Kamis, 21 Oktober 2010

Filsafat Ilmu

FILSAFAT ILMU
Oleh: Drs. Aripin muslim

A. Pengertian Filsafat
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harfiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.

B. Awal Kelahiran Filsafat
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984). Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam.
Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.
Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999)

C. Pengertia Filsafat Ilmu
.Secara ringkas dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
1. Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
D. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni:
1. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
2. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
3. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
4. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
5. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah.

E. Filsafat Ilmu Pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan diambil dari dua istilah yang berbeda, yaitu filsafat dan ilmu pengetahuan (science). Dari kedua istilah yang berbeda itu kemudian digabungkan menjadi satu istilah yang baru yaitu filsafat + ilmu Pengetahuan sehingga disebut sebagai Filsafat Ilmu Pengetahuan atau Filsafat Science.
Filsafat titik tekan kajiannya adalah ontologi sementara Ilmu Pengetahuan titik tekan adalah epistemologi sehingga kalau kita buat dalam sebuah bagan maka bentuknya akan menjadi seperti ini :


Ontologi berbicara tentang benda atau objeknya, Objek ontologis itu sendiri ada dua, yang pertama disebut sebagai objek materi phisik dan yang kedua disebut sebagai objek materi non phisik.
Epistemologi berbicara tentang subjeknya, yaitu berbicara tentang si orang yang menilai atau yang mempelajari atau yang mengamati si objek ontologi melalui indra, akal dan hati.
Jadi bisa dikatakan dengan ringkas bahwa pengetahuan itu melekat di diri sipengamat atau subjek sehingga jika si subjek berbeda tafsir terhadap objek yang sama maka yang perlu diperiksa adalah seberapa jauh pengetahuan si subjek terhadap objek tersebut.
Kenapa demikian? Karena pada hakekatnya yang mempunyai pengetahuan adalah si subjek sementara objek material yang diamati atau yang dijadikan penelitian itu sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan keberadaannya juga tidak akan berubah hanya karena kesalahan tafsir dari subjek yang mengamatinya.

Pengetahuan
‘Ilmu’ dan ‘Pengetahuan’ adalah dua hal yang mempunyai arti dan maksud yang berbeda. Ilmu dalam bahasa inggrisnya adalah “science” dan Pengetahuan adalah “knowledge”. Sehingga jelaslah bagi kita sekarang untuk membedakannya : Pengetahuan adalah hasil kerja fikir (penalaran) yang merubah tidak tahu menjadi tahu dan menghilangkan keraguan terhadap suatu perkara.
Pengetahuan itu sendiri pada garis besarnya dibagi menjadi dua, yang pertama disebut dengan pengetahuan hudury atau Knowledge by Present dan yang kedua adalah pengetahuan ushuly atau Knowledge by Correspondence.
Knolwedge by Present artinya adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dan tidak memerlukan landasan teori apapun. Contohnya adalah pengetahuan tentang rasa lapar. Rasa lapar diketahui selalu bersamaan dengan rasa lapar itu sendiri, pengetahuan ini tidak membutuhkan pengetahuan luar. Untuk mengetahui rasa lapar kita tidak memerlukan penjelasan dan pengetahuan tentang rasa lapar dari orang lain dan ataupun dari buku-buku teori.
Sedangkan yang Knowledge by Correspondence adalah sebaliknya, pada knowledge by correspondence pengetahuan itu diperoleh harus melalui perantaran semisal melalui perantaran indra dan lain-lain. Tentang pengetahuan knowledge by correspondence ini sendiri sebenarnya masih bisa dibagi menjadi dua bagian lagi, yang pertama disebut dengan pengetahuan rasional dan yang kedua disebut dengan pengetahuan emphiris.
Yang disebut dengan pengetahuan rasional, contohnya adalah pengetahuan tentang matematika, politik, filsafat dan lain lain. Sedangkan yang disebut dengan pengetahuan emphiris contohnya adalah pengetahuan tentang biologi, kimia, fisika dan lain-lain.
Perlu untuk dicatat bahwa, pada tahapan tertentu bisa saja sebuah pengtahuan yang tadinya rasional berubah menjadi emphiris dan sebaliknya yang emphiris bisa dilihat dengan pendekatan rasional.

Alat Pengetahuan
Jika sebelumnya kita katakan bahwa manusia mempunyai potensi untuk mengetahui seluruh isi langit dan bumi, sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana cara mengetahuinya? Apa saja alat yang diperlukan untuk mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi?
1. Indera
Alat yang diperlukan untuk mengetahui kesemuaannya itu salah satunya adalah “indra”. Manusia memiliki beberapa macam indra, seperti indra penglihatan, pendengaran, perasa, peraba dan penciuman. Jika saja manusia kehilangan semua indra tersebut niscaya manusia akan kehilangan bentuk pengetahuan/epistemologinya.
Orang yang terlahir buta sejak lahir tidak akan pernah bisa membayangkan aneka warna dan bentuk lahiriah segala sesuatu sebagaimana layaknya orang normal melihatnya. Orang yang kehilangan satu indra maka dia telah kehilangan satu ilmu.
Kita tidak akan mampu menjelaskan dengan cara apapun bagaimana warna pelangi, warna danau, warna langit, warna awan dan lain-lain kepada orang yang telah kehilangan penglihatannya sejak lahir.
Jika kita tanyakan kepada orang yang sudah buta sejak lahir, “tahukah kau bagaimana indahnya awan yang berarak putih di langit sana?” Maka kita akan menemukan situasi yang sulit dan mendapati si buta hanya melonggo lucu. Kita tidak akan bisa menjelaskan indahnya awan putih berarak dilangit nan biru itu kepada sibuta karena sibuta telah kehilangan satu alat epistemologinya.
Kita tidak akan pernah bisa menjelaskan satu ilmu kepada orang yang telah kehilangan satu indra yang dituntut oleh ilmu tersebut dan karenanya tidak bisa tidak bahwa indra adalah salah satu alat yang sangat diperlukan untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dilangit dan dibumi.
Tentu saja, karena indra hanya salah satu alat, maka kita akan membutuhkan alat yang lain untuk mencapai dan mengetahui kebenaran.

2. Akal ( Rasio )
Kita telah mengetahui bahwa salah satu alat yang diperlukan oleh manusia untuk mengetahui alam sekitarnya adalah pancaindra. Kehilangan satu indra akan menyebabkan hilangnya satu ilmu yang terkait secara langsung dengan indra tersebut.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah jika semua indra kita berfungsi normal maka secara otomatis kita bisa mengetahui hakikat dari sesuatu? Jawabannya tentu saja tidak.
Dalam banyak hal pancaindra tidak bisa dijadikan sebagai patokan untuk mengetahui keapa-an objek yang ingin kita ketahui. Tidak semua hal bisa diteliti dan dibawa ke laboratorium untuk dilihat dengan mikroskop.
Orang tidak akan sanggup memperlihatkan bukti bagaimana bentuknya rindu, marah, sedih, cinta dan lain-lain kecuali hanya menunjukkan gejala atau perumpamaan-perumpamaan yang bisa dimengerti sebagai rasa rindu, marah, sedih dan cinta.
Jikapun sains ingin meneliti bukti-bukti dari sesuatu yang bersifat abstrak, maka sains hanya bisa meneliti kepada efek atau kecenderungan melekul, hormon, darah atau semacamnya yang berhubungan dengan bagian-bagian phisik atau organ tubuh seseorang.
Melihat persoalan ini, maka tentunya kita membutuhkan alat lain sebagai pendamping indra, yaitu akal atau rasio.
Dengan rasio kita akan mampu memilah dan menguraikan semua informasi yang sudah terekam oleh pancaindra. Dalam mengolah informasi tersebut kita biasanya membuat katagori-katagori untuk mempermudah mengenali semua persoalan yang telah dimediasi oleh indra tersebut. Yang ini kita masukkan kedalam katagori kuantitas dan yang itu kita masukkan dalam katagori kualitas.
Misalnya, untuk ukuran luas persegi kita namai meter persegi, untuk ukuran jarak kita namai meter, untuk berat kita namai kilogram dan kesemuaanya itu kita masukkan kedalam katagori kuantitas. Ramah, suka senyum, galak dan lain-lain kita masukkan kedalam katagori kualitas.
Untuk sesuatu yang tidak bisa kita katagorikan kedalam katagori kuantitas ataupun kualitas kita masukkan kedalam katagori relatif. Beribu-ribu perkara kita masukkan kedalam katagori relatif dan untuk perkara-perkara yang tidak masuk kedalam katagori kuantitas, kualitas ataupun relatif kita kelompokkan kedalam kelompok yang lain, yaitu katagori substansi.
Tentang pengkatagorian ini sendiri sebenarnya banyak pendapat dan sudut pandang sehingga tidak semua ilmuwan seragam didalam pembuatan katagori-katagorinya. Aristoteles misalnya, dia membuat 10 katagori dan ilmuwan yang lain mengatakan 5 katagori, Hegel dengan katagorinya sendiri, Kant juga demikian.
Pengkategorian ini adalah merupakan aktivitas rasio dan pemikiran yang sifatnya rasional. Rasio memproses sesuatu dari yang sifatnya partial menjadi general dan kemudian universal.
Mungkin tidak semua dari kita mengetahui ataupun menyadari bahwa rasio memiliki kecanggihan yang sangat luar biasa dalam urusan melepas (tajrid). Dengan mengetahui sedikit saja kemampuan melepas (tajrid) rasio maka sesungguhnya sangat mudah untuk mementahkan teori matrialisme yang berpangkal kepada pembuktian indrawi semata.
Kita tahu bahwa hampir semua perkara di alam objektif/alam nyata ini sebenarnya hanya ada satu perkara dan tidak mungkin dapat dipisah-pisahkan.
3. Hati
Kita masih meneruskan pembicaraan tentang alat untuk memperoleh pengetahuan – epistemologi – atau disubjudul sebelumnya kita sebutkan dengan istilah alat pengetahuan.
Kita sudah mengulas sedikit tentang dua alat utama untuk memperoleh pengetahuan, yaitu alat indra dan rasio. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita hanya memiliki dua alat itu saja untuk bisa mendapatkan pengetahuan dan mengetahui kebenaran serta hakikat dari kebenaran?
Ada yang menjawab ya, kita hanya memiliki dua alat tersebut dan yang lainnya mengatakan tidak, kita tidak memiliki dua alat melainkan hanya satu alat saja yaitu indra saja atau rasio saja.
Plato dan Descartes misalnya, mereka berpendapat bahwa alat untuk mendapatkan pengetahuan hanyalah satu saja yaitu rasio. Menurut Descartes, indra hanyalah berupa alat yang digunakan sebagai pelengkap kerja, tidak ubahnya seperti kendaraan bermotor hanya diperlukan untuk mengantar tetapi tidak untuk mendapatkan. Dengan kata lain Descartes ingin menegaskan bahwa indra hanyalah alat kerja, bukan alat untuk mendapatkan pengetahuan.
Dipihak lain ada juga yang berpendapat serupa tapi tak sama dengan Plato dan Descartes. Serupa karena merekapun percayai bahwa hanya ada satu alat yang dimilik oleh manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Berbeda karena mereka percaya bahwa alat yang dimaksud adalah indra bukan rasio sebagaimana yang dikatakan oleh Plato dan Descartes.
Menurut mereka sesungguhnya semua pengetahuan itu tidak bisa tidak harus berhubungan secara langsung dengan indra. Termasuk kedalam kelompok yang mengatakan satu-satunya alat epistemologi itu indra antara lain John Locke, Hume dan Hobbes.
Namun demikian ada juga yang tidak berpendapat diantara kedua pendapat tersebut, tidak mengatakan indra dan juga tidak mengatakan rasio, melainkan ada alat yang ketiga yaitu hati (baca : hati dalam istilah sufi/irfan/tasawuf/spiritual).
Ada beberapa ilmuwan barat yang sangat terkenal mempercayai bahwa satu-satunya alat epistemologi yaitu hati. Diantara mereka yang percaya dengan alat hati ini ada nama-nama besar seperti William James, Ahli jiwa dan filsuf terkenal dari Amerika. Ada Pascal ahli matematika yang cukup termasyur. Ada Alexis Carrel dan juga ada Bergson.
Menurut mereka, bahwa apa yang dikatakan tentang indra dan rasio tersebut sebenarnya bukanlah alat epistemologi, melainkan hanya sekedar alat untuk mengarungi kehidupan. Dengan kata lain, Rasio dan Indra yang dibicarakan oleh Descartes dan John Locke itu sesungguhnya bukanlah alat untuk menambah pengetahuan. Alat untuk menambah pengetahuan hanyalah hati.

Daftar Pustaka
Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung: PPS-IKIP Bandung.
Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.
Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Cecep Sumarna, Prof.,Dr.,MAg., Filsafat Ilmu, Bani Quraisy, Bandung, 2008
Filsafat_Ilmu,
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.
Mantiq, .
Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia
Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani (Yaasin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar