Minggu, 31 Oktober 2010

Islam Liberal

MELACAK AKAR HISTORIS

GERAKAN JARINGAN ISLAM LIBERAL ( JIL )

Oleh: Drs. Aripin Muslim

A. PENDAHULUAN

Istilah Islam liberal tadinya tidak terlalu dikenal dan diperhatikan orang di Indonesia. Apalagi jumlah pendukungnya hanya minoritas yang amat kecil. Istilah itu justru menjadi amat popular setelah dikeluarkannya fatwa MUI pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa faham liberalism adalah sesat dan menganut faham itu adalah haram hukumnya. Jadi, terlepas dari perdebatan tentang keabsahan fatwa itu, istilah Islam liberal di Indonesia justru dipopulerkan oleh pihak penentangnya. Memang terkadang suara merekapun nyaring bunyinya.

Arti kata Islam liberal tidak selamanya jelas. Leonard Binder, memberinya arti "Islamic political liberalism" dengan penerapannya pada negara-negara Muslim di Timur Tengah. Greg Barton, dalam bukunya berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Penerbit Paramadina, Jakarta, 1999) istilah "Islamic liberalism" nampaknya cukup jelas. Ia mengatakan bahwa Islam liberal di Indonesia adalah sama dengan pembaruan Islam atau Islam neo-modernis.

Seperti diketahui, istilah neo-modernis berasal dari Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip Greg Barton, Ia membedakan gerakan pembaruan Islam dalam dua abad terakhir kepada empat macam, yaitu: revivalisme Islam, modernisme Islam, neorevivalisme Islam, dan neo-modernisme Islam. Dengan revivalisme Islam dimaksudkan gerakan pada abad ke-18 yang diwakili oleh Wahabiyyah di Arab, Sanusiyyah di Afrika Utara, dan Fulaniyyah di Afrika Barat. Sedangkan modernisme Islam di pelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (W 1898) di India, Jamaluddin al-Afghani (W 1897) di Timur Tengah, dan Muhammad Abduh (W 1905) di Mesir. Adapun neo revivalisme diwakili oleh Maududi dengan organisasinya yang terkenal, Jama'ati Islami, di Pakistan. Kemudian neo-modernisme Islam contohnya ialah Fazlur Rahman sendiri dengan karakteristik sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik (Greg Barton, 1999:9). Meskipun tipologi Fazlur Rahman ini dimaksudkan untuk seluruh dunia Islam, tetapi tipologi keempat diwakili juga oleh tokoh-tokoh Indonesia, khususnya empat orang yang disebutkan di atas.

Di Indonesia terdapat beberapa buku yang sering dinilai sebagai pendapat liberal, dua diantaranya ialah buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta, 2005) yang ditulis oleh Tim Pengarusutamaan Gender pimpinan Musdah Mulia dan buku Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004). Kalau kita cermati isi kedua buku itu terlihatlah bahwa banyak pendapat dan argumen di dalam kedua buku itu yang sama atau mungkin diambil dari pikiran-pikiran Muhammad Syahrur, seorang sarjana teknik Syria yang pernah belajar di Moskow, tetapi kemudian mengarang banyak buku tentang Islam, diantaranya yang terkenal ialah Nahw Ushûl Jadîdah fî al-Fiqh al-Islâmî yang telah diterbitkan juga dalam bahasa Indonesia dengan judul Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ, 2004). Ini berarti bahwa pemikiran Islam liberal Indonesia bukanlah original, tetapi pengaruh literatur internasional. Apalagi Fazlur Rahman memang adalah guru Nurcholish Madjid dan mempunyai hubungan dengan kaum pemikir Islam Indonesia. Pemikir Timur Tengah lain yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran khususnya mengenai penggunaan hermeneutic untuk memahami Al-Qur’an adalah Hamid Nasr Abu Zaid. Islam liberal di Indonesia

B. Islam Liberal di Indonesia (Era Orde Baru)

Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan Muslim mencoba memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang] "Pembaharuan Pemikiran Islam". Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual.
Mereka dapat digolongkan sebagai Islam Liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak menafsirkan ajaran Islam.

Menurut Fachri Aly dan Bactiar Effendi (1986: 170-173) terdapat sedikitnya empat versi Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neo modernisme:

Modernisme mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Adapun universalisme sesungguhnya merupakan pendukung modernisme yang berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Betul bahwa Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan final Islam itu sendiri. Karena itu, mereka tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalah akan muncul kalau Islam yang me-nasional atau me-lokal itu menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap hakikat Islam yang bersifat universal. Pola pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan manusia

Sedangkan Neo Modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Kalau ngkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) almuhâfazhatu ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik)

Pada sisi lain, pendukung neomodernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional. Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal, namun kondisi-kondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri. Ada dua tokoh intelektual
yang menjadi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Tampaknya pemikiran Nurcholish (Prisma, nomor ekstra, 1984: 10-22), lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedang pemikiran neomodernisme Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU. Karena itu, ide-ide keIslamannya
tampak jauh lebih empiris, terutama dalam pemikirannya tentang hubungan Islam dan politik. (Prisma, Nomor ekstra, 1984: 3-9; dan Prisma, 4 April 1984: 31-38).

C. Islam Liberal di Indonesia (Era Reformasi)

Sejak akhir tahun 1990an muncul kelompok-kelompok anak muda yang menamakan dirikelompok "Islam Liberal" yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahanpermasalahanyang muncul pada akhir abad ke- 20. Majelis Ulama Indonesia melihat betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok ini, sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama (Adian Husaini, t.th: 2-4). Dalam Keputusan MUI No. 7/MUNAS VII/11/2005 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrindoktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Islam liberal di Indonesia era reformasi nampak lebih nyata setelah didirikannya sebuah "jaringan" kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang tujuannya adalah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia. Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, Negara, dan isu-isu kemasyarakatan.

Pendefinisian Islam Liberal diawali dengan kajian terhadap buku Kurzman yang memilah tradisi keislaman dalam tiga kategori yakni, customary Islam, fundamentalis atau Wahabis atau Salafis, dan liberal Islam. Kategori ketiga diklaim sebagai koreksi dan respon terhadap dua kategori yang disebut pertama. Pertanyaan yang muncul dalam diskusi awal itu adalah apakah Islam Liberal di Indonesia akan bersifat elitis dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang menyediakan refleksi empiris, dan memiliki apresiasi terhadap realitas? Kalau Islam Liberal itu paralel dengan civic-culture (pro pluralisme,equal opportunity, moderasi, trust, tolerance, memiliki sence of community yang nasional, lalu dimana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah skeptisisme dan agnostisme yang hidup dalam masyarakat Islam? Diskusi dalam milis yang panjang akhirnya tidak menyepakati sebuah definisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka menandai sebuah gerakan dan pemikiran yang mencoba memberikan respon terhadap kaum modernis, tradisional, dan fundamentalis.

Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh lawanlawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih Lintas Agama (TimPenulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal.

Ketegangan antara yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah salah seorang kontributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla pergi ke luar negeri, belajarke Amerika Serikat. Ulil melalui bukunya Menjadi Muslim Liberal menolak jenis-jenis tafsir keagamaan yang hegemonik, tidak pluralis, antidemokrasi, yang menurutnya potensial menggerogoti persendian Islam sendiri. Dengan gaya narasi dan semantik yang lugas, Ulil misalnya melancarkan kritiknya kepada MUI yang dalam amatannya telah memonopoli penafsiran atas Islam. Fatwa MUI yang menyatakan bahwa pluralisme, liberalisme, dan sekularisme adalah faham sesat; Ahmadiyah adalah keluar dari Islam – telah menyalakan emosi Ulil. Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai alumni pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan pesantren. Melalui kolomnya On Being Muslim kita tahu bahwa Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalisme pemikiran keislamannya juga dari ilmu-ilmu tradisional seperti ushûl al-fiqh, qawâ`id al-fiqhiyah yang dahulu diajarkan oleh para ustadznya di pesantren. Ilmu ilmu pesantren semacam balaghah dan mantiq (logika) tampaknya turut melatih Ulil perihal bagaimana menstrukturkan kata dan kalimat, mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar. Sayangnya, hanya kalangan fundamentalis saja yang mencoba melakukan perlawanan retorik. Majalah seperti Sabili, Hidayatullah, dan media-media di lingkungan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia mencoba untuk memberikan counter opini terhadap gagasan-gagasan yang diusung oleh JIL. Setelah Ulil pergi, dinamika pemikiran dan gerakan Islam kontemporer kembali adem ayem.

Di antara pendapat-pendapat kaum pendukung Islam liberal adalah sebagai berikut: (Hartono Ahmad Jaiz, 2005: 109-110):

1. Al-Quran adalah teks dan harus dikaji dengan hermeneutika

2. Kitab-kitab tafsir klasik itu tidak diperlukan lagi

3. Poligami harus dilarang

4. Mahar dalam perkawinan boleh dibayar oleh suami atau isteri

5. Masa iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki, baik cerai hidup ataupun cerai mati

6. Pernikahan untuk jangka waktu tertentu boleh hukumnya

7. Perkawinan dengan orang yang berbeda agama dibolehkan kepada laki-laki atau perempuan muslim

8. Bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama 1:1

9. Anak di luar nikah yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya

Beberapa tema yang menjadi bahan diskusi di antara aktivis tersebut antara lain: maraknya kekerasan atas nama agama, gencarnya tuntutan penerapan syariat Islam, serta tidak adanya gerakan pembaruan pemikiran Islam yang sebelumnya dirintis oleh Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Nama Islam liberal, menurut para pendiri JIL, adalah menggambarkan komunitas Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial politik yang ada.

Menurut para aktivis JIL, Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:

1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi; 2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks;

2. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural

3. Memihak pada yang minoritas dan tertindas;

4. Meyakini kebebasan beragama

5. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi, otoritas keagamaan dan politik. Islam liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan.

Secara umum, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk turut memberikan kontribusi dalam meredakan maraknya fundamentalisme keagamaan di Indonesia sekaligus membuka pemahaman publik terhadap pemahaman keagamaan yang pluralis dan demokratis.

Secara khusus, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk:

1. Menciptakan intellectual discourses tentang isu-isu keagamaan yang pluralis dan demokratis serta berperspektif gender;

2. Membentuk intllectual community yang bersifat organik dan responsif serta berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang suportif terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi di Indonesia;

Menggulirkan intellectual networking yang secara aktif melibatkan jaringan kampus, Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa dan lain-lain untuk menolak fasisme atas nama agama.

D. Pro kontra JIL

Sikap pro-kontra terhadap JIL dapat dipetakan menjadi dua yaitu dalam bentuk fisik dan intelektual. Dalam bentuk intelektual dapat dilihat dari terbitnya berbagai buku baik yang menghujat maupun menanggapi secara positif. Beberap. Sementara itu ada juga yang mencoba berpikir obyektif ilmiah, menjadikan JIL sebagai fokus bahasan untuk menyusun skripsi, tesis, maupun disertasi. Sementara itu, sebagian kelompok masyarakat Islam menganggap bahwa pemikiran JIL dianggap dapat merusak aqidah umat Islam. Oleh karena itu mereka menentangnya dalam bentuk kekerasan fisik. Hal itu antara lain dalam bentuk demontrasi oleh Front Pembela Islam (FPI). Beberapa kali milis yang dikelola JIL juga mendapat serangan spam dan dibajak oleh hacker-hacker. Sementara itu Forum Ulama Umat Islam (FUUI) di Bandung mengeluarkan fatwa mati kepada Ulil sebagai ketua JIL. Institusi JIL juga semakin diributkan setelah keluar fatwa MUI yang mengharamkan faham liberalisme, sekularisme dan pluralisme.

E. PENUTUP

Demikian beberapa deskripsi singkat tentang gerakan Islam liberal di Indonesia. Masih ada beberapa organisasi lain yang tidak disebutkan di sini seperti FORMACI, LKiS Yogyakarta, Letsform (Lembaga Transformasi Muhammadiyah) Jawa Barat, dan Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya, tetapi pengaruh mereka hampir dapat diabaikan. Menurut Greg Barton, beberapa karakteristik pemikiran Islam liberal di Indonesia antara lain:

1) senantiasa mengusung semangat ijtihad;

2) mengusung rasionalisme;

3) menjunjung tinggi nilainilaidemokrasi;

4) menjunjung tinggi peran ilmu pengetahuan;

5) memandang bahwa keinginanmendirikan "negara Islam" adalah pengalihan perhatian yang merugikan;

6) menerima dan]mendukung pluralisme masyarakat;

7) memegangi prinsip-prinsip humanitarianisme, bahkanmemandangnya sebagai essensi dan jantung Islam;

8). memperjuangkan kesetaraan gender.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, "NU dan Islam di Indonesia Deawasa ini", Prisma, No 4 April 1984.

Abdurrahman Wahid "Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa", Prisma,nomor ekstra, 1984

.Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang Tegas & Tidak Kontroversial, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Fachri Aly & Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1986

Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006
Keputusan Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.

Nong Darol Mahmada dan Burhanuddin, "Jaringan Islam Liberal (JIL): Pewaris PemikiranPembaruan Islam di Indonesia" dalam Imam Tholkhah dan Neng Dara Affiah (ed.),

GerakanKeislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Jakarta: BadanLitbang dan Diklat Departemen Agama RI, t.th.

Gerakan Wahabi

BENANG MERAH WAHABISME

DAN GERAKAN ISLAM RADIKAL DI INDONESIA

Oleh: Drs. Aripin Muslim

Semenjak berakhirnya Orde Baru, revitalisasi Islam radikal semakin dominan di ruang-ruang publik dengan aktor utamanya, ormas-ormas Islam radikal seperti FPI, MMI, Hizbut Tahrir dan Laskar Jihad. Orde Reformasi yang disepakati sebagai tahapan demokratisasi yang memprasyaratkan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, nyatanya juga membawa angin segar dan momentum revitalisasi bagi ormas-ormas Islam radikal yang, karena kuatnya hegemoni negara, selama Orde Baru hanya menjadi gerakan bawah tanah.

Kondisi ini, secara gradual mengikis citra Islam Indonesia sebagai Islam moderat yang selama ini menjadi mainstream yang diperankan oleh ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis dan Nahdlatul Wathon. Kemerosotan citra Islam moderat semakin menemukan akselerasinya oleh pemberitaan media massa tentang kekerasan-kekerasan mengatasnamakan agama oleh ormas Islam radikal dan merebaknya berbagai aksi teror atas nama agama beberapa tahun terakhir.

Dalam tatapan dunia internasional, Indonesia pun mulai diwaspadai sebagai wilayah pembiakan sel teroris Asia Tenggara. Meski masih mengandalkan Indonesia mampu memainkan perannya sebagai mediator dialog Islam-Barat karena kultur Islam moderatnya, tapi Barat juga menempatkan Indonesia sebagai negara yang tidak aman dikunjungi karena potensi radikalisme agama yang dimiliki. Travel warning yang hingga kini masih diberlakukan oleh Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Denmark, terhadap Indonesia, mempertegas hal ini.

Dengan demikian, Barat seakan ingin mengatakan, bahwa meski ber-mainstream Islam moderat, Indonesia tengah menjadi wilayah pembiakan sel terorisme yang ditandai revitalisasi radikalisme agama, hingga layak diberi travel warning yang artinya, dikelompokan dengan negara-negara semisal Irak, Iran dan Afganistan.

Selama Orde Baru, kelompok Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathon dan Persis, meski dibungkam agar tidak berpolitik praktis melalui kebijakan fusi partai-partai Islam ke dalam Masyumi, tetapi difasilitasi dan dirangkul untuk memperkuat basis kultural Islam moderat melalui berbagai lembaga pendidikan, panti asuhan dan rumah sakit, etc. Hal ini lebih merupakan keniscayaan pragmatis-politis Orde Baru yang tidak ingin kehilagan dukungan politik kaum muslimin.

Sementara kelompok Islam radikal, selain dibungkam secara politik dan kultural, juga dikejar-kejar bagai anjing kurap dengan tuduhan terlibat berbagai gerakan separatis pendirian negara Islam (DII/TII) atau pemberlakuan Syariat Islam.

Dalam konfigurasi politik Orde Baru yang teramat menghegemoni, Islam radikal tak punya pilihan lain, kecuali menjadi gerakan bawah tanah. Bahkan banyak diantara tokohnya yang melarikan diri keluar negeri, lalu bergabung dengan kelompok-kelompok Islam radikal penganut Wahabisme dan terlibat dalam pertempuran di Afganistan, Palestina, Moro, etc. Ada juga yang tidak ke medan tempur, tetapi lari dari aparatur Orde Baru dengan memutuskan belajar Islam pada sejumlah perguruan tinggi Arab Saudi yang menganut Wahabisme. Mereka lah yang kini menjadi tokoh-tokoh kharismatik pada berbagai ormas Islam radikal seperti MMI, Laskar Jihad dan FPI.

Semenjak Era Reformasi yang meniscayakan terbukanya kebebasan berekspresi bergulir, kelompok Islam radikal kembali menemukan momentum aktualisasi dan revitalisasi di ruang-ruang publik. Sejumlah tokohnya, seperti Abu Bakar Baasyir yang pernah dilabelkan terlibat DII/TII, para veteran perang Afganistan pun kembali ke Tanah Air. Bersama komponen yang selama Orde Baru bertahan di dalam negeri dengan gerakan bawah tanah, seperti Ja’far Umar Tholib dan Habib Riziq (keduanya selama Orde Baru menempuh jenjang pendidikan S1 di Fakultas Syari’ah King Su’ud University, Riyadh), perlahan melalui ormas-ormas Islam radikal menggerogoti citra Islam moderat yang selama ini menjadi mainstream.

Fundamentalisme Islam yang dipengaruhi Wahabisme bercirikan eksklusif, tidak toleran, skriptural-tekstual, memang tidak serta merta mendorong orang melakukan kekerasan atas nama agama. Ada tahapan pelik berupa ekspur pengalaman kekerasan menjadi kekerasan praksis. Faktor lain, adalah konstruksi sosial politik dalam negeri dan dunia internasional yang tidak imbang dan menindas. Tatanan realitas yang demikian terbelah, senjang dan dominatif, antara kaya-miskin, Barat-Islam, penindas-tertindas, kapitalis-proletar, tertidik-terabaikan dengan segenap isu-isu praksisnya, menguatkan militansi keislaman untuk mengubah realitas dengan caranya sendiri.

Dalam pandangan kelompok fundamentalis ini, dunia pun dibagi menjadi "kami" dan "mereka," "yang taat pada Tuhan" dan "yang ingkar." Dalam pandangan mereka, ‘kebenaran" adalah yang berada di tangan mereka yang bulat tanpa benjol karena sumbernya dari Tuhan. Tugas mereka adalah memperjuangkannya untuk mewujudkan kebenaran yang mereka pahami, untuk mengubah realitas menjadi seperti yang mereka pahami. Bila perlu dengan cara-cara kekerasan. Dengan mengatasnamakan Tuhan, siapapun yang menentang adalah "yang ingkar." Dan karena itu harus dilawan, bila perlu dengan kekerasan.

Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan ormas-ormas Islam radikal seperti FPI, MMI, dan Laskar Jihad, adalah contoh yang dapat kita sebutkan. Di sinilah fundamentalisme agama berperan memberikan justifikasi teologis melalui beragam interpretasi atas teks-teks keagamaan secara skriptural-tekstual yang merupakan salah satu ciri utama Wahabisme.

Pada tahap inilah, berbagai ormas Islam radikal tersebut mendapatkan justifikasi teologis atas kekerasan keagamaan yang mereka lakukan. Pada tahap ini pula, tampak benang merah antara Wahabisme dengan paradigma fundamentalistik yang dianut para tokoh kharismatik ormas-ormas Islam radikal tersebut. Persentuhan mereka dengan Wahabisme memberikan pengaruh paradimatiknya dalam membentuk paradigma keislaman yang fundamentalistik yang melegitimasi kekerasan atas nama agama yang dilakukan ormas-ormas Islam radikal semacam FPI, MMI, dan Laskar Jihad.

Pada tahap ini pula, tampak ada benang merah ideologis antara tokoh-tokoh kharismatik ormas Islam radikal Indonesia dengan ideologi Islam yang dianut tokoh-tokoh Islam radikal Timur Tengah, termasuk Osamah Bin laden yang berasal dari Saudi Arabia, negeri tempat Wahabisme berasal, tumbuh, dan menjadi ideologi keagamaan yang dianut negara dan masyarakatnya. Wallahu a’lam bi ashowab.