MODEL SEKOLAH BERMUTU
Diajukan untuk memenuhi tugas mandiri
Mata Kuliah : Manajemen Mutu Pendidikan
Dosen pengampu : Dr.H. Wahyo, M.Pd
Oleh :
A R I P I N
505910065
Konsentrasi : Manajemen Pendidikan Islam
Pascasarjana
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SYEKH NUR JATI CIREBON 2011
MODEL SEKOLAH BERMUTU
I. Pendahuluan
Pendidikan merupakan human investment. Semakin baik pendidikan sebuah Negara, semakin baik pula kualitas sumber daya manusianya. Sebaliknya, semakin buruk pendidikan sebuah Negara, semakin buruk pula kualitas sumber daya manusianya. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui layanan pendidikan bermutu dan berkualitas pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Pendidikan mencakup semua aktifitas, mulai konsep, visi, misi, institusi, kurikulum, metodologi, proses belajar mengajar, SDM kependidikan, lingkungan pen-didikan dan lain sebagiainya, yang disemangati dan bersumber pada ajaran dan nilai-nilai ang dibangun dalam proses semua aktiftas tersebut. Kelembagaan pendidikan yang efektif tersebut adalah lembaga pendidikan atau sekolah yang merefleksikan konsep-konsep sekolah yang baik (the good school), sekolah yang efektif (the effective school), sekolah yang unggul (the excellent school).
Bagaimana sebenarnya model sekolah bermutu? Makalah ini mencoba menjawab secara sederhana.
II.Konsep Mutu dalam Konteks Pendidikan
a.Mutu sebagai konsep obsolut
Sebagai suatu konsep yang absolut, konsep mutu memiliki pelbagai macam arti, yaitu:
1). Memiliki sifat baik, cantik, dan benar dan merupakan suatu idealisme yang tidak dapat dikompromikan. Contoh: Mobil itu mewah, wanita itu cantik, dan lain sebagainya.
2). Memiliki standar yang sangat tinggi yang tidak dapat diungguli. Contoh: Mobil yang bermutu adalah mobil hasil rancangan istimewa, mahal, dan langka. Mutu dalam konsep absolut lebih tepat disebut dengan high quality atau top quality (bermutu tinggi).
Jika dikaitkan dengan konteks pendidikan, konsep mutu sedemikian adalah elit, karena hanya sedikit institusi yang dapat memberikan pengalaman pendidikan dengan “mutu tinggi” kepada para peserta didik.
Dalam konteks lembaga pendidikan di Indonesia, mutu sebagai konsep absolut dapat kita lihat dalam penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah Semesta Semarang kerjasama antara Indonesia dengan PASIAD Turki, dan lain sebagainya. Sekolah-sekolah model ini biasanya memiliki mutu tinggi sehingga umumnya pembiayaan pendidikan sangat mahal dan hanya dapat dinikmati oleh anak-anak dari kalangan The have.
b.Mutu sebagai konsep relative
Mutu sebagai konsep relatif memandang mutu bukan sebagai suatu atribut produk atau layanan, tetapi sesuatu yang dianggap berasal dari produk atau layanan tersebut. Mutu dapat dikatakan ada apabila sebuah layanan memenuhi spesifikasi yang ada.
Definisi relatif tentang mutu tersebut memiliki dua aspek. Pertama, menyesuaikan diri dengan spesifikasi. Kedua,memenuhi kebutuhan pelanggan. Penyesuaian diri terhadap spesifikasi sering disimpulkan sebagai ‘sesuai dengan tujuan dan manfaat’. Kadangkala definisi ini sering dinamai definisi produsen tentang mutu. Para produsen menunjukkan bahwa mutu memiliki sebuah sistem, yang biasa disebut sistem jaminan mutu (quality assurance system). Sebuah produk dikatakan bermutu selama produk tersebut, secara konsisten, sesuai dengan tuntutan pembuatnya. Mutu yang sedemikian ini disebut dengan mutu sesungguhnya (quality in fact).
Dalam konteks pendidikan Islam, misalnya di Pondok Pesantren khusus Tahfidzul Qur’an, mutu sebagai konsep relatif dapat diwujudkan dengan keberhasilan para santri dalam menghafal Qur’an. Karena hafalan Qur’an merupakan tuntutan pesantren bagi outputnya.
c. Mutu menurut pelanggan
Siapakah sebenarnya yang memutuskan apakah sebuah sekolah/madrasah/ perguruan tinggi berhasil memberikan layanan bermutu? Jika kita bersandar pada manajemen sekolah berbasis mutu, maka pelanggan sebagai wasit terhadap mutu dan pelanggan di sini meliputi pelanggan internal dan eksternal. Sehingga, Edward Sallis mendefinisikan mutu sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut dengan istilah, mutu sesuai persepsi (quality in perception).
d. Standar-standar mutu
Berdasarkan konsep mutu di atas, ada dua standar mutu yang dapat kita simpulkan, yaitu:
1). standar mutu produk dan jasa dan
2). standar pelanggan.
Standar mutu berdasarkan produk dan jasa meliputi: kesesuaian dengan spesifikasi, kesesuaian dengan tujuan dan manfaat, tanpa cacat (zero defect), dan selalu baik sejak awal (right first time
every time). Sedangkan standar mutu berdasarkan pelanggan meliputi: kepuasan pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan, dan menyenangkan pelanggan.
Dalam konteks UU Sisdiknas Tahun 2003, ada delapan standar nasional pendidikan yang harus diperhatikan oleh setiap lembaga pendidikan. Delapan standar ini merupakan standar mutu minimal yang harus dimiliki institusi pendidikan. Adapun delapan standar itu adalah standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
e. Kontrol mutu, jaminan mutu, dan mutu terpadu
Kontrol mutu (quality control) untuk mendeteksi dan mengeliminasi komponen-komponen atau produk gagal yang tidak sesuai dengan standar. Misalnya di UIN Sunan Kalijaga telah dibentuk UPM (Uni Penjaminan Mutu) untuk mengontrol mutu pelayanan akademik. UPM akan melakukan AMI (Audit Mutu Internal) di setiap fakultas sebelum ada Audit Mutu Eskternal (AME).
Jaminan Mutu (Quality Assurance) untuk menjamin bahwa proses produksi menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah diterapkan sebelumnya. Jaminan mutu adalah sebuah cara menproduksi produk yang bebas dari cacat dan kesalahan. Tujuannya, dalam istilah Philip B.Crosby, adalah menciptakan produk tanpa cacat (zero defect) dan memenuhi spesifikasi produk secara konsisten atau menghasilkan produk yang ‘selalu baik sejak awal (right first time every time).
III. Karakteristik Sekolah Unggul
Telah banyak dilakukan penelitian oleh pakar manajemen pendidikan mengenai sekolah yang baik. Dalam penelitian sekolah yang baik sering disebut sekolah yang efektif atau sekolah yang excellent (Sergiovanni, 1987), atau sekolah yang unggul (Newman, 1988).
Sebenarnya ada dua model pendekatan yang sangat berguna dalam menetapkan sekolah baik atau sekolah efektif (Hoy & Ferguson, 1985), yaitu model pendekatan pencapaian tujuan dan model pendekatan proses. Pada model pendekatan pencapaian tujuan, model ini berdasarkan pandangan tradisional organisasi dikatakan efektif apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sergiovanni, 1987).
Di sekolah biasanya dilihat tingkat pencapaiannya yang ditandai dengan prestasi lulusan sekolah. Dengan demikian model pendekatan tujuan ini, prestasi siswa merupakan peranan penting yang digunakan dalam menetapkan baik atau tidaknya sekolah.
Sedangkan model pendekatan proses, model ini memandang organisasi sebagai sebuah sistem yang terbuka yang terdiri dari masukan transformasi, dan keluaran (Hoy & Miskel, 1982). Model sistem keefektivan organisasi ini dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuan melainkan konsistensi internal, efisiensi penggunaan semua sumber yang ada, dan kesuksesan dalam mekanisme kerjanya (Hoy & Ferguson, 1985). Ada dua asumsi yang melandasinya, yaitu (1) organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya, (2) organisasi merupakan sistem yang dinamis dan begitu besar, maka kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi yang bermakna.
Sehubungan dengan itu, untuk memberikan gambaran tentang sekolah yang efektif atau sekolah unggul, perlu disajikan beberapa kajian atau hasil penelitian dari pakar manajemen pendidikan tentang sekolah efektif atau sekolah unggul.
Sekolah efektif atau sekolah unggul memiliki kriteria, ciri-ciri atau karakteristik tertentu. Ukuran dasar yang dapat dijadikan pedoman untuk melihat apakah sekolah efektif itu atau tidak, sekolah itu unggul atau tidak, Suyanto dalam Elfahmi (2006) menegaskan bahwa sekolah unggul memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu: (1) memiliki budaya akademik yang kuat, (2) memiliki kurikulum yang selalu relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) memiliki komunitas sekolah yang selalu menciptakan cara-cara atau teknik belajar untuk belajar yang inovatif, (4) berorientasi pada pengembangan hard knowlegde dan soft knowlegde secara seimbang, (5) proses belajar untuk mengembangkan potensi siswa secara holistik, dan (6) mengembangkan proses pengembangan kemampuan dan kompetensi ber-komunikasi siswa secara global.
Lezotte (1983) menemukan dalam penelitiannya bahwa sekolah-sekolah yang unggul itu memiliki karakteristik-karakteristik, yaitu: (1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (2) iklim serta harapan yang tinggi; (3) kepeminpinan instruksional yang logis; (4) misi yang jelas dan terfokuskan; (5) kesempatan untuk belajar dan mengerjakan tugas bagi siswa; dan (6) pemantauan yang sering dilakukan terhadap kemajuan siswa, dan hubungan rumah-sekolah yang bersifat mendukung. Dalam penelitian ini, tidak disebut-sebut perihal keefektivan guru secara khusus, demikianpun perihal ganjaran insentif, yang pada penelitian lain cukup memberikan sumbangan terhadap prestasi siswa di sekolah.
Sedang Austin (Moedjiarto, 2002) dalam penelitian menemukan bahwa sekolah-sekolah yang sukses menunjukkan saling ketergantungan sehubungan praktek-praktek tertentu dalam organisasi sekolah. Dalam kaitan ini, karakteristik-karakteristik yang ditemukan dalam sekolah-sekolah unggul, adalah (1) kepemimpinan instruksional yang kuat; (2) pengembangan program, perencanaan pengajaran; (3) harapan-harapan performansi yang tinggi; (4) kepercayaan bahwa semua siswa dapat mempelajari keterampilan-keterampilan dasar; (5) iklim yang positif; (6) pengawasan terhadap fungsi-fungsi sekolah, kurikulum dan program pengembangan staf; (7) dukungan staf yang kuat; (8) pemberian semangat; serta (9) tanggung jawab dan partisipasi siswa.
Dengan demikian sekolah dapat disebut sebagai sekolah unggul bila memiliki karakteristik keefektivan yang tinggi, yaitu: iklim sekolah yang positif, proses perencanaan sekolah yang melibatkan seluruh warga sekolah, harapan yang tinggi terhadap prestasi akademik, pemantauan yang efektif terhadap kemajuan siswa, keefektivan guru, kepemimpinan instruksional yang berorientasi pada prestasi akademik, pelibatan orang tua yang aktif dalam kegiatan sekolah, kesempatan, tanggung jawab, dan partisipasi siswa yang tinggi di sekolah, ganjaran dan insentif di sekolah, yang didasarkan pada keberhasilan, tata tertib dan disiplin yang baik di sekolah, dan pelaksanaan kurikulum yang jelas.
Menurut Hasan (2005) ada empat persyaratan yang dapat dikategorikan sebagai kelembagaan pendidikan yang baik “sekolah unggul”, yaitu: (1) SDM kependidikan yang professional, (2) manajemen yang efektif dan profesional, (3) lingkungan pendidikan yang kondusif, dan (4) mampu membangun kepercayaan kepada masyarakat.
Persyaratan pertama, SDM kependidikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan berdasarkan seleksi yang memenuhi syarat kompetensi personal, kompetensi professional, kompetensi moral dan kompetensi sosial, yang mampu berperan sebagai pengajar, pendidik, dan sekaligus pemimpin ditengah-tengah peserta didiknya. Selain itu, tenaga kependidikan tersebut memiliki pengalaman dan ditunjang oleh adanya keunggulan dalam kemampuan intelektual, moral, keilmuan, ketaqwaan, disiplin dan tanggung jawab, keluasan wawasan kepndidikan, kemampuan pengelolaan, terampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami profesi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum, juga menguasai bidang agama islam dan ketaatan dalam beribadah maupun amaliyahnya.
Persyaratan kedua, manajemen pendidikan diharapkan dapat berperan menjadi pemberdayaan organisasi (empowering organization). Dalam hal pemberdayaan organisasi, komponen-komponen yang harus didayagunakan sehingga secara bersinergi mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Diantara komponen-komponen tersebut adalah kurikulum atau pembelajaran, siswa, pegawai, sarana prasarana, keuangan, dan lingkungan masyarakat (De Roche, 1985). Dalam pelaksanaan keseluruhan proses manajemen tersebut diupayakan dengan bertumpu pada spirit manajemen pendidikan keunggulan sebagaimana temuan teoritik pada berbagai hasil penelitian yaitu berwawasan mutu, kemandirian, partisipasi, dan keterbukaan.
Ada empat langkah proses manajemen pendidikan yang professional, yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pengerahan (kepemimpinan), dan pengendalian. Perencanaan pendidikan dilakukan dalam bentuk pengembangan arah organisasional-visi, misi, tujuan, dan target-kelembagaan pendidikan, penyusunan rencana strategis jangka panjang, rencana strategis jangka menengah, dan rencana strategis jangka pendek yang dilanjutkan dengan penyusunan rencana operasional. Prinsip dasarnya adalah perencanaan yang baik, futuristic namun tetap realistic, sesuai dengan prinsip utama (Bafadal, 2002).
Pengorganisasian pendidikan diupayakan dalam formula pengembangan struktur organisasi yang menganut prinsip ramping struktur namun gemuk fungsi, perumusan deskripsi tugas yang jelas, dan penempatan tenaga kependidikan sesuai dengan keahliannya. Kepemimpinan pendidikan diwujudkan dalam bentuk upaya pimpinan lembaga pendidikan dalam menggerakkan seluruh tenaga kependidikan melalui pendekatan uswatun hasanah dan mauidhah hasanah (contoh yang baik dan petuah/nasehat yang baik). Sedangkan pengawasan pendidikan direalisasikan dalam bentuk melakukan refleksi diri atas seluruh implementasi program dalam suatu kurun waktu tertentu (Dit Dikmenum, 2002).
Dalam membentuk budaya mutu sekolah, lembaga pendidikan merupakan sebuah organisasi. Kultur lembaga pendidikan merupakan kultur organisasi dalam konteks satuan pendidikan. Dengan demikian kultur lembaga pendidikan dapat diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spirit dan nilai-nilai tertentu yang dianutnya. Kultur lembaga pendidikan tersebut akan dapat dikembangkan dengan melalui tenaga kependidikan yang unggul sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Persyaratan yang ketiga, lembaga pendidikan harus mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif, yang memberikan suasana damai, bersih, tertib, aman, indah dan penuh kekeluargaan. Lingkungan yang memberikan kebebasan peserta didik untuk berekspresi, mengembangkan minat dan bakatnya, berinteraksi sosial dengan sehat dan saling menghormati,, dalam atmosfir yang mencitrakan suasana religius, etis, dan humanis.
Membangun kepercayaan kepada masyarakat merupakan persyaratan yang terakhir. Dalam hal ini, lembaga pendidikan harus mampu membangun kepercayaan kepada masyarakat atas program-programnya sehingga memperoleh dukungan dan partisipasi masyarakat dalam bentuk pemikiran dan pembiayaan. Sekolah diharapkan mampu melakukan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dengan masyarakat di lingkungan sekolah.
III. Model Sekolah Bermutu Terpadu
Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu oleh pimpinan sekolah, staf, siswa, guru dan komunitas. Prosesnya diawali dengan mengembangkan visi dan misi mutu. Ada 5 pilar untuk mewujudkan sekolah bermutu terpadu, yaitu:
a. Fokus pada kostumer
Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa setiap output lembaga pendidikan adalah kustomer. Sekolah memiliki kustomer (pelanggan) internal dan eksternal. Pelanggan eksternal misalnya: Siswa (eksternal utama), orang tua, kepala daerah, sponsor (eksternal kedua), pemerintah, masyarakat, bursa kerja (eksternal ketiga). Sedangkan pelanggan internal adalah guru/dosen dan staf/karyawan.
b. Keterlibatan total
Setiap orang mesti terlibat dalam transformasi mutu. Manajemen mesti memiliki komitmen untuk menfokuskan pada mutu. Dalam hal ini diperlukan kekompakkan semua orang untuk menerapkan sebuah mutu yang telah disepakati bersama. Tanpa kekompakkan akan sulit mewujudkan sebuah lembaga yang bermutu, sebab setiap akan cenderung berjalan sendiri-sendiri.
c.Pengukuran
Secara tradisional ukuran mutu atas keluaran sekolah (output) adalah prestasi siswa. Ukuran dasarnya adalah hasil ujian. Bila ujian bertambah baik, maka mutu pendidikan pun membaik. Contohnya: adanya Ujian Nasional. Walaupun UN penuh kontroversial, UN masih dianggap sebagai alat utama untuk memetakan mutu lembaga pendidikan di Indonesia. Dalam konteks lembaga pendidikan Islam, Prof. Imam Suprayogo berpendapat bahwa pendidikan Islam harus mengantarkan para lulusannya memiliki empat kekuatan, yaitu: kedalaman spiritual, keagungan akhlak (moralitas), keluasan ilmu, dan kematangan professional (skill).
d. Komitmen
Para pengawas sekolah dan dewan sekolah harus memiliki komitmen pada mutu. Bila mereka tidak memiliki komitmen, proses transformasi mutu tidak akan dapat dimulai karena kalaupun dijalankan pasti gagal. Setiap orang perlu mendukung upaya mutu. Mutu merupakan perubahan budaya yang menyebabkan organisasi mengubah cara kerjanya. Orang biasanya tidak mau berubah, tapi manajemen harus mendukung proses perubahan dengan member pendidikan, perangkat, sistem dan proses untuk meningkatkan mutu.
e. Perbaikan berkelanjutan (continous improvement)
Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen lama, “Kalau belum rusak, janganlah diperbaiki”. Menurut filosofi manajemen yang baru, “Bila tidak rusak, perbaikilah, karena bila Anda tidak melakukannya orang lain pasti melakukannya”. Inilah konsep perbaikan berkelanjutan.
Kelima pilar di atas merupakan ramuan penting bagi setiap prakarsa mutu yang berhasil. Namun, komponen terpenting dari mutu adalah fondasi yang mendasari bangunan program mutu. Keyakinan dan nilai-nilai sekolah atau wilayah akan menentukan kekuatan dan keberhasilan transformasi mutu.
Merujuk pada pemikiran Edward Sallis, Sudarwan Danim (2006) mengidentifikasi ciri-ciri sekolah bermutu, yaitu:
1. Sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul dengan komitmen untuk bekerja secara benar dari awal.
2. Sekolah memiliki investasi pada sumber daya manusianya, sehingga terhindar dari berbagai “kerusakan psikologis” yang sangat sulit memperbaikin.
3. Sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik, maupun tenaga administratif.
4. sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitasdan memposisikan kesalahan sebagai instrumen untuk berbuat benar pada masa berikutnya
5. Sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik untuk jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
6. Sekolah mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.
7. Sekolah mendorong orang dipandang memiliki kreativitas, mampu menciptakan kualitas dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas.
8. Sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertikal dan horozontal.
9. Sekolah memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas.
10. Sekolah memnadang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut.
11. Sekolah memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja.
12. Sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus menerus sebagai suatu keharusan.
Hampir serupa apa yang dikemukakan oleh Danim tentang kriteria sekolah efektif/bermutu di atas, Sammons (Macbeath & Mortimore, 2005) menganalisis tentang sekolah yang efektif itu ditentukan 11 faktor penting, yaitu: kepemimpinan profesional, visi dan tujuan bersama, suatu lingkungan pembelajaran, konsentrasi pada belajar dan mengajar, harapan tinggi, dorongan positif, meminitor kemajuan, hak dan kewajiban murid, pengajaran yang mempunyai tujuan, suatu organisasi pembelajaran, dan kemitraan sekolah rumah.
III.Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sekolah dapat disebut sebagai sekolah unggul/ sekolah bermutu bila memiliki karakteristik keefektivan yang tinggi, yaitu: iklim sekolah yang positif, proses perencanaan sekolah yang melibatkan seluruh warga sekolah, harapan yang tinggi terhadap prestasi akademik, pemantauan yang efektif terhadap kemajuan siswa, keefektivan guru, kepemimpinan instruksional yang berorientasi pada prestasi akademik, pelibatan orang tua yang aktif dalam kegiatan sekolah, kesempatan, tanggung jawab, dan partisipasi siswa yang tinggi di sekolah, ganjaran dan insentif di sekolah, yang didasarkan pada keberhasilan, tata tertib dan disiplin yang baik di sekolah, dan pelaksanaan kurikulum yang jelas.
Daftar Pustaka
Edward Sallis, Total Quality Management in Education (terj.) oleh Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi, (Yogyakarta: IRCiSoD).
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, (terj.) oleh Yosal Iriantara, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2007), cetakan IV.
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an, (Malang: Aditya Media bekerjasama dengan UIN Malang Press).
http://www.dhanay.co.cc/2009/09/pendekatan-tqm-dalam-manajemen-mutu
Sudarwan Danim. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari UnitBirokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.