PERKEMBANGAN SUPERVISI PENDIDIKAN
Diajukan untuk memenuhi tugas mandiri
Mata Kuliah : Supervisi Pendidikan
Dosen pengampu : Dr.Diding Nurdin, M.Pd

Oleh :
A R I P I N : 505910065
Konsentrasi : Manajemen Pendidikan Islam
Pascasarjana
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
SYEKH NUR JATI
CIREBON 2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan segala sesembahan yang telah memberikan pertolongan dengan inayahNya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Disadari dengan sepenuh hati, bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, bahkan mungkin sangat tidak layak disebut sebagai karya ilmiah dari seorang calon master pedidikan. Kekurangan dari makalah ini akan semakin nampak manakala dibaca sekilas lebih-lebih jika diteliti secara seksama. Keterbatasan wawasan dan minimnya materi pembahasan serta tumpulnya pisau analisa yang dimiliki penulis, kiranya dapat dijadikan alasan bagi ketidak sempurnaan makalah ini. Namun demikian, penulis menghaturkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada yang terhormat Bapak DR. Diding Nurdin, M.Pd, selaku dosen mata kuliyah Supervisi Pendidikan yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk lebih giat mengali ilmu pengetahuan lebih dalam dengan tanpa memperdulikan usia penulis yang telah lanjut.
Akhir kata, penulis berharap kepada segenap rekan-rekan di kelas Manajemen Pendidikan Islam Semester III, agar kiranya berkenan memberikan tanggapan terhadap makalah ini. Hanya kepada Allah lah kita memohon petunjuk dan kepadaNya kita akan kembali.
Cirebon, 26 Maret 2011
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTARA ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN:
A. Latar Belakang Masalah ........................................... . 1
B. Rumusan Masalah ..................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ...................................................... 3
BAB II: LANDASAN TEORI
A. Pengertian Supervisi Pendidikan ................................ 4
B. Supervisi dalam Konteks Manajemen Pendidikan .......... 6
C. Tinjauan Historis Supervisi Pendidikan ........................ 8
BAB III :PEMBAHASAN ........................................................... 14
BAB IV :KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................... 16
B. Saran-saran .......................................................... 17
DAFTAR PUSAKA
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan pendidikan sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia pada umumnya, manusia sebagai suatu objek dan subjek dalam pendidikan harus memiliki rasa tanggung jawab dalam meningkatkan mutu dan kwalitas pendidikan. Arus globalisasi dan informasi memberikan pengaruh yang cukup besar pada tatanan kehidupan, sehingga pada kenyataanya dapat menyentuh pada dunia pendidikan, perkembangan tersebut tidak dapat dibandung lagi oleh manusia karena hal itu merupakan hukum “kausalitas” dengan demikian dunia pendidikan harus mampu menjawab semua tantangan dan permasalahan yang ada, seiring dengan tuntutan global.
Proses pendidikan bukan hanya interaksi dan pentranferan ilmu pengetahuan kepada siswa siswi semata, namun idealisme dan tujuan pendidikan selalu mengakar dimana pendidikan harus mampu menjawab semua problematika kehidupan yang cukup krusial dalam realitas kehidupan. Peningkatan mutu dalam pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk selalu ditingkatkan, sehingga dunia pendidikan tetap eksis sebagai humanisme bagi kemaslahatan manusia untuk memberikan problem solving bagi permasalahan yang dihadapi oleh manusia.
Dengan demikian maka pendidikan perlu di rekonstruksi ulang pada semua system di dalamnya, tidak menutup kemungkinan pendidikan harus lebih ketat untuk melakukan evalusi pada semua elemen didalamnya, menggontrol pada teknik kerja yang kemudian dalam dunia pendidikan dikenal dengan “supervise pendidikan”.
Supervisi pedidikan sejak kemunculannya mengalami perubahan perkembangan sesuai dengan perubahan masyarakat dan perkembangan pendidikan. Di negara kita Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan sampai sekarang, kewajiban dan tanggungjawab para pemimpin pendidikan pada umumnya dan kepala sekolah pada khususnya mengalami perkembangan dan perubahan. Adapun perubahan-perubahan tersebut dapat dibagi menjadi tiga aspek:
1. Perubahan dalam tujuan,
2. Perubahan dan scope (luasnya tanggungjawab / kewajiban), dan
3. Perubahan dalam sifatnya.
Ketiga aspek tersebut sangat berhubungan erat dan sukar untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya perubahan dalam tujuan pendidikan, mengubah pula scope atau luasnya tanggungjawab yang harus dipikul dan dilaksanakn oleh para pemimpin pendidikan. Hal ini merubah pula bagaimana sifat-sifat kepemimpinan yang harus dijalankan hingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perubahan-perubahan tersebut secara tidak langsung mempengaruhi terhadap supervisi, karena supervise pendidikan berfungsi untuk mengontrol dan menilai semua komponen-pomponen yang terkait dalam dunia pendidikan. Dalam evaluasi pendidikan tidak hanya mengkaji pada masalah-masalah administrasi melainkan juga seluruh aspek yang terlibat dalam pendidikan baik yang berkenaan pada “proses belajar mengajar, metodologi pembelajaran, interaksi belajar, media pembelajaran dan lain lain”. Ruang lingkup supervise begitu luas dan berkembang seiring dengan perkembangan pendidikan, sehingga perlu adanya pembahsan lebih jauh. Makalah yang sederhana ini akan berusaha menuangkan penyelurusuran jejak perkembangan supervisi pendidikan sesuai perkembangan pendikan dan perubahan zaman.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
- Bagaimana rumusan yang jelas tentang pengertian supervisi pendidikan?
- Apa fungsi supervisi dalam manajemen pendidikan?
- Bagaimana perkembangan supervisi pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
- 1. Menemukan rumusan yang jelas mengenai pengertian supervisi pendidikan;
- Menjelaskan fungsi supervisi pendidikan dalam konteks manajemen pendidikan;
- Mengungkap sejarah perkembangan supervisi pendidikan.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Supervisi Pendidikan
Istilah supervisi pendidikan dibangun dari dua kata: supervise dan pendidikan. Dalam uraian-uraian berikut hanya istilah supervise yang lebih banyak diberbicarakan dari pendidikan, karena istilah pendidikan (education) lebih lengkap telah dikupas habis dalam mata
kuliah Dasar-Dasar Kependidikan. Supervisi adalah istilah yang relatif
baru dikenal di dunia pendidikan di Indonesia (lihat sejarah, karena itu perlu uraian secara lengkap tentang pengertiannya, yang akan dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu dari sudut etimologis, morfologis, dan semantik.
Secara etimologis, kata supervisi berasal dari bahasa Inggris,
yaitu supervision, artinya pengawasan (Echols, 1983: 569). Oteng (1983: 222) mengatakan bahwa penggunaan istilah supervisi sering
diartikan sama dengan directing atau pengarahan. Sementara Suharsimi (1988: 152) mengatakan bahwa memang sejak dulu banyak orang menggunakan istilah pengawasan, penilikan atau pemeriksaan untuk istilah supervisi, demikian pula pada zaman Belanda orang mengenal istilah inspeksi.
Secara morfologis, kata supervisi terdiri atas dua kata, super dan visi (super dan vision). Menurut Ametembun (1981: 1) super berarti atas atau lebih, sedangkan visi berarti lihat, tilik, dan awasai. Jadi supervisi berarti melihat, menilik dan mengawasi dari atas; atau sekaligus menunjukan bahwa orang yang melaksanakan supervisi
berada lebih tinggi dari orang yang dilihat, ditilik, dan diawasi.
Secara semantik, para ahli memberikan berbagai corak definisi,
tapi pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut (Wiles,1955: 8) "Supervision is assistance in the development of a better teaching-learning situation" (supervisi adalah bantuan dalampengembangan situasi mengajar yang lebih baik. Neagley dalam Pidarte (1986: 2) menyebutkan bahwa supervisi adalah layanan kepada guru-guru di sekolah yang bertujuan untuk menghasilkan perbaikan instruksional, belajar, dan kurikulum.
Menurut Mc. Nerney (dalam Sahertian, 1982: 20) mengartikan
supervisi sebagai prosedur memberi arah serta mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pengajaran. Sedangkan Poerwanto (1986: 84) menyatakan, supervisi adalah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif.
Pendapat-pendapat di atas menunjukkan bahwa istilah supervise mengandung makna banyak, tapi mengandung makna yang sama, misalnya bantuan, pelayanan, memberikan arah, penilaian, pembinaan, meningkatkan, mengembangkan dan perbaikan. Dengan
kata lain, istilah supervisi dipertentangkan dengan makna mengawasi ,menindak, memeriksa, menghukum, mengadili, inspeksi, mengoreksi, dan menyalahkan. Dengan demikian istilah supervisi "tidak sama" dengan istilah controlling, inspection (inspeksi), dan directing (mengarahkan).
Atas dasar uraian diatas, maka pengertian supervisi dapat dirumuskan sebagai berikut “ serangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh supervisor ( Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada pembinaan guru tersebut pula “Pembinaan profesional guru“ yakni pembinaan yang lebih diarahkan pada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan profesional guru.Supervisi dapat kita artikan sebagai pembinaan. Sedangkan sasaran pembinaan tersebut bisa untuk kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha. Namun yang menjadi sasaran supervisi diartikan pula pembinaan guru. (Neagley, Ross L. dan Evans, N. Dean. 1980:8).
B. Supervisi dalam Konteks Manajemen Pendidikan
Kegiatan supervisi dalam pendidikan adalah untuk meningkat-kan mutu pendidikan secara global yang objek sasaran-nya adalah seorang guru, keberadaan seorang guru dalam lembaga pendidikan menempatkan posisi sentral dalam meningkatkan mutu pendidikan ke-depan namun keberadaan guru dilembaga pendidikan dipandang perlu untuk meningkatkan ke-profesionelismenya, seingga tujuan dari pada pendidikan nasional dapat tercapai dengan bak. Keberadaan supervision dalam pelaksanaanya bukan mengeritik keberadaan guru, dan mencari kesalahan guru. Namun lebih dari itu keberadaan supervisi adalah untuk menilai program kerja, memeriksa dan mengawasi terhadap jalanyan pendidikan sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.
Dalam kontek manajemen pendidikan supervisi menghendaki adanya pengontrolan yang bersifat kontine sehingga manajemen dengan unsur-unsur-nya (manusia, money, meterial, mecttine, method, market) dapat terkontrol dan diawasi dengan baik sehingga pengawasan terhadap sisitem manajemen dalam pendidikan yang akan mempengaruhi terhadap peningkatan mutu di lembaga pendidikan.
Manajemen pendidikan di Indonesia masih langka dan tabu karena beberapa tanggapan bahwa pendidikan bukan produk yang diperjualbelikan. Padahal dalam sejarah yang panjang pemasaran sebuah lembaga pendidikan telah diakui dan dikembangkan. Menurut Motik (dalam Tilaar, 2002) ada 3 evolusi (perkembangan yang lambat) pemasaran yang dihubungkan dengan penerimaan siswa. (Zulkarnain Nasution, Manajemen Humas di Lembaga Pendidikan (konsep, fenomena dan aplikasinya), Malang: UMM Press, 2006. hlm. 5-9):1. Pemasaran tidak diperlukan; adanya anggapan bahwa LP adalah badan sosial sehingga tidak memerlukan pemasaran, dan nyatanya malah sebaliknya.2.Pemasaran adalah segmentasi (cara perkembangbiakan suatu organisasi) dari riset pemasaran; perlunya manajemen yang baik pada penerimaan siswa untuk mempromosikan/memasarkan lembaga, sehingga darinya pula ortu dapat memutuskan/menyeleksi lembaga yang relevan. Selanjutnya humas harus dapat mengembangkan suatu penelitian tentang hal tersebut 3. Perencanaan strategis; adanya kesadaran LP mengenai bagaimana perubahan eksternal telah mengubah citra, posisi, program yang mencakup kemampuan menarik siswa dan pelayanan, mengingat turunnya minat siswa bukan hanya pada banyaknya persaingan, namun juga ekonomi, demografi, cepat dapat pekerjaan danlain-lain.
Pelaksanaan manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat meliputi empat tahap yaitu: (1) penelitian, (2) perencanaan, (3) pelaksanaa, (4) dan penilaian. Pelaksanaan proses manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat menjadi tanggung jawab pimpinan lembaga kependidikan. Sebagai manajer, pimpinan sekolah harus merencanakan, mengorganisasikan, memimpin/mengarahkan, dan mengawasi pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Berdasarkan hal tersebut diatas, pengaruh positif yang diinginkan dari hubungan sekolah dengan masyarakat adalah tergugahnya minat masyarakat untuk membantu dan mendukung program-program sekolah yang telah ditetapkan bersama, sehingga peningkatan mutu pendidikan dapat tercapai.
Dari hal tersebut, maka keberadaan supervisi dalam pendidikan adalah untuk mengontrol terhadap program yang telah ditata /menejemen dalam suatu sistem di lembaga pendidikan pada saat sekarang. Sehingga dengan adanya pengontrolan dan pengawasan oleh seorang supervesor maka tanggung jawab seorang tenaga pendidik atau teknisi lebih bertanggung jawab sehingga peningkatan mutu dalam pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efesien.
C. Tinjauan Historis Supervisi Pendidikan
Seperti dikatakan di muka bahwa Supervisi adalah istilah yang dapat dikatakan baru dikenal di dunia pendidikan di Indonesia. Istilah ini muncul diperkirakan pada awal tahun 60-an, atau pada dua dasawarsa terakhir ini (Arikunto, 1988: 152). Diperkenalkannya istilah supervisi seiring dengan diberikannyanya mata kuliah administrasi pendidikan di beberapa IKIP di Indonesia, yang kemudian disusul pula dengan dijadikannya administrasi pendidikan sebagai mata pelajaran dan bahan ujian pada SGA/SPG pada tahun ajaran 1965-1966, jadi tidaklah mengherankan kalau ada dari kalangan pendidik sendiri masih ada asing dengan istilah ini, terutama bagi mereka yang menamatkan pendidikan guru, baik di tingkat menengah keguruan maupun pendidikan tinggi pada sebelum tahun 70-an.
Di Indonesia, sebenarnya aktivitas semacam supervisi sudah lama dikenal, tapi sayang sekali kesannya memang agak kurang enak, karena pelaksanaannya yang lebih cenderung hanya untuk mencari kesalahan dan kekurangan guru dalam mengajar. Pada waktu itu aktivitas itu dikenal dengan istilah inspeksi, yang diwariskan oleh Belanda sewaktu menjajah Indonesia selama lebih kurang 3,5 abad. Pada zaman penjajahan Belanda, orang yang memeriksa sekolah dasar (SD) mereka sebut dengan "Schoolopziener", yaitu bertugas memeriksa seluruh mata pelajaran di sekolah dasar yang menggunakan pengantar bahasa Belanda, sedangkan mata pelajaran
lain diperiksa oleh petugas yang mereka sebut inspektur, yang juga orang belanda sendiri.
Menurut Harahap (1983: 6) bahwa pada zaman penjajahan Jepang ada sebutan Shigaku, yaitu istilah yang dipakai tugas penilik sekolah dasar, tapi sayang sekali istilah ini tidak begitu lama melekat di kalangan pendidik Indonesia, yang mungkin dikarenakan Jepang tidak terlalu lama menjajah Indonesia, yaitu lebih kurang 2,5 tahun saja.
Setelah Indonesia merdeka, istilah Inrspektur pernah dipakai untuk beberapa waktu, tetapi kemudian diubah dengan sebutan pengawas untuk tingkat sekolah lanjutan dan penilik untuk sekolah dasar. Seiring dengan itu muncul pula sebutan baru, yaitu supervisi, yang berasal dari bahasa Inggris, supervision, yang diperkenalkan oleh orang-orang yang pernah belajar di Amerika Serikat.
Menurut Soetopo (1984: 63), di Amerika Serikat aktivitas supervisi baru muncul pada permulaan zaman kolonial, yaitu pada sekitar tahun 1654. "The General Court of chusetts bay coloni" menyatakan bahwa pemuka-pemuka kota bertanggung jawab atas seleksi dan pengaturan kerja guru-guru, gerakan dapat danggap sebagai cikal bakal lahirnya konsep yang paling dasar untuk perkembangan supervisi moderen. Kemudian pada tahun 1709, di Boston, a comite of laymen mengunjungi sekolah-sekolah untuk mengetahui penggunaan metode pengajar oleh guru-guru, kecakapan
siswa, dan merumuskan usaha-usaha memajukan pengajaran dan organisasi-organisasi sekolah yang baik.
Selanjutnya, perkembangan dan pertumbuhan sekolah dipengaruhi pula oleh bertambahnya jumlah penduduk, yang membuat dibutuhkanya tambahan tenaga guru yang lebih besar, yang ada di antara mereka yang dipilih menjadi kepala sekolah, tapi kepala sekolah pada waktu itu belum berfungsi sebagai supervisor. Namun pada perkembangan selanjutnya baru, terutama setelah bertambahnya aktivitas sekolah, maka didirikanlah kantor superintendent di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan adanya dua unsur pimpinan di setiap sekolah.
Kewenangan kedua unsur pimpinan di sekolah itu tidak begitu cepat berkembang, tapi baru setelah pada awal abad ke-19, di mana
terjadi pengurangan beban pengajar kepala sekolah, supaya mereka
lebih banyak mencurahkan waktu untuk membantu pekerjaan guru di
kelas. Sehingga dapat dikatakan dari sinilah dimulainya dua fungsi kepala sekolah, yaitu sebagai administrator dan supervisor di sekolah.
Di dunia pendidikan Indonesia, diterapkannya secara formal konsep supervisi diperkirakan sejak diberlakukannya Keputusan Menteri P dan K, RI. Nomor: 0134/1977, yang menyebutkan siapa saja yang berhak disebut supervisor di sekolah, yaitu kepala sekolah,
penilik sekolah untuk tingkat kecamatan, dan para pengawas di tingkat kabupaten/ Kotamadya serta staf kantor bidang yang ada di
setiap propinsi.
Di dalam PP Nomor 38/Tahun 1992, terdapat perubahan penggunaan istilah pengawas dan penilik. Istilah pengawas dikhususkan untuk supervisor pendidikan di sekolah sedangkan penilik khusus untuk pendidikan luar sekolah.
Kedudukan pengawas semakin penting setelah keluar UU. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; Semua Permendiknas tentang 8 Standar Nasional Pendidikan; Permendiknas
No. 12 Th. 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Sekolah/Madrasah, SK Menpan nomor 118 tahun 1996 tentang jabatan fungsional pengawas dan angka kreditnya;Keputusan bersama. Mendikbud nomor 0322/O/1996 dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara nomor 38 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional pengawas; Keputusan Mendikbud nomor 020/U/1998 tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya; Permendiknas Nomor 39/Tahun 2009 tentang pemehunan beban kerja guru dan pengawas satuan pendidikan.
Standar mutu pengawas yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional (Sudjana, Nana, 2006) bahwa pengawas sekolah berfungsi sebagai supervisor baik supervisor akademik maupun supervisor manajerial.
Sebagai supervisor akademik, pengawas sekolah berkewajiban untuk
membantu kemampuan profesional guru agar guru dapat meningkatkan mutu proses pembelajaran. Sedangkan sebagai supervisor manajerial, pengawas berkewajiban membantu kepala sekolah agar mencapai sekolah yang efektif. Pembinaan dan pengawasan kedua aspek tersebut hendaknya menjadi tugas pokok
pengawas sekolah.(uraian lebih lanjut dalam bagian tersendiri). Semua produk hukum itu mengarahkan bahwa kedudukan pengawas bukan hanya sebagai jabatan buangan dan pajangan di kantor dinas pendidikan, tetapi mempunyai fungsi penggerak kemajuan pendidikan di sekolah. Sebagaimana guru, pengawas juga harus memulai pekerjaan dengan perencanaan, pelaksanaan dan diakhir dengan pelaporan tertulis.
Dengan bertambahnya lembaga-lembaga pendidikan baik pada lembaga pendidikan sekolah dasar maupun perguruan tinggi, maka tugas supervisi semakin kompleks sehingga eksistensi supervisi dituntut untuk bertumbuh sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin kompetitif. Namun pada tahun 1925 dalam prakteknya supervisi dianggap otoriter dalam peleksanaan-nya karena kehadiran supervisi hanya dianggap untuk mengeritik para guru dalam pelaksaan-nya terhadap pendidikan (Neagley, Ross L. dan Evans, N. Dean. 1980:8).
Dalam perkembangannya supervisi mengalami proses yang cukup panjang sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc Neil antara lain:
1900-1920 : Supervisi hanya dilakukan oleh pejabat administrasi
1920-1930 : Supervisi hanya dilakukan oleh para spesialis
1930-1940 : Supervisi sebagai hubungan inklusif demokratik
sesudah 1940 : Supervisi Rasional
Sementara Niles dan Bondi (1986) membagi perkembangan supervisi dalam beberapa peranan antara lain:
1850- 1910 : Pengawasan
1910 – 1920 : Supervisi santifik
1920 – 1930 : Supervisi demokratik
1930- 1955 : Supervisi Kooperatik
1955 – 1965 : Supervisi sebagai perkembangan kurikulum
1965 – 1970 : Supervisi Klasik
1970 – 1980 :Supervisi sebagai manajemen
1980- Skg : Supervisi sebagai pengajaran
Burnham lebih lanjut mengatakan, bahwa dengan semakin banyak orang dilibatkan dalam kegiatan dan layanan supervisi, maka tanggung jawab dan layanan itu mulai dibebankan kepada para personil yang lebih dekat pada orang, karena itu supervisi melibatkan individu yang lebih dekat ikatannya dengan sekolah dan para gurunya. Perubahan orentasi itu itu agaknya lebih mendekatkan prilaku supervisi pada pandangan Human Relation dalam arti secara sempit. Guru sebagai pribadi lebih mendapadapkan perhatian, sedangkan unsur-unsur lain dalam proses belajar mengajar yang merupakan unsur instrumental dalam supervisi pengajaran lebih diabaikan, namun seiring dengan perkembangan zaman yang kemudian diprakarsai oleh oleh parar bahavioral scientist mulai menemukan proses supervisi kapeda proses belajar mengajar yang sekaligus memperkuat terhadap teori supervisi.
Pada tahun 1980 fokus kajian supervisi lebih memgambil kepada kiblat baru setelah memperkenalkan pendekatan supervisi penegembangan developmental supervision, pendekatan ini bertolek belakang dari kenyataan bahwa pada dasarnya proses supervisi adalah proses belajar dimana supervisi mengambil peranan guru / tenaga edukatif yang sebagai murid, dimana keberadaan guru di lembaga- lembaga pendidikan mendapat sorotan tidak ubahnya sebagai murid, seorang supervesor selalu mengawasi dan mengontror serta mengarahkan kepada guru dalam implementasi kegiatan belajar mengajar, jika hal ini merupakan sebuah langkah yang dipandang efektif dan repsentatif maka perkembangan dunai pendidikan ke depan akan menemukan bentuk dan jati dirinya (pendidikan yang bermutu).
Dalam pendangan Lucio dan McNeil (1979) berkembangan dunia supervisi mengalami priodesasi antara lain;
Sebelum tahun 1900 : Supervisi oleh para pejabat Administratif
Tahun 1900- 1920 : Supervisi oleh para spesialis
Tahun 1920-1930 : Supervisi Saintifik
Tahun 1930-1940 : Supervisi hubungan Insani yang demokratik
Sesudah tahun 1940 : Supervisi Rasional
Dari proses perkembangan supervisi di atas baik yang dikemukakan oleh Lucio McNeil maupun Niles dan Bondi memiliki keterkaitan dengan dengan proses menjemen. Dalam pandangan Burnham mengemukakan bahwa proses perkembangan supervisi dari tahun ke tahun memiliki peranan / objek kajian yang semakin konfrehensif, proses pembelajaran yang terkait dengan tenaga edukatif di lembaga pendidikan mulai mendapat perhatian dari sistem penilaian sampai peranaanya di lembaga pendidikan.
BAB III
PEMBAHASAN
Istilah supervisi atau pengawasan dalam kelembagaan pendidikan diidentikkan dengan supervisi pengawasan profesional, hal ini tentu dihadapkan pada berbagai peristiwa dan kegiatan, contoh jika pengawasan dilakukan oleh kepala sekolah, maka pengawasan dilakukan untuk melihat kinerja guru dalam melaksanakan pembelajaran terhadap siswa, namun jika supervisi dilaksanakan oleh pengawas satuan pendidikan, maka kepala sekolah dalam konteks kelembagaan jelas menjadi tujuan utama dalam meningkatkan mutu pendidikan secara menyeluruh.
Ketika supervisi dihadapkan pada kinerja dan pengawasan mutu pendidikan oleh pengawas satuan pendidikan, tentu memiliki misi yang berbeda dengan supervisi oleh kepala sekolah, dalam hal ini bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada kepala sekolah untuk mengembangkan mutu kelembagaan pendidikan, memfasilitasi kepala sekolah agar dapat melakukan pengelolaan kelembagaan secara efektif dan efisien.
Mengacu pada pemikiran diatas, maka bantuan berupa pengawasan profesional oleh pengawas satuan tenaga kependidikan tentu diarahkan pada upaya untuk meningkatkan pelaksanaan kegiatan kepala sekolah dalam menetralisir, mengidentifikasi serta menemukan peluang-peluang yang dapat diciptakan guna meningkatkan mutu kelembagaan secara menyeluruh.
Supervisi pada dasarnya diarahkan pada tiga kegiatan, yakni: supervisi akademis, supervisi administrasi dan supervisi lembaga. Ketiga kegiatan besar tersebut masing-masing memiliki garapan serta wilayah tersendiri, supervisi akademis sendiri dititik beratkan pada pengamatan supervisor tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan kegiatan akademis, diantaranya hal-hal yang langung berada dalam lingkungan kegiatan pembelajaran pada waktu siswa sedang dalam proses mempelajari sesuatu.
Sedangkan supervisi administrasi menitik beratkan pada pengamatan supervisor pada aspek-aspek administrasi yang berfungsi sebagai pendukung dan pelancar terlaksananya pembelajaran dan administrasi lembaga sendiri diarahkan pada kegiatan dalam rangka menyebarkan objek pengamatan supervisor tentang aspek-aspek yang berada di seantero sekolah dan berperan dalam meningkatkan nama baik sekolah atau kinerja sekolah secara keseluruhan.
Sasaran pengawasan di lingkungan kelembagaan pendidikan selama ini menunjukkan kesan seolah-olah segi fisik material yang tampak merupakan saaran yang sangat penting, namun pengolahan dana, sistem kepegawaian, perlengkapan serta sistem informasi yang dipergunakan oleh lembaga nyaris merupakan sesuatu yang terabaikan.
Supervisi kelembagaan menebarkan objek pengamatan supervisor pada aspe-aspek yang berada d lingkungan sekolah, artinya lebih bertumpu pada citra dan kualitas sekolah, sebab dapat dimaklumi bahwa sekolah yang memiliki popularitas akan menjadi lembaga pendidikan yang secara otomatis dapat menarik perhatian masyarakat yang pada gilirannya akan menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah dimaksud.
Citra sekolah selain digambarkan oleh sarana dan fasilitas yang memadai, juga dibuktikan dengan kualitas proses pembelajaran serta kualitas lulusan yang dapat diakui oleh masyarakat keberadaan lulusan lembaga terkait, selain itu juga tampak sekolah yang baik dilihat dari sisi ketertiban, pengelolaan, kesejahteraan serta situasi dan kondisi lingkungan yang memang kondusif untuk belajar.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Rumusan supervisi pendidikan yang paling kongkrit yaitu, suatu ktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif. Meskipun tujuan akhir dari pemberian supervise adalah tertuju pada hasil belajar siswa, namun yang diutamakan adalah bantuan kepada guru. Karena guru adalah pelaksana pendidikan.
2.Adanya supervisi dalam dunia pendidikan adalah untuk:
a. Meningkatkan mutu pembelajaran yang tertuju pada aspek akademik, khususnya yang terjadi diruangan kelas ketika guru sedang memberikan bantuan dan arahan pada siswa.
b. Memicu unsur yang terkait dengan pembelajaran.
c. Membina dan pemimpin.
3.Perkembangannya supervisi mengalami proses yang cukup panjang sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc Neil antara lain:
1900-1920 : Supervisi hanya dilakukan oleh pejabat administrasi
1920-1930 :Supervisi hanya dilakukan oleh para spesialis
1930-1940 :Supervisi sebagai hubungan inklusif demokratik
setelah 1940 : Supervisi Rasional
Sementara Niles dan Bondi (1986) membagi perkembangan supervisi dalam beberapa peranan antara lain:
1850- 1910 : Pengawasan
1910 – 1920 : Supervisi santifik
1920 – 1930 : Supervisi demokratik
1930 -1955 :Supervisi Kooperatik
1955–1965 : Supervisi sebagai perkembangan kurikulum
1965 – 1970 : Supervisi Klasik
1970 – 1980 :Supervisi sebagai manajemen
1980- Skg : Supervisi sebagai pengajaran
B. Saran
Sistem evaluasi kinerja guru hendaknya memberikan manfaat sebagai umpan balik untuk memenuhi berbagaikebutuhan di kelas (classroom needs), dan dapat memberikan peluang bagi pengembanganteknik-teknik baru dalam pengajaran, serta mendapatkan konseling dari kepala sekolah,pengawas pendidkan atau guru lainnya untuk membuat berbagai perubahan di dalam kelas.
Para evaluator hendaknya mempertimbangkan aspek keragaman keterampilan pengajaran yang dimiliki guru. dan menggunakan berbagai sumber informasi tentang kinerjaguru, sehingga dapat memberikan penilaian secara lebih akurat. Beberapa prosedur evaluasi kinerja guru yang dapat digunakan oleh evaluator.
Demikian makalah yang dapat saya persentasikan pada kesempatan ini, tentu masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu saran dan kritik teman-temen adalah harapan bagi kami guna tersempurna-nya penulisan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2004, Dasar-dasar Supervisi, Jakarta, PT. Rineka Cipta.
Mulyasa, E., 2006, Menjadi kepala sekolah Profesional, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.
Pidarta, Made, 1992, Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara.
Purwanto, M. Ngalim, 2008, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.
Sahertian, Piet A., 1981, Prinsip dan Tehnik Supervisi Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional.
______________, 2000, Konsep Dasar dan Tehnik Supervisi
Pendidiksn, Jakarta, PT. Rineka Cipta.
Soetopo, Hendyat dan Wasty Soemanto, 1988, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, Jakarta, Bina Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar