Jumat, 15 Oktober 2010

Islam Radikal

FUNDAMENTALISME ISLAM;
AKAR IDEOLOGIS MMI DAN HTI
Oleh: Drs. Aripin Muslim

A. Pendahuluan
Pandaangan yang menggeneralisasikan islam sebagai agama pedang kini sudah mulai memudar dan tuduhan kekerasan secara spesifik lebih diarahkan kepada fundamentalisme islam yang dianggap mempunyai ideologi ekstrim dan cenderung melegimitasi kekerasan dalam mencapai tujuan.
Kehawatiran ini datang dari kalangan non-muslim dan kalangan muslim sendiri, terutama muslim yang liberal dan akomodis, khawatir akan kekerasan yang potensial dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim radikal dan efeknya terhadap citra islam di mata dunia. Di Indonesia kekhawatiran ini menjadi kenyataan, misalnya, kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah, penyerangan berbagai tempat maksiat. Kekhawatiran terhadap terorisme dan fundamentalisme islam juga mengakibatkan kecurigaan terhadap masyarakat muslim meningkat, hingga mempersulit akses mereka ke Negara-negara lain.
Menyadari meningkatnya kekhawatiran terhadap fundamentalisme islam, tulisaan ini akan berusaha mengungkap akar ideologis dua organisasi islam fundamentalis Indonesia, Majelis Mujahidin (MMI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), selain itu berusaha menemukan sisi perbedaan metodologi perjuangan di antara dua organisasi islam tersebut.

B. Pengertian Fundamentalisme
Istilah fundamentalisme muncul di kalangan para penganut Kristen Protestan di Amerika Serikat, sekitar tahun 1910-an. Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada Fundamen agama Krisrten melalui penafsiran terhap kitab suci agama itu sendiri secara literalis Mereka ini merupakan bagian dari reaksi kalangan konservatif terhadap peerkembanngan teologi liberal-modernisme dan gejala sekularisme.
Istilah fundamentalis awalnya berasal dari umat Kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Namun kemudian berkembang dan seringkali dipergunakan untuk merujuk pada setiap aliran yang keras dalam menganut dan menjalankan ajaran formal agama, secara ekstrim dan radikal dalam berfikir dan bertindak. Hingga komunitas islam yang berkarakter semacam itu mendapat pengaruh dan disebut fundamentalis.
Mempertimbangkan historis dan fenomena fundamentalis Kristen, sementara orang menolak penggunaan istilah fundamentalisme untuk menyebut gejala keagamaan di kalangan muslim. Tetapi terlepas dari keberatan-keberatan itu, ide dasar yang terkandung dalam istilah fundamentalisme islam terdapat kesamaan dengan fundamentalisme Kristen; yakni kembali kepada Fundamentals (dasar-dasar) agama secara penuh dan literal, bebas dari kompromi, penjinakkan dan reinterpretasi.
Istilah pundamentalisme islam di sini merujuk kepada paradigma “hitam-putih” atau “benar-salah” dan karakter totalitarianisme yang menganggap islam sebagai satu-saatunya sistem yang layak untuk mengatur dunia secara universal dalam bergai aspek; moral,spiritual, ekonomi, politik,hukum, sosial dan budaya. Karakter demikian sangat menonjol pada dua organisasi islam di Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (IHTI), sebagaimana tercermin pada ambisi mereka untuk menegakkan Syati’at Islam di Indonesia atau Khilafah Islamiyah.

C. Profil Singkat MMI dan HTI
MMI didirikan pada bulan Agustus tahun 2000 sebagai hasil kongres Mujahidin di Yogyakarta. Tokoh kuncinya Abu Bakar Ba,asyir sebagai Amirul Mujahidin. Mereka mengklaim bahwa kehadiran mereka dinantikan oleh umat islam di Indonesia yang merindukan penerapan syari’at islam. Mereka berambisi untuk menjadi organisasi basis (tansiq) bagi organisasi, kelompok atau individual muslim yang mempunyai orientasi dan metode geraakak yang sasma untuk memperjuangkan penerapan syari’ah islam di Indonesia.
Sementara Hizbut Tahrir Indonesia (secara lugowi berarti partai pembebasan) sebenarnya adalah sebuah organisasi internasional yang didirikan di Yerusalem pada tahun 1953 oleh ulama berkebangsaan Palestina, Tqiyuddin al-Nabhani. Basis utama Hizbut Tahrir adalah di Yordania dasn Lebanon. Tidak Jelas kap[an HTI didirikan diIndonesia, tetapi ,yang jelas ideologinya telah hadir di Indonesia sejak Taqiyuddin al-Nabhani mengunjungi Indonesia pada tahun 1972.

D . Akar Ideologis MMI dan HTI
0MMI dan HTI kedua-duanya sangat gigih dalam memperjuangkan penegakkan system silam untuk menggantikan system sekuler. MMI bertujuan menerapkan (formalisasi) syai’ah islam di Indonesia dan Hizbut Tahrir mengusung ide Pan-nasionalisme yang bertujuan mengembalikan supermasi islam pada abad pertengahan dalam bentuk mendirikan pemerintahan islam secara internasional, khilafah islamiyah. Usaha kedua organisasi ini untuk menegakkan system islam dibuktikan dengan berbagai program mereka. Mereka kerap kali menggelar forum-forum publik untuk mempromosikan syari’ah isalam. MMI telah menerbitkan draft usulan UUD dan Hukum Pidana yang disesuaikan dengan hukum islam. Mereka mengirimkan draft alternative ini kepada berbagai pihak. Sementara HTI, disamping berbagai diskusi publik, telah menerbitkan beberapa buku yang menjelaskan berbagai aspek dalam hukum islam atau khilafah islamiyah, termasuk antara lain, sistem ekonomi, pemerintahan hubungan luar negeri, cara mengatasi kemiskinan, bendera dalaam khilafah islamiyah dan sebagainya. Melalui bulletin mingguan , Al-Islam, dan jurnal bulanan Al-Wa’ie, mereka merespon menganalisa isu-isu yang berkembang dengan orientasi kritik terhadap kegagalan system sekuler dan keunggulan system islam sebagai alternative.
Meereka yakin bahwa penerapan sistem islam adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kondisi umat islam yang terbelakang dan teraniaya. Mereka juga meyakinkan bahwa penerapaan sistem islam sebenarnya bukan hanya kepentingan umat islam, tetapi juga non-muslim yang akan diperlakukan secara adil dalam pemerintahan islam. Penerapan hukum islam adalah bagian penting keislaman seseorang dan kebutuhan esensial manusia secara umum. Tidak diterapkannya hukum islam berarti kufur dan fasik (Q.S. 5: 44-47). Bagi MMI penerapan hukum islam adalah perwujudan dari kepatuhan total terhadap Allah. Sebagimana tugas manusia di dunia adalah untuk berribadah kepadda Allah (Q.S. 51: 56), Abu Bakar Ba’asyir ddengan mengutip Ibnu Taymiyah, mendefinisikan ibadah sebagai kepatuhan terhadap segala peerintah Allah, termasuk penerapan hukum islam secara menyeluruh Ini adalah bentuk lengkap dari ibadah. Menurut Ba’asyir Allah mengamcam keras mereka yang menerapkan hukum islam secara parsial dengan ancaman siksas neraka dan keterpurukan di dunia (Q.S. 2: 85). MMI mengecam umat isalam yang menolak syari’at islam dan menuduh mereka munafiq dan dan condong kepada kepada kehidupan yang penuh konflik. Untuk itu penerapan hukum islam bagi MMI, adalah tuntutan mutlak. Bagi mereka hanya ada dua alternatif, yaitu, “penerapan hukum islam atau mati dalam jihad di jalan Allah demi tegaknya system islam”.
Demikian juga, penerapan sistem islam secara menyeluruh bagi HTI adalah manifestasi keimanan, konsekwensi logis dari kewajiban untuk melakssanakan islam secara menyeluruh (Kafah) dan realisasi dai kewajiban untuk memilih pemimpin, Khalifah (Bai’ah). Kewtiadaan khalifah, bagi HTI adalah kondisi yang mewajibkan muslim untuk menyatakan perang terhadap pemerintahan sekuler. Penerapan khilafah islamiyah adaalah transformasi ddari situasi Darul Kufri (Negara Kufur) menuju Darul Isalam (Negara Islam). Tegaknya Khilafah islmaiyah adaalah isu vital bagiumat islam karena tanpa kepemimpinan terpadu umat islam seluruh dunia telah mengakibatkan keterpurukan dalam bentuk terpecah belah menjadi Negara-negara yang terpisah dan dipimpin atau dikendalikan oleh Negara-negara Kafir.
Lebih jauh MMI meyakini bahwa ketiadaan hukum islam akan mengundang murka Allah sehingga Ia akan mengirim manusia ke posisi rendah, bencana dan pertikaian antar mereka. Hal ini didasarkan kepada Qur’an surat An-Nurt ayat 63 : Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah Rasul itu takut ditimpa fitnah (kehancuran) atau ditimpa azab yang berat. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah Menjelaskan: Selama pemimpin-pemipin itu menolak mengamalkan apa yang diturunkan Allah dalam kitabNya (Syri’at isalam), maka Allah pasti akan menjadikan mereka saling bermusuhan.
Khusus Indonesia, MMI menggambarkan kondisi umat islam sebagai mayoritas dzimmi karena hak mereka untuk melaksanakan hukum islam dihalang-halangi oleh minoritas non-muslim. Ba’asyir menyatakan bahwa penolakan untuk memasukkan piagam Jakarta ke dalasm UUD’45, yang mewwajibkan umaat islam untuk melaksanakan hukum islam, sebagai upaya “pemurtadan kolektif” .

E. Perbedaan MMI dan HTI
Meskipun MMI dan HTI meiliki visi yang sama dalam hal penerapan hukum islam, tetapi mereka memiliki perbeadaan pandangan dalam metode memperjuangkannnya. Walau pun senantiasa mengecam system sekuler, MMI masih percaya bahwa hukum islam bias diterpakan di Indonesia denghan mengakomodir bentuk Negara Republik Indonesia. Mereka telah mengirim draft usulan amandemen UUD’45 dan usulan Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia disesuaikan dengan syari’at isalam kepda pemerintah, DPR dan MPR.
Sementara HTI, berbeda dengan MMI, HTI meykini bahwa pelaksanaan hukum islam hanya bias dilakukan melalui penegakkan khilafah islamiyah. Hukum islam teeritama yang berhubungan dengan urusan public seperti hudud, jinayah dan ta’zir, menurut HTI hanya bisa diemban oleh kholifah, bukan individual, kelompok, presiden atau perdana menteri.

Menurut HTI, penerapan hukum islam dalam sistem sekuleer adalah problematik, karena akan mengakibatkan kompromi yang pasti akan mengamputassi sebagian hukum islam dan menempatkan masalah-masalah penting, seperti ekonomi dan politik, ditangan system non-islam. Cara demikian dianggap tidak berguna bagaikan membangun masjid diatas bangunan tempat maksiat.
Untuk itu HTI menempuh beberapa tahap dalam memperjuangkan tegaknya khilafah islamiyah. Pertama mempromosikan metodologi HTI, kedua, isnterkasi dengan masyarakan untuk mensosialisasikan ide-ide HTI dan mengkritisi system sekuler, dan ketiga, mengambila alih kekuasaan.

F. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan:
1. MMI dan HTI memiliki visi yang sama yaitu menerapkan syari’at islam di bumi Indonesia, namun berbeda dalam metodologi perjuangannya. MMI mempercayi metode patisipasi dengan system sekuler atau dengan unkapan lain “menegakkan syri’ah tanpa Negara Islam”, menurut HTI penerapan sayriat islam harus dengan penegakan khilafah islamiyah atau “menegakkan syri’ah dengan Negara Islam”.

2. Meskipun mengembangkan ideologi konflik dan antagonisme terhadap non-muslim dan kelopok lain, MMI dan HTI dalam mengekspriskannya mereka mmpunyai nilai-nilai yang mengatur kapan dan dalam situasi apa kekerasan fisik boleh dilakukan.



DAFTAAR PUSTAKA


Abu Bakar Ba’asyir, Pidato Amanah Amirul Mujahidin, Kongres
Mujahidin II, Solo, 2003
.
Abu Haris Al-Amin, Dakwah Isslam: Pemikirran, Politik, dan Tanpa Kekerasan,
Mandala Bakti WanitataDemoma, Yogyakaarta, 2003.

Asep Syaamsul M.Romli, Monologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan
Islam, Gema Insani Press, Kakarta, 2000

Eko Prasetyo, Membela Agama Tuhan; Potret Gerakan Islam dalam Pusaran
Konflik Global, Insist Press, Yogyakrta, 2002
.
Fauzan Al-Anshari, Saya Teroris?, Penerbit Republika, 2002.

Irfan S Awwas, Dakwah dan Jihad, 2003-279.

Majelis Mengenal Mujahidin untuk Penegakkan Syari’ah Islam, Markaz Pusat
Majelis Mujahidin, Yogyakarta.

Syamsuddin Ramadlan, Khilafah Islamiyah; Keniscayaan Sejarah, Al-Wa’ie, no
19.II.1-31, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar