalam proses pendidikan.( M. Din. Syamsudin, ”Etika agama dalam membangun masyarakat madani”, jakarta, Logos wacana Ilmu, 2002 : 67 ). Etika adalah unsur penting yang terdapat dalam teori nilai. Yang banyak membahas teori baik dan buruk, benar dan salah. Etika mengandung pengertian: 1). Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. 2). Etika berarti kumpulan asas atau moral. Misalnya kode etik; dan 3). Etika merupakan ilmu tentang yang baik dan yang buruk. (Cecep Sumarna, “Filsafat Ilmu”, Bandung, Mulia Press, 2008:209). ecara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak. Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin Mor (bentuk tunggal) dan more (bentuk jamak) yang sering diartikan sebagai kebiasaan. Mengutif Siti Ghazbala (1981: 335), etika bersifat ideal dan hanya terkait dengan ide-ide. Ia merupakan suatu yang abstrak, tidak dapat disentuh panca indera. Manusia hanya dapat melihat perilaku manusia lainnya yang mengandung nilai. (Cecep Sumarna, “Filsafat Ilmu”, Bandung, Mulia Press, 2008:210 )
Menurut sastraprateja (1984) yang dikutif oleh M. Amin Aziz, sekurang-kurangnya ada enam tugas pokok etika pembelajaran: “1). Harus mengolah sikap yang sadar dan kritis mengenai tujuan-tujuan pembelajaran, tidak hanya yang secara formal terjadi dalam proses pembelajaran. 2). Menganalisa proses pembelajaran dari dalam dan mengisolasi nilai-nilai dan arti-arti yang tersembunyi di balik proses pembelajaran itu. 3). Merumuskan pedoman-pedoman atau prinsip-prinsip dasar sebagai orientasi dalam menentukan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam proses pembelajaran. 4). Membangun kerangka teoritis yang terpadu. 5). Berdialog dengan ilmu-ilmu lainnya. 6). Menyadarkan manusia akan tanggung jawab baru dalam mengelola kekuatan-kekuatan yang telah dibangunnya sendiri.

Secara harafiah “etika pembelajaran” berarti sumber Etik. Etik artinya tata susila (etika) atau hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan, jadi “etika belajar” diartikan sebagai aturan tata susila dalam proses belajar mengajar. Dalam hal ini kesusilaan diartikan sebagai kesopanan, sopan-santun dan ke adaban. (Sardiman A.M.,”Interkasi dan Motivasi Belajar Mengajar” Jakarta, Raja Grafindo Perkasa, 1996:149) Etika belajar, dengan demikian adalah kaidah-kaidah moral, norma atau aturan tata susila yang mendasari perilaku dalam melaksanakan belajar itu. Etika belajar membicarakan kaidah moral bagaimana teknik danteknologi yang diterapkan dalam pelaksanaan belajar.

III. PEMBAHASAN

A. Riwayat Singkat Az-Zarnuji

Tetapi sebelum menjelaskan satu persatu dari tata urut, norma-norma dan etika belajar diatas akan dijelaskan secara singkat tentang biografi Syaikh Az-Zarnuji.
Kata Saikh adalah panggilan kehormatan untuk pengarang kitab ini. Sedangkan Az-Zarnuji adalah nama marga yang diambil dari nama kota tempat beliau berada, yaitu kota Zarnuj. Diantara dua kata itu ada yang menulis gelar Burhanuddin (bukti kebenaran agama), sehingga menjadi Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji. Adapun nama personnya sampai sekarang belum ditemukan literatur yang menulisnya. (Aliy As’ad, “Terjemah Ta’lim Muta’alim Bimbingan bagi penuntut Ilmu Pengetahuan” Kudus, Menara Kudus, 2007 : ii). Zarnuj masuk wilayah Irak. Tetapi bisa saja kota itu dalam peta sekarang masuk wilayah Turkistan (kini Afganistan) karena berada di dekat kota Khoujanda, memang tidak banyak diketahui tahun kelahiran Az-Zarnuji, tetapi diyakini beliau hidup dalam kurun waktu yang sama dengan Az-Zarnuji yang lain. Seperti halnya Az-Zarnuji kita ini, Az-Zarnuji lain yang nama lengkapnya Tajuddin Nu’man bin Ibrahim Az-Zarnuji juga seorang ulama besar dan pengarang yang wafat tahun 640 H / 1242 M. Sedangkan wafatnya Saikh Az-Zarnuji yang penulis buku Ta’lim Muta’allim wafat sekitar tahun 593 H. (Ibid)

B. Pengertian Etika Belajar

Sebagaimana di jelaskan diatas bahwa Etika belajar berkaitan erat dengan tata susila, norma-norma dan aturan-aturan dalam proses belajar mengajar, maka berikut ini akan dijelaskan tentang bagaimana konsep Syaikh Az-Zarnuji tentang Etika belajar.

Menurut Saikh Az-Zarnuzi Etika belajar meliputi: Bagimana berniat dalam belajar, bagaimana memilih guru, teman, dan ketabahan di dalam belajar, kemudian bagaimana penghormatan terhadap ilmu dan ulama, bagaimana keseriusan, ketekunan, dan minat dalam belajar, permulaan belajar, tawakal dalam belajar, dan waro’ dalam belajar. Itu semua adalah etika dan norma-norma serta tata urut belajar menurut Az-Zarnuji yang dijelaskan dalam bukunya Ta’lim Muta’alim. Dari batasan yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa etika belajar adalah suatu proses dalam mendapatkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan, sehingga ilmu itu bermanfaat bagi kehidupannya, lingkungannya dan bangsanya. Yang merupakan pola belajar yang di dasarkan pada niat yang tulus dan ikhlas yang disesuaikan dengan minat dan bakatnya, yang disampaikan oleh guru yang cerdas dan profesional dan teman-teman sebaya yang saling mendukung dalam proses belajar demi tercapainya tujuan belajar.

C. Karakteristik Etika Pembelajaran

Secara jelas di dalam kitab Ta’lim Muta’alim-nya Syaikh Az-Zarnuzi tidak tertera tentang karakteristik etika belajar, tetapi ada beberapa hal yang menjadi catatan dan menarik perhatian, yaitu bahwa Az-Zarnuji memberikan rambu-rambu bagi para penuntut ilmu yaitu:

1. Niatkan mencari ilmu dengan tulus dan ikhlas semata-mata karena Allah SWT.

2. Dalam memilih ilmu yang akan dipelajari (jurusan) disesuaikan dengan dirinya (minat dan bakatnya), serta memilih guru harus orang yang alim (banyak ilmu / mumpuni), bersifat wara’ dan lebih tua.

3. Dalam bergaul carilah teman yang tekun belajar, bersifat wara’, bertawakal dan yang istiqamah.

Ketiga hal diatas dapat dikatakan sebagai karakteristik belajar menurut Az-Zarnuji.

1. Niat. Menurut Syaikh Az-Zarnuji penuntut ilmu wajib niat sewaktu belajar, sebab niat itu merupakan pokok-pokok dalam segala perbuatan. Sebaiknya bagi penuntut ilmu dalam belajarnya berniat mencari Ridlo Allah, kebaikan akhirat, membasmi kebodohan diri sendiri dan sekalian orang-orang bodoh. Mengembangkan agama dan mengabdikan Islam, sebab keabadian Islam itu harus diwujudkan dengan ilmu, sedangkan berbuat zuhud dan takwa itu tidak jika tanpa ilmu. Dalam menuntut ilmu hendaknya diniatkan juga untuk mensyukuri atas kenikmatan akal dan kesalehan badan; hendaklah jangan berniat mencari popularitas, tidak untuk mencari harta dunia, juga tidak untuk mencari kehormatan di mata penguasa dan semacamnya. Jadi menurutnya dasar dari menuntut ilmu adalah sebuah niat yang Ikhlas semata-mata karena Allah Swt, untuk kemaslahatan umat, Kemashlahatan Agama Dan kemashlahatan bangsa, karena niat demikian adalah bagian dari sikap zuhud dan takwa. Tanpa didasari niat yang tulus dan ikhlas didalam pembelajaran maka tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Niat yang tulus dan ikhlas dalam belajar merupakan pilar utama yang mendukung terciptanya iklim belajar yang kondusif yang akan berpengaruh pada kualitas dan intensitas serta harmonisasi dalam kegiatan belajar mengajar. Dan niat ini pula yang menjadi pijakan bagi siswa maupun guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya masing. Sehingga tidak akan terjadi dikotomi belajar yang dilakukan oleh guru, murid maupun pihak-pihak yang terkait dengan belajar itu sendiri.

2. Memilih jurusan.Dalam memilih ilmu (mentukan pilihan bidang Studi / jurusan) para santri harus memilih ilmu/bidang studi yang paling baik atau paling cocok dengan dirinya. Suatu bidang ilmu yang dikaji akan sangat menarik dan menantang bagi mereka yang menyenanginya dan yang merasa cocok dengan bidang ilmu itu, sehingga motivasi berprestasi dari santri/siswa akan mendorongnya untuk tekun belajar, keseriusan dalam mengerjakan tugas-tugas, serta kedisiplinan yang tinggi dalam mengikuti seluruh proses belajar yang mengajar, bahkan proses itu tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah/kampus ataupun pondok saja. Proses itu akan menjadi sumber kekuatan dimanapun dan kapanpun, sehingga dalam konteks ini proses belajar mengajar tidak lagi mengenal tempat dan waktu, karena setiap saat dimana saja para santri/siswa dapat terjadi proses belajar mengajar. Adapun cara memilih guru/kiai carilah yang alim, yang bersifat wara’ dan yang lebih tua. Seorang guru yang baik dan menyadari profesinya sebagai guru, maka alim/cerdas adalah syarat mutlak bagi guru. Di samping itu juga keteladanan dan sifat wara’ seorang gurupun tidak kalah pentingnya. Sebab keteladanan merupakan pengalaman belajar yang paling mudah dan paling gampang diingat oleh santri/siswa. Olehnya paling tidaknya, sedikitnya seorang guru memiliki sifat keteladanan yang baik yang berakhlakul karimah dan bersifat wara’ (teliti dan hati dalam segala hal).
Para santri tidak akan memperoleh ilmu dan tidak ilmu tidak bermanfaat, tanpa mau menghormati ilmu dan gurunya. Bagian dari menghormati guru diantaranya adalah tidak berjalan di depannya, tidak duduk ditempatnya, jika dihadapannya tidak memulai bicara kecuali mendapat ijinnya, tidak bertanya sesuatu bila guru sedang bosan / capek, harus menjauhi hal-hal yang menyebabkan guru murka, mematuhi perintah asal tidak bertentangan dengan agama, tidak boleh menyakiti hati gurunya.Kaitanya dengan hal diatas dapat diartikulasikan sebagai bentuk penegasan tentang etika murid terhadap guru dan bidang studi yang dipelajarnya. Karena dengan pola aturan diatas akan terjadi harmonisasi antara santri/murid dengan guru/sang kyai, antara santri/murid dengan bidang ilmu yang dipelajarinya.Bagian dari menghormati ilmu diantaranya adalah; tidak memegang kitab kecuali dalam keadaan suci. Karena ilmu adalah cahaya dan wudhu pun cahaya, sedangakan cahaya ilmu tidak akan bertambah kecuali dengan berwudhu. Dilarang meletakkan kitab didekat kakinya, tidak meletakan sesuatu di atas kitab, santri harus bagus dalam menulis, tulisannya harus jelas. Termasuk menghormati teman dan orang yang mengajar bagian dari menghormati ilmu.

3. Bergaul dengan teman sebaya. Seorang santri harus memilih teman dengan orang yang tekun belajar, bersifat wara’ dan bertawakal istiqamah. Dan orang yang suka memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi. Para santri harus bersungguh-sungguh dalam belajar,harus tekun, santri tidak boleh banyak tidur malam hari. Para santri harus menggunakan waktu malam untuk belajar dan beribadah, supaya memperoleh kedudukan tinggi di sisi-Nya. Jangan banyak makan agar tidak ngantuk. Santri harus mengulang-ulang pelajarannya pada waktu malam dan akhir malam, yaitu antara Isya dan sahur, karena saat-saat itu diberkahi. Para pelajar harus memanfaatkan waktu mudanya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Mencari ilmu harus sabar pelan tapi pasti dan kontinyu, santri harus bercita-cita tinggi dan harus bersungguh-sungguh. Para santri harus sering mendiskusikan suatu pendapat/masalah dengan teman-temannya. Diskusi tersebut harus dilakukan dengan tenang, tertib, tidak gaduh, tidak emosi karena itu semua adalah pilar di dalam berdiksusi, sehingga tujuan dari diskusi dapat tercapai. Belajar dengan cara diskusi dan dialog lebih efektif dari pada belajar sendiri. Para penuntut ilmu harus mengurangi hubungi duniawi sesuai dengan kemampuannya. Para penuntut ilmu seharusnya tidak menyibukan diri kecuali hanya menuntut ilmu.Menuntut ilmu itu mulai dari ayunan (masih kanak-kanak) sampai ke liang kubur (mati). Masa muda harus digunakan untuk menuntut ilmu sebaik-baiknya. Adapun waktu belajar yang paling baik ialah menjelang waktu subuh dan antara waktu magrib dan isya. Orang berilmu harus menyayangi sesama , senang kalau orang lain mendapat kebaikan, tidak iri hati (hasad). Santri harus sibuk melakukan kebaikan dan menghindari permusuhan. Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan, dan tidak halal. Para santri harus menambah ilmu setiap hari agar dapat kemuliaan, harus selalu membawa buku dan pena untuk menulis ilmu yang bermanfaat yang ia dengar setiap saat. Setiap santri juga harus bersikap wara’ (menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halal-haramnya). Adapula hala-hal yang perlu diperhatikan oleh santri yaitu hal-hal apa saja yang dapat menguatkan hafalan ialah tekun/rajin belajar, katif mengurangi makanan, salat malam, dan membaca Al-Qur’an. Makan kundar (kemeyan) dicampur madu, dan makan dua puluh satu anggur merah setiap hari tanpa air, dapat menguatkan hapalan dan dapat menyembuhkan macam-macam penyakit. Dan apa saja yang dapat mengurangi dahak, bisa mnehuatkan hafalan, dan apa saja yang menambah dahak itu menyebabkan lemahnya hafalan. Adapun yang merusak hafalan adalah banyak berbuat maksiat, banyak dosa, banyak susah, prihatin memikirkan urusan harta, dan terlalu banyak kerja. Mengerjakan shalat dengan khusyu’ dan menyibukan diri untuk mencari ilmu dapat menghilangkan penderitaan dan kesusahan. Hal-hal yang menyebabkan cepat lupa ialah makan ketumbar basah, makan apel yang asam, melihat orang yang dipancung, membaca tulisan dikuburan, melewati barisan unta, membuang ketombe hidup ditanah dan melukai di bagian tengkuk kepala untuk menghilangkan rasa pusing-pusing. Para santri pun dianjurkan untuk menghindari dusta, menghindari tidur pagi karena dapat menyebabkan miskin harta dan miskin ilmu. Ilmu dikumpulkan dengan meninggalkan tidur, di larang tidur dengan telanjang, kencing dengan telanjang, makan dalam keadaan junub dan lain-lain sampai menyepelekan shalat itu semua dapat menjauhkan rejeki dan mendekatkan kepada kefakiran.

D. Pentingnya Etika Belajar dalam Pendidikan Islam

Pendukung utama tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia yang bermutu adalah pendidikan yang bermutu. Proses pendidikan yang bermutu tidak hanya cukup dilakukan melalui tranformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga harus didukung oleh peningkatan profesionalisme dan sistem manajemen tenaga pendidik serta pengembangan kemampuan peserta didik. Kemampuan ini tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial, kematangan intelektuaktual dan sistem nilai peserta didik. Di wilayah inilah etika pembelajaran berperan. Dunia pendidikan Islam sudah sepatutnya memperhatikan wilayah garapan etika pembelajaran dan menerapkannya dalam proses berlangsungnya transper ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga akan melahirkan karakterisitik peserta didik yang memiliki kematangan mental, Intelektual dan spritual yang harus menjadi ciri khas dari model pendidikan Islam. Sejalan dengan harapan di atas Pendidikan Islam di Indonesia mau tak mau, siap tak siap, harus menerapkan etika pembelajaran yang sesuai dengan ajaran Islam dan tidak ketinggalan jaman dengan kemajuan teknologi, sehingga menghasilkan outcome yang berkualitas. Yang siap bersaing dengan siapun dan dengan model apapun.

IV. A n a l i s a

Islam menempatkan adab (etika) sebagai sebuah karakter yang penting dimiliki oleh seseorang, sebelum ia belajar dan agar bisa memperoleh manfaat dari ilmu yang dikajinya. Tidak ada ilmu yang memberikan manfaatnya jika adab-adabnya dilanggar dan dikacau-balaukan. Etika ini menyangkut niat; hubungan dengan guru, teman dan ilmu itu sendiri; kesungguhan, komitmen, semangat; tahapan belajar; berserah diri kepada Allah; bersikap wara' (menjauhi yang haram dan syubhat); dan seterusnya. Syekh az-Zarnuji menulis, "Saya melihat mayoritas mahasiswa dan pelajar di zaman ini berusaha keras untuk menyelesaikan studi namun gagal mendapatkan manfaat ilmu, atau minimal terhalang untuk mencapainya, yakni mengamalkan dan menyebarkannya, sebab mereka keliru memilih jalannya dan tidak memenuhi persyaratan-persyaratannya. Dan, siapa pun yang keliru memilih jalan, ia pasti tersesat, gagal mencapai maksud dan tujuannya, baik sedikit maupun banyak.". Imam Malik bin Anas ketika kecil dan hendak berangkat mencari ilmu, dipanggil oleh ibunya, "Kemarilah, saya akan mengenakan untukmu pakaian ilmu." Sang ibu kemudian mendandani Malik kecil dengan pakaian yang pantas, lalu berkata, "Sekarang temui Rabi'ah, pelajarilah adab sebelum ilmunya." Rabi'ah adalah salah seorang ulama' Madinah yang sangat gemilang di masa itu, lengkapnya Rabi'ah ar-Ra'yi bin Abi 'Abdurrahman Farrukhi.

Unsur yang memegang peranan penting dalam pendidikan adalah anak didik. Anak didik adalah manusia yang akan dibentuk oleh dunia pendidikan. Ia adalah objek sekaligus subjek, yang tanpa keberadaannya proses pendidikan mustahil berjalan.Al-Zarnuji dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan anak didik, lebih mengaksentuasikan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang perlu dimiliki oleh para pelajar. Kepribadian yang harus dimiliki oleh murid, sebagimana dikatakan al-Zarnuji adalah setiap murid harus mempunyai sifat-sifat; tawadu’, ‘iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), tabah, sabar, wara’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan tawakal yaitu menyerahkan segala perkara kepada Allah. Di samping itu, al-Zarnuji juga menganjurkan agar dalam menuntut ilmu, murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru, keluarganya, sesama penuntut ilmu lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang ada, ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan. Persyaratan-persyaratan tersebut, bagi penulis merupakan persyaratan yang bersifat rohaniah. Ini tidak berarti dia mengabaikan persyaratan yang bersifat jasmaniah, seperti kebutuhan makan, minum, dan kesehatan. Namun, persyaratan jasmaniah adalah merupakan persyaratan yang melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari, sedangkan persyaratan rohaniah tidak demikian

.Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan atmosfir akademik dan nilai estetik relasi antara guru dan murid sebagaimana dituangkan dalam Ta’lim al-Muta’allim, yakni pertama, titik tolak pemikiran pendidikan al-Zarnuji bermula dari pembicaraan tentang substansi dan esensi kehidupan. Dia cenderung menggunakan term-term tasawuf dalam pemikiran pendidikannya. Oleh karena itu, al-Zarnuji sangat menekankan pendidikan akhlak. Baginya, pendidikan yang utama adalah berangkat dari hal-hal yang substansial, yakni masalah moral (akhlak). Dengan kata lain, dari masalah yang substansi dan esensi ini akan melahirkan perform yang sejati. Pola hubungan atau relasi antara guru dan murid dalam Ta’lim al-Muta’allim sebagaimana dianjurkan al-Zarnuji adalah semacam “laboratorium” pembelajaran akhlak untuk relasi yang lebih besar. Relasi ini dijiwai oleh sifat-sifat sufi seperti tawadhu’, sabar, ikhlas, penuh pengertian, dan saling menghormati. Ketika murid telah memiliki “pengalaman” relasi hidup sebagaimana dalam “laborat akhlak” maka yang akan muncul adalah pribadi-pribadi dengan bobot kualitas sebagaimana formulasi dalam laborat tersebut. Harapan yang akan terjadi adalah munculnya relasi yang sebenarnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sikap sebagaimana disebut di atas, kehidupan akan harmonis karena tidak ada “dominasi”, intimidasi, kecongkakan, keserakahan, dan kemunafikan. Perang, teror dalam berbagai bentuk, invasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah wujud dari dominasi agresif manusia atas manusia lain. Pola relasi yang tidak nyaman ini akibat dari teralienasinya masalah moral (akhlak), sebagaimana diingatkan oleh al-Zarnuji. Relasi dan interaksi atas dasar keramahtamahan dan saling menghormati sebagaimana dilakukan Nabi menjadi rujukan utama kitab ini. Di samping itu, guru dalam Ta’lim al-Muta’allim memiliki peran sentral. Hal ini menjadi sangat beralasan, karena pemikiran sufistik al-Zarnuji sangat kental di dalamnya. Dalam tradisi sufi, seorang mursyid memiliki peran sentral dalam transfer ilmu. Pandangan demokratis al-Zarnuji tampak pada “keleluasaan” seorang murid untuk memilih dan menentukan gurunya. Hal ini menjadi sangat penting dalam proses pengembangan diri seorang murid. Secara psikologis, manakala siswa dalam keadaan “terpaksa” atau “terintimidasi”, maka yang terjadi adalah formalis.Yakni seolah-olah belajar, namun bukan muncul dari motivasi diri, tetapi karena “terpaksa”. Sekali lagi, budaya formal (formalitas) seringkali mengakibatkan kehancuran. Budaya pendidikan di jaman modern terkadang memburu formalitas, sehingga memunculkan “budaya yang penting”, dengan diperoleh dengan cara apapun, sekalipun tidak diperbolehkan.

V. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:

  1. Sayikh Az-Zarnuji hidup di abad ke 6 H / 13 M, di daerah di kota Zarnuj dekat kota Khounjanda diwilayah Irak pada masa itu tetapi sekarang masuk wilayah Afganistan.
  2. Ajaran-ajaran etikanya kebanyakan membahas masalah etika dalam menuntut ilmu yang dalam istilah ini disebut etika belajar.
  3. Adapun hal yang mendasar dari ajaran etika belajar adalah berkaitan dengan;

a) Ketulusan dan keihklasan niat dalam menuntut dan memberikan ilmu, ini hal yang terpenting karena seorang guru ataupun siswa ketika mereka dalam proses belajar mengajar harus dengan niat yang tulus dan ikhlas sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan baik dan lancar, serta tujuan dari pembelajaran akan tercapai secara optimal.

b) Sikap bersungguh-sungguh dan keseriusan dalam menutut dan memberikan ilmu, dengan susngguh-sungguh sesulit apapun dan sesusah apapun pelajaran akan dapat dipahami dan dimengerti dengan baik, sehingga kesugguhan dan keseriusan menjadi faktor keberhasilan dalam menuntut ilmu.

c) Wara’ adalah sikap kehati-hatian yang harus dimiliki oleh pendidik mapun peserta didik, ketelitian dan kehati-hatian bagian dari etika dalam proses belajar, karena kesalahan adalah hal yang menyebabkan kerusakan.

  1. Syaikh Az-Zarnuji pun memberikan tip tentang upaya peningkatan hapalan dengan: rajin belajar, mengurangi volume makan, shalat malam, sering membaca al-Qur’an, sebelum belajar harus berdoa, banyak membaca salawat untuk Nabi, makan kemeyan dicampur madu dilakukan setiap hari, menghindari makanan asam.

DAFTAR PUSTAKA

As-Syekh Ibrohim bin Ismail, Syarah Ta’lim Muta’alim, Surabaya, Syirkah An Nur,tt

Ali As’adi, Tejemahan Ta’lim Muta’alim Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Kudus, Menara Kudus, 2007.


al-Abrasy, M. Athiyah. 1987. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang.


al-Abrasyi, M. Athiyah. TT. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Terj. Syamsuddin et. al. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

.
al-Maududi, Abu al-A’la. 1990. al-Khilafah wa al-Mulk, Terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, Cet. III.

Arifin, H.M. 1991. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.


Khan, Muhammad Abdurrahman. 1986. Sumbangan Umat Islam terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan. Bandung: Rosdakarya.

Mahali, A. Mudjab dan Umi Mujawazah Mahali. 1992. Kode Etik Kaum Santri. Bandung: al-Bayan.


Mukhtar, Affandi. 1995. “Ta’lim al-Muta`allim Thariq al-Ta’allum”, dalam Lecture. Cirebon: LKPPI.

Jumat, 21 Januari 2011

Filsafat Pendidikan Islam

MATERI PENDIDIKAN IDEAL DALAM LINGKUP NKRI

Drs. Aripin Muslim

I. Pendahuluan

Maraknya tawuran, kasus bullying, dan fenomena kriminalitas di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi, menimbulkan sebuah tanda tanya besar akan realisasi fungsi Pendidikan Nasional, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003. Pendidikan Nasional yang pada hakikatnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata berbanding terbalik dengan berbagai realitas yang ada.

Adalah sebuah ironi, dimana Indonesia selalu menjadi pemborong medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains internasional, namun di sisi lain, kasus siswa-siswi cacat moral seperti siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba, plagiatisme, dan sejenisnya, senantiasa marak menghiasi sejumlah media. Bukan hanya terbatas pada peserta didik, lembaga-lembaga pendidikan maupun instansi pemerintahan yang sebenarnya mereka adalah orang-orang penyandang gelar akademis, pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral, sebagai pelaku korupsi. Komponen bangsa lainnya yang mengaku sebagai penganut agama yang taat, tapi melakukan kekerasan terhadap yang berbeda faham atas nama agama, membunuh, merampok, menganiaya membakar merupakan hal biasa,

Berbagai fenomena di atas menuntut agar sistem pendidikan dikaji ulang. Dalam hal ini, kurikulum sebagai standar pedoman pembelajaran belum sepenuhnya mengejawantahkan tujuan utama pendidikan itu sendiri, yaitu membentuk generasi cerdas komprehensif (IQ, EQ, dan SQ). Sebagaimana disebutkan, bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.Oleh karena itu, diperlukan reformasi pendidikan, demi memulihkan kesenjangan ektrim antara kualitas intelektual (IQ) dengan nilai-nilai moral spritual (ESQ). Tulisan ini akan berusaha mencari jawaban dari berbagai problema dekadensi moral bangsa dalam kaitannya dengan pendidikan, terutama mengenai materi pendidikan untuk bangsa yang multikultur ini.

II. Pengertian Pendidikan Ideal

Sesungguhnya terdapat berbagai cara atau alternatif dalam rangka mendidik anak. Pendidikan ideal bukan semata mengedepankan perkembangan intelegensia, tapi juga membina spiritual dan pengendalian emosional. Terhadap pembinaan spiritual, mengenalkan Allah atau ma'rifatullah sejak dini merupakan langkah awal. Selanjutnya, memberi arahan bagaimana ia beriman, dengan mengetahui rukun iman dan rukun Islam bukan sekedar hafalan. Pengetahuan keagamaan dapat memupuk dan menebalkan rasa keimanan mereka kepada Allah SWT.

Berkenaan dengan perkembangan kecerdasan emosional, sangat perlu pembiasaan berakhlaqul karimah. Pembiasaan ini dapat melalui interaksi sosial yang ditanggapi secara positif, seperti mengajrkan anak untuk menolong orang, tidak menang sendiri, menghargai pemberian orang, rendah hati, dan masih banyak kebiasaan baik lainnya.

Dalam hal pengasahan logika, orang tua tidak bisa memaksakan kehendak kepada anak. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan di bidang mana anak itu dominan, maka di situlah sebaiknya dipupuk dan dikembangkan.

Pendidikan ideal tidak lupa melatih kemandirian anak. Kemandirian bisa dilatih dari hal-hal kecil, mulai dari berjalan sendiri, berpakaian tanpa dibantu, makan sendiri dan mengatur barang-barangnya sendiri. Kebiasaan ini akan terbawa hingga besar. Pelatihan kemandirian akan berbeda seiring dengan perkembangan usianya. Pada usia sekolah lanjutan, kemandirian ini dapat dikembangkan melalui kegiatan berorganisasi

Arahan pendidikan ideal tidak akan berjalan tanpa adanya komunikasi efektif antara pendidik (orang tua, orang terdekat, guru) dan anak. Sesibuk apapun, komunikasi harus tetap berjalan Sebagai pendidik perlu mengutamakan quality time dalam setiap kesempatan berinteraksi dengan anak, sambil mencontohkan berbahasaa yang baik dan benar serta bersikap tegas dan berpendirian.

Dalam rangka penerapan pendidikan ideal pada anak, terdapat beberapa cara efektif yang disukai oleh anak, antara lain dilakukan sambil bermain, di alam terbuka, sambil diajak berfikir dan berdialog mengenai benda-benda dan kejadian alam, berkesperimen, bernyanyi, berjalan-jalan, atau keterlibatannya dalam tugas rumah dengan maksud bukan untuk memperbudak anak.

Hingga akhirnya ditemukan target keberhasilan pendidikan ideal, yaitu membentuk manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT, mampu menggunakan logikanya secara baik, berinteraksi sosial dengan baik dan bertanggung jawab. Dengan kata lain, pendidikan ideal adalah membina potensi spiritual, emosional dan intelegensia secara optimal. Ketiganya terintegrasi dalam satu lingkaran.

III. Landasan Idiil Penyelenggaraan Pendidikan Nasional

1. Pengertian Landasan Pendidikan

Secara leksikal, landasan berarti tumpuan, dasar atau alas, karena itu landasan merupakan tempat bertumpu atau titik tolak atau dasar pijakan. Titik tolak atau dasar pijakan ini dapat bersifat material (contoh: landasan pesawat terbang); dapat pula bersifat konseptual (contoh: landasan pendidikan). Landasan yang bersifat koseptual identik dengan asumsi, adapun asumsi dapat dibedakan menjadi tiga macam asumsi, yaitu aksioma, postulat dan premis tersembunyi. Pendidikan antara lain dapat dipahami dari dua sudut pandang, pertama dari sudut praktek sehingga kita mengenal istilah praktek pendidikan, dan kedua dari sudut studi sehingga kita kenal istilah studi pendidikan. Praktek pendidikan adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang atau lembaga dalam membantu individu atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan pedidikan. Kegiatan bantuan dalam praktek pendidikan dapat berupa pengelolaan pendidikan (makro maupun mikro), dan dapat berupa kegiatan pendidikan (bimbingan, pengajaran dan atau latihan). Studi pendidikan adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam rangka memahami pendidikan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan pendidikan adalah asumsi-asumsi yang menjadi dasar pijakan atau titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.

2. Jenis-jenis Landasan Pendidikan

Ada berbagai jenis landasan pendidikan, berdasarkan sumber perolehannya kita dapat mengidentifikasi jenis landasan pendidikan menjadi:

a. Landasan religius pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari religi atau agama yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.

b. Landasan filosofis pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari filsafat yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studI pendidikan.

c. Landasan ilmiah pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari berbagai cabang atau disiplin ilmu yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan. Tergolong ke dalam landasan ilmiah pendidikan antara lain: landasan psikologis pendidikan, landasan sosiologis pendidikan, landasan antropologis pendidikan, landasan historis pendidikan, dsb. Landasan ilmiah pendidikan dikenal pula sebagai landasan empiris pendidikan atau landasan faktual pendidikan.

d. Landasan yuridis atau hukum pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan

3. Fungsi Landasan Pendidikan

Landasan-landasan pendidikan tidak tertuju kepada pengembangan aspek keterampilan khusus mengenai pendidikan, melainkan tertuju kepada pengembangan wawasan kependidikan yang berkenaan dengan berbagai asumsi yang bersifat umum tentang pendidikan yang harus dipilih dan diadopsi oleh tenaga kependidikan sehingga menjadi cara pandang dan bersikap dalam rangka melaksanakan tugasnya. Berbagai asumsi pendidikan yang telah dipilih dan diadopsi oleh seseorang tenaga kependidikan akan berfungsi memberikan dasar rujukan konseptual dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan yang dilaksanakannya. Dengan kata lain, fungsi landasan pendidikan adalah sebagai dasar pijakan atau titik tolak praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.

4. Pancasila Sebagai Landasan Idiil Penyelenggaran Pendidikan

Pancasila yang berkedudukan sebagai Dasar Negara adalah landasan idiil sistem pendidikan di Indonesia. Pancasilalah yang secara filosofos menjadi landasan pijakan sekaligus tujuan ideal penyelenggaraan pendidikan di negara kita. Konsekwensi logisnya adalah iklim pendidikan di Indonesia harus kondusif terhadap terciptanya manusia yang Pancasilais, dalam arti:

a. Memiliki kuitur religius, sesuai tuntutan Sila Ketuhanan yang adil dan beradab.

b. Memiliki komitmen yang tinggi terhadap keutuhan bangsa, sesuai kehendak sila Persatuan Indonesia.

c. Mampu mengembangkan kultur demokratis sesuai Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.

d. Memiliki kepedulian terhadap terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kata lain. Sistem pendidikan nasional merupakan sistem yang dibangun di atas landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila sebaga falsafah bangsa merupakan sumber sekaligus cita-cita ideal bangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945, selain landasan konstitusional, sekaligus merupakan norma operasional dari Pancasila. Pancasila sebagai idiologi terbuka, diyakini memiliki nilai multicultural. Nilai ini bisa dimaknai dari setiap sila Pancasila. Nilai abstrak multicultural dalam Pancasila menjadi agak konkrit semangatnya dalam UUD 1945 Pasal 32 ayat (1), “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Harus digarisbawahi dalam pasal ini kata-kata negara …menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Pasal ini harus dibaca dalam satu tarikan nafas dengan pasal sebelumnya yakni pasal 31 ayat (3) yang menyatakan,

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Pembacaan dalam satu tarikan nafas, maka akan terbaca, konstitusi memerintahkan adanya suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia dan kecerdasan dan menjamin berkembangnya nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya dapat diartikan sebagai etika kehidupan multicultural . Pembacaan dalam satu alur semangat harus dilakukan karena tujuan meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia dan kecerdasan tidak boleh menghambat pengembangan nilai-nilai multkultural, serta sebaliknya bahwa pengembangan nilai-nilai multicultural tidak boleh menghalangi tujuan meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia dan kecerdasan.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

IV. Materi Pendidikan Ideal dalam UU No.20/2003

1. Pendidikan Moral Bangsa Untuk Mengatasi Problem Multikultural

Faktor esensial konflik adalah lemahnya moralitas berbangsa dalam segala bidang, yakni bidang politik, hukum, ekonomi, budaya, olah raga, bahkan prilaku beragama. Solusi yang ditawarkan adalah pendidikan moral secara integral dalam sistem pendidikan nasional. Tuntutan sifat integralistik pendidikan moral didasarkan alasan bahwa prinsip dan norma multikultural dalam sistem pendidikan nasional harus diletakkan dalam satu tarikan nafas dengan norma dan prinsip meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan moral berbangsa, termasuk moral bermultikultural, harus hidup dalam proses pembelajaran semua mata pelajaran, serta keseluruhan kehidupan pendidikan.

Dari segi prilaku, moral merupakan ekspresi positif yang teridentifikasi dalam bersikap, berpikir, dan berbuat. Tindakan bermoral terekspresikan dalam segala bentuk prilaku kebaikan pada segala bidang kehidupan, seperti kehidupan hukum, kehidupan ekonomi, kehidupan budaya (multikultural), kehidupan beragama, kehidupan politik, dan kehidupan lainnya. Tindakan bermoral merupakan aktualisasi dari kesadaran konflik, karena konflik biasanya dipicu oleh adanya tindakan tak bermoral

2. Model Pendidikan Masa Depan

Ada beberapa kecenderungan yang akan terjadi pada Abad 21.

Pertama, kita akan memasuki pasar bebas inin berarti akan terjadi suatu interaksi antar Negara di dalam investasi bisnis barang maupn jasa. Interaksi itu menuntut bangsa Indonsia mampu bersaing. Untuk itu diperlukan peningkatan kemandirian, kerja keras serta etos kerja yang tinggi.

Kedua, tuntutan otonomi akan emakin gencar. Pembangunan saat ini telah menghasilkan antara lain peningkatan kemampuan bangsa. Tingkat pendidikan semakin tinggi, rasa percaya diri juga semakin tinggi. Hal itu menimbulkan keinginan untuk menuntut otonomi semakin luas. Akbatnya pendidikan pun akan semakin beralih dari sentralisasi ke desentralisasi.

Ketiga, masyarakat kita akan semakin menjadi masyarakat madani, yakni masyarakat yang memilki disiplin tinggi, masyarakat yang disiplin tinggi merupakan cirri masyarakat industri.

Keempat, pada masa dating peran swasta akan semakin besar. Ini sehubungan dengan semakin cerdasnya penduduk dan semakin tingginya kesadaran akan tenggung jawab.

Kelima, akan terjadi perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industry. Hal ini akan menimbulkan kegoncangan, dislokasani, disorientasi dan negatifisme.

Adapun karakteristik abad 21 antara lain, pertama, masyarakat tanpa batas. Kedua, kegiatan di bidang ilmu akansemakin tinggi. Ketiga, akan timbul kesadaran akan hak dan kewajiban (HAM). Keempat, perdagangan bebas yang melahirkan kompetisi. Kelima, masa rasionalisme diperkirakan akan semakin kuat pengaruhnya.Keenam, globalisasi akan melahirkan sikap materialism dan hedonism.

Dari pemahaman tentang kecenderungan dan karakteristik abad ke 21 tersebut, maka materi pembelajaran yang ditawarkan adalah:

1. Pendidikan agama agar melahirkan siswa yang berahlak mulia

2. Pendidikan bahasa inggris aktif, agar mampu berkomunikasi dan bekerjasama di tingkat dunia pada zaman global.

3. Pendidikan keterampilan kerja sekurang-kurangnya satu macam, agar lulusannya dapat mencari kehidupan sendiri tanpa harus menjadi mencari lowongan kerja.

V.Kesimpulan

Solusi inovatif untuk mengatasi dekadensi moral bangsa melalui Pendidikan

yaitu dengan:

1. Mengembangkan program pendidikan berbasis moral;

2. Memposisikan pendidikan multikultural sebagai misi intergral dalam sistem pendidikan nasional sehingga semangat multikultural hidup pada semua komponen pembelajaran;

3. Mengembangkan kebijakan pembangunan nasional yang berbasis moral, antara lain melalui strategi pembinaan kehidupan bergama, pendidikan politik bangsa, kebijakan ekonomi, dan penegakkan keadilan hukum.

4. Menyajikan materi kependidikan agama, bahasa dan keterampilan untuk semua jenjang pendidikan.

REFERENSI

Ahmad Tafsir, (2010). Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural (makalah)

Choirul Mahfud. (2008). Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mudyahardjo, Redja, (1998), Filsafat Ilmu Pendidikan dan Pengembangan Fakultas Ilmu Pendidikan: Sebuah Studi Filosofis tentang Pendidikan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung.

------------------, (2001), Filsafat Ilmu Pendidikan, Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung

Muhaimin Luthfie,( 2009). Kebijakan Departemen Agama Tentang Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Bandung, LP2M

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.