Selasa, 05 April 2011

Manajemen Mutu Pendidikan

MODEL SEKOLAH BERMUTU

Diajukan untuk memenuhi tugas mandiri

Mata Kuliah : Manajemen Mutu Pendidikan

Dosen pengampu : Dr.H. Wahyo, M.Pd

Oleh :

A R I P I N

505910065

Konsentrasi : Manajemen Pendidikan Islam

Pascasarjana

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SYEKH NUR JATI CIREBON 2011



MODEL SEKOLAH BERMUTU


I. Pendahuluan

Pendidikan merupakan human investment. Semakin baik pendidikan sebuah Negara, semakin baik pula kualitas sumber daya manusianya. Sebaliknya, semakin buruk pendidikan sebuah Negara, semakin buruk pula kualitas sumber daya manusianya. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui layanan pendidikan bermutu dan berkualitas pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Pendidikan mencakup semua aktifitas, mulai konsep, visi, misi, institusi, kurikulum, metodologi, proses belajar mengajar, SDM kependidikan, lingkungan pen-didikan dan lain sebagiainya, yang disemangati dan bersumber pada ajaran dan nilai-nilai ang dibangun dalam proses semua aktiftas tersebut. Kelembagaan pendidikan yang efektif tersebut adalah lembaga pendidikan atau sekolah yang merefleksikan konsep-konsep sekolah yang baik (the good school), sekolah yang efektif (the effective school), sekolah yang unggul (the excellent school).

Bagaimana sebenarnya model sekolah bermutu? Makalah ini mencoba menjawab secara sederhana.

II.Konsep Mutu dalam Konteks Pendidikan

a.Mutu sebagai konsep obsolut

Sebagai suatu konsep yang absolut, konsep mutu memiliki pelbagai macam arti, yaitu:

1). Memiliki sifat baik, cantik, dan benar dan merupakan suatu idealisme yang tidak dapat dikompromikan. Contoh: Mobil itu mewah, wanita itu cantik, dan lain sebagainya.

2). Memiliki standar yang sangat tinggi yang tidak dapat diungguli. Contoh: Mobil yang bermutu adalah mobil hasil rancangan istimewa, mahal, dan langka. Mutu dalam konsep absolut lebih tepat disebut dengan high quality atau top quality (bermutu tinggi).

Jika dikaitkan dengan konteks pendidikan, konsep mutu sedemikian adalah elit, karena hanya sedikit institusi yang dapat memberikan pengalaman pendidikan dengan “mutu tinggi” kepada para peserta didik.

Dalam konteks lembaga pendidikan di Indonesia, mutu sebagai konsep absolut dapat kita lihat dalam penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah Semesta Semarang kerjasama antara Indonesia dengan PASIAD Turki, dan lain sebagainya. Sekolah-sekolah model ini biasanya memiliki mutu tinggi sehingga umumnya pembiayaan pendidikan sangat mahal dan hanya dapat dinikmati oleh anak-anak dari kalangan The have.

b.Mutu sebagai konsep relative

Mutu sebagai konsep relatif memandang mutu bukan sebagai suatu atribut produk atau layanan, tetapi sesuatu yang dianggap berasal dari produk atau layanan tersebut. Mutu dapat dikatakan ada apabila sebuah layanan memenuhi spesifikasi yang ada.

Definisi relatif tentang mutu tersebut memiliki dua aspek. Pertama, menyesuaikan diri dengan spesifikasi. Kedua,memenuhi kebutuhan pelanggan. Penyesuaian diri terhadap spesifikasi sering disimpulkan sebagai ‘sesuai dengan tujuan dan manfaat’. Kadangkala definisi ini sering dinamai definisi produsen tentang mutu. Para produsen menunjukkan bahwa mutu memiliki sebuah sistem, yang biasa disebut sistem jaminan mutu (quality assurance system). Sebuah produk dikatakan bermutu selama produk tersebut, secara konsisten, sesuai dengan tuntutan pembuatnya. Mutu yang sedemikian ini disebut dengan mutu sesungguhnya (quality in fact).

Dalam konteks pendidikan Islam, misalnya di Pondok Pesantren khusus Tahfidzul Qur’an, mutu sebagai konsep relatif dapat diwujudkan dengan keberhasilan para santri dalam menghafal Qur’an. Karena hafalan Qur’an merupakan tuntutan pesantren bagi outputnya.

c. Mutu menurut pelanggan

Siapakah sebenarnya yang memutuskan apakah sebuah sekolah/madrasah/ perguruan tinggi berhasil memberikan layanan bermutu? Jika kita bersandar pada manajemen sekolah berbasis mutu, maka pelanggan sebagai wasit terhadap mutu dan pelanggan di sini meliputi pelanggan internal dan eksternal. Sehingga, Edward Sallis mendefinisikan mutu sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut dengan istilah, mutu sesuai persepsi (quality in perception).

d. Standar-standar mutu

Berdasarkan konsep mutu di atas, ada dua standar mutu yang dapat kita simpulkan, yaitu:

1). standar mutu produk dan jasa dan

2). standar pelanggan.

Standar mutu berdasarkan produk dan jasa meliputi: kesesuaian dengan spesifikasi, kesesuaian dengan tujuan dan manfaat, tanpa cacat (zero defect), dan selalu baik sejak awal (right first time

every time). Sedangkan standar mutu berdasarkan pelanggan meliputi: kepuasan pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan, dan menyenangkan pelanggan.

Dalam konteks UU Sisdiknas Tahun 2003, ada delapan standar nasional pendidikan yang harus diperhatikan oleh setiap lembaga pendidikan. Delapan standar ini merupakan standar mutu minimal yang harus dimiliki institusi pendidikan. Adapun delapan standar itu adalah standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
e. Kontrol mutu, jaminan mutu, dan mutu terpadu

Kontrol mutu (quality control) untuk mendeteksi dan mengeliminasi komponen-komponen atau produk gagal yang tidak sesuai dengan standar. Misalnya di UIN Sunan Kalijaga telah dibentuk UPM (Uni Penjaminan Mutu) untuk mengontrol mutu pelayanan akademik. UPM akan melakukan AMI (Audit Mutu Internal) di setiap fakultas sebelum ada Audit Mutu Eskternal (AME).

Jaminan Mutu (Quality Assurance) untuk menjamin bahwa proses produksi menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah diterapkan sebelumnya. Jaminan mutu adalah sebuah cara menproduksi produk yang bebas dari cacat dan kesalahan. Tujuannya, dalam istilah Philip B.Crosby, adalah menciptakan produk tanpa cacat (zero defect) dan memenuhi spesifikasi produk secara konsisten atau menghasilkan produk yang ‘selalu baik sejak awal (right first time every time).

III. Karakteristik Sekolah Unggul

Telah banyak dilakukan penelitian oleh pakar manajemen pendidikan mengenai sekolah yang baik. Dalam penelitian sekolah yang baik sering disebut sekolah yang efektif atau sekolah yang excellent (Sergiovanni, 1987), atau sekolah yang unggul (Newman, 1988).

Sebenarnya ada dua model pendekatan yang sangat berguna dalam menetapkan sekolah baik atau sekolah efektif (Hoy & Ferguson, 1985), yaitu model pendekatan pencapaian tujuan dan model pendekatan proses. Pada model pendekatan pencapaian tujuan, model ini berdasarkan pandangan tradisional organisasi dikatakan efektif apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sergiovanni, 1987).
Di sekolah biasanya dilihat tingkat pencapaiannya yang ditandai dengan prestasi lulusan sekolah. Dengan demikian model pendekatan tujuan ini, prestasi siswa merupakan peranan penting yang digunakan dalam menetapkan baik atau tidaknya sekolah.

Sedangkan model pendekatan proses, model ini memandang organisasi sebagai sebuah sistem yang terbuka yang terdiri dari masukan transformasi, dan keluaran (Hoy & Miskel, 1982). Model sistem keefektivan organisasi ini dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuan melainkan konsistensi internal, efisiensi penggunaan semua sumber yang ada, dan kesuksesan dalam mekanisme kerjanya (Hoy & Ferguson, 1985). Ada dua asumsi yang melandasinya, yaitu (1) organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya, (2) organisasi merupakan sistem yang dinamis dan begitu besar, maka kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi yang bermakna.

Sehubungan dengan itu, untuk memberikan gambaran tentang sekolah yang efektif atau sekolah unggul, perlu disajikan beberapa kajian atau hasil penelitian dari pakar manajemen pendidikan tentang sekolah efektif atau sekolah unggul.

Sekolah efektif atau sekolah unggul memiliki kriteria, ciri-ciri atau karakteristik tertentu. Ukuran dasar yang dapat dijadikan pedoman untuk melihat apakah sekolah efektif itu atau tidak, sekolah itu unggul atau tidak, Suyanto dalam Elfahmi (2006) menegaskan bahwa sekolah unggul memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu: (1) memiliki budaya akademik yang kuat, (2) memiliki kurikulum yang selalu relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) memiliki komunitas sekolah yang selalu menciptakan cara-cara atau teknik belajar untuk belajar yang inovatif, (4) berorientasi pada pengembangan hard knowlegde dan soft knowlegde secara seimbang, (5) proses belajar untuk mengembangkan potensi siswa secara holistik, dan (6) mengembangkan proses pengembangan kemampuan dan kompetensi ber-komunikasi siswa secara global.

Lezotte (1983) menemukan dalam penelitiannya bahwa sekolah-sekolah yang unggul itu memiliki karakteristik-karakteristik, yaitu: (1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (2) iklim serta harapan yang tinggi; (3) kepeminpinan instruksional yang logis; (4) misi yang jelas dan terfokuskan; (5) kesempatan untuk belajar dan mengerjakan tugas bagi siswa; dan (6) pemantauan yang sering dilakukan terhadap kemajuan siswa, dan hubungan rumah-sekolah yang bersifat mendukung. Dalam penelitian ini, tidak disebut-sebut perihal keefektivan guru secara khusus, demikianpun perihal ganjaran insentif, yang pada penelitian lain cukup memberikan sumbangan terhadap prestasi siswa di sekolah.

Sedang Austin (Moedjiarto, 2002) dalam penelitian menemukan bahwa sekolah-sekolah yang sukses menunjukkan saling ketergantungan sehubungan praktek-praktek tertentu dalam organisasi sekolah. Dalam kaitan ini, karakteristik-karakteristik yang ditemukan dalam sekolah-sekolah unggul, adalah (1) kepemimpinan instruksional yang kuat; (2) pengembangan program, perencanaan pengajaran; (3) harapan-harapan performansi yang tinggi; (4) kepercayaan bahwa semua siswa dapat mempelajari keterampilan-keterampilan dasar; (5) iklim yang positif; (6) pengawasan terhadap fungsi-fungsi sekolah, kurikulum dan program pengembangan staf; (7) dukungan staf yang kuat; (8) pemberian semangat; serta (9) tanggung jawab dan partisipasi siswa.

Dengan demikian sekolah dapat disebut sebagai sekolah unggul bila memiliki karakteristik keefektivan yang tinggi, yaitu: iklim sekolah yang positif, proses perencanaan sekolah yang melibatkan seluruh warga sekolah, harapan yang tinggi terhadap prestasi akademik, pemantauan yang efektif terhadap kemajuan siswa, keefektivan guru, kepemimpinan instruksional yang berorientasi pada prestasi akademik, pelibatan orang tua yang aktif dalam kegiatan sekolah, kesempatan, tanggung jawab, dan partisipasi siswa yang tinggi di sekolah, ganjaran dan insentif di sekolah, yang didasarkan pada keberhasilan, tata tertib dan disiplin yang baik di sekolah, dan pelaksanaan kurikulum yang jelas.
Menurut Hasan (2005) ada empat persyaratan yang dapat dikategorikan sebagai kelembagaan pendidikan yang baik “sekolah unggul”, yaitu: (1) SDM kependidikan yang professional, (2) manajemen yang efektif dan profesional, (3) lingkungan pendidikan yang kondusif, dan (4) mampu membangun kepercayaan kepada masyarakat.
Persyaratan pertama, SDM kependidikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan berdasarkan seleksi yang memenuhi syarat kompetensi personal, kompetensi professional, kompetensi moral dan kompetensi sosial, yang mampu berperan sebagai pengajar, pendidik, dan sekaligus pemimpin ditengah-tengah peserta didiknya. Selain itu, tenaga kependidikan tersebut memiliki pengalaman dan ditunjang oleh adanya keunggulan dalam kemampuan intelektual, moral, keilmuan, ketaqwaan, disiplin dan tanggung jawab, keluasan wawasan kepndidikan, kemampuan pengelolaan, terampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami profesi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum, juga menguasai bidang agama islam dan ketaatan dalam beribadah maupun amaliyahnya.
Persyaratan kedua, manajemen pendidikan diharapkan dapat berperan menjadi pemberdayaan organisasi (empowering organization). Dalam hal pemberdayaan organisasi, komponen-komponen yang harus didayagunakan sehingga secara bersinergi mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Diantara komponen-komponen tersebut adalah kurikulum atau pembelajaran, siswa, pegawai, sarana prasarana, keuangan, dan lingkungan masyarakat (De Roche, 1985). Dalam pelaksanaan keseluruhan proses manajemen tersebut diupayakan dengan bertumpu pada spirit manajemen pendidikan keunggulan sebagaimana temuan teoritik pada berbagai hasil penelitian yaitu berwawasan mutu, kemandirian, partisipasi, dan keterbukaan.
Ada empat langkah proses manajemen pendidikan yang professional, yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pengerahan (kepemimpinan), dan pengendalian. Perencanaan pendidikan dilakukan dalam bentuk pengembangan arah organisasional-visi, misi, tujuan, dan target-kelembagaan pendidikan, penyusunan rencana strategis jangka panjang, rencana strategis jangka menengah, dan rencana strategis jangka pendek yang dilanjutkan dengan penyusunan rencana operasional. Prinsip dasarnya adalah perencanaan yang baik, futuristic namun tetap realistic, sesuai dengan prinsip utama (Bafadal, 2002).
Pengorganisasian pendidikan diupayakan dalam formula pengembangan struktur organisasi yang menganut prinsip ramping struktur namun gemuk fungsi, perumusan deskripsi tugas yang jelas, dan penempatan tenaga kependidikan sesuai dengan keahliannya. Kepemimpinan pendidikan diwujudkan dalam bentuk upaya pimpinan lembaga pendidikan dalam menggerakkan seluruh tenaga kependidikan melalui pendekatan uswatun hasanah dan mauidhah hasanah (contoh yang baik dan petuah/nasehat yang baik). Sedangkan pengawasan pendidikan direalisasikan dalam bentuk melakukan refleksi diri atas seluruh implementasi program dalam suatu kurun waktu tertentu (Dit Dikmenum, 2002).

Dalam membentuk budaya mutu sekolah, lembaga pendidikan merupakan sebuah organisasi. Kultur lembaga pendidikan merupakan kultur organisasi dalam konteks satuan pendidikan. Dengan demikian kultur lembaga pendidikan dapat diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spirit dan nilai-nilai tertentu yang dianutnya. Kultur lembaga pendidikan tersebut akan dapat dikembangkan dengan melalui tenaga kependidikan yang unggul sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Persyaratan yang ketiga, lembaga pendidikan harus mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif, yang memberikan suasana damai, bersih, tertib, aman, indah dan penuh kekeluargaan. Lingkungan yang memberikan kebebasan peserta didik untuk berekspresi, mengembangkan minat dan bakatnya, berinteraksi sosial dengan sehat dan saling menghormati,, dalam atmosfir yang mencitrakan suasana religius, etis, dan humanis.

Membangun kepercayaan kepada masyarakat merupakan persyaratan yang terakhir. Dalam hal ini, lembaga pendidikan harus mampu membangun kepercayaan kepada masyarakat atas program-programnya sehingga memperoleh dukungan dan partisipasi masyarakat dalam bentuk pemikiran dan pembiayaan. Sekolah diharapkan mampu melakukan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dengan masyarakat di lingkungan sekolah.

III. Model Sekolah Bermutu Terpadu

Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu oleh pimpinan sekolah, staf, siswa, guru dan komunitas. Prosesnya diawali dengan mengembangkan visi dan misi mutu. Ada 5 pilar untuk mewujudkan sekolah bermutu terpadu, yaitu:

a. Fokus pada kostumer

Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa setiap output lembaga pendidikan adalah kustomer. Sekolah memiliki kustomer (pelanggan) internal dan eksternal. Pelanggan eksternal misalnya: Siswa (eksternal utama), orang tua, kepala daerah, sponsor (eksternal kedua), pemerintah, masyarakat, bursa kerja (eksternal ketiga). Sedangkan pelanggan internal adalah guru/dosen dan staf/karyawan.

b. Keterlibatan total

Setiap orang mesti terlibat dalam transformasi mutu. Manajemen mesti memiliki komitmen untuk menfokuskan pada mutu. Dalam hal ini diperlukan kekompakkan semua orang untuk menerapkan sebuah mutu yang telah disepakati bersama. Tanpa kekompakkan akan sulit mewujudkan sebuah lembaga yang bermutu, sebab setiap akan cenderung berjalan sendiri-sendiri.

c.Pengukuran

Secara tradisional ukuran mutu atas keluaran sekolah (output) adalah prestasi siswa. Ukuran dasarnya adalah hasil ujian. Bila ujian bertambah baik, maka mutu pendidikan pun membaik. Contohnya: adanya Ujian Nasional. Walaupun UN penuh kontroversial, UN masih dianggap sebagai alat utama untuk memetakan mutu lembaga pendidikan di Indonesia. Dalam konteks lembaga pendidikan Islam, Prof. Imam Suprayogo berpendapat bahwa pendidikan Islam harus mengantarkan para lulusannya memiliki empat kekuatan, yaitu: kedalaman spiritual, keagungan akhlak (moralitas), keluasan ilmu, dan kematangan professional (skill).

d. Komitmen

Para pengawas sekolah dan dewan sekolah harus memiliki komitmen pada mutu. Bila mereka tidak memiliki komitmen, proses transformasi mutu tidak akan dapat dimulai karena kalaupun dijalankan pasti gagal. Setiap orang perlu mendukung upaya mutu. Mutu merupakan perubahan budaya yang menyebabkan organisasi mengubah cara kerjanya. Orang biasanya tidak mau berubah, tapi manajemen harus mendukung proses perubahan dengan member pendidikan, perangkat, sistem dan proses untuk meningkatkan mutu.

e. Perbaikan berkelanjutan (continous improvement)

Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen lama, “Kalau belum rusak, janganlah diperbaiki”. Menurut filosofi manajemen yang baru, “Bila tidak rusak, perbaikilah, karena bila Anda tidak melakukannya orang lain pasti melakukannya”. Inilah konsep perbaikan berkelanjutan.

Kelima pilar di atas merupakan ramuan penting bagi setiap prakarsa mutu yang berhasil. Namun, komponen terpenting dari mutu adalah fondasi yang mendasari bangunan program mutu. Keyakinan dan nilai-nilai sekolah atau wilayah akan menentukan kekuatan dan keberhasilan transformasi mutu.

Merujuk pada pemikiran Edward Sallis, Sudarwan Danim (2006) mengidentifikasi ciri-ciri sekolah bermutu, yaitu:

1. Sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul dengan komitmen untuk bekerja secara benar dari awal.

2. Sekolah memiliki investasi pada sumber daya manusianya, sehingga terhindar dari berbagai “kerusakan psikologis” yang sangat sulit memperbaikin.

3. Sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik, maupun tenaga administratif.

4. sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitasdan memposisikan kesalahan sebagai instrumen untuk berbuat benar pada masa berikutnya

5. Sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik untuk jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.

6. Sekolah mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.

7. Sekolah mendorong orang dipandang memiliki kreativitas, mampu menciptakan kualitas dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas.

8. Sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertikal dan horozontal.

9. Sekolah memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas.

10. Sekolah memnadang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut.

11. Sekolah memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja.

12. Sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus menerus sebagai suatu keharusan.

Hampir serupa apa yang dikemukakan oleh Danim tentang kriteria sekolah efektif/bermutu di atas, Sammons (Macbeath & Mortimore, 2005) menganalisis tentang sekolah yang efektif itu ditentukan 11 faktor penting, yaitu: kepemimpinan profesional, visi dan tujuan bersama, suatu lingkungan pembelajaran, konsentrasi pada belajar dan mengajar, harapan tinggi, dorongan positif, meminitor kemajuan, hak dan kewajiban murid, pengajaran yang mempunyai tujuan, suatu organisasi pembelajaran, dan kemitraan sekolah rumah.

III.Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sekolah dapat disebut sebagai sekolah unggul/ sekolah bermutu bila memiliki karakteristik keefektivan yang tinggi, yaitu: iklim sekolah yang positif, proses perencanaan sekolah yang melibatkan seluruh warga sekolah, harapan yang tinggi terhadap prestasi akademik, pemantauan yang efektif terhadap kemajuan siswa, keefektivan guru, kepemimpinan instruksional yang berorientasi pada prestasi akademik, pelibatan orang tua yang aktif dalam kegiatan sekolah, kesempatan, tanggung jawab, dan partisipasi siswa yang tinggi di sekolah, ganjaran dan insentif di sekolah, yang didasarkan pada keberhasilan, tata tertib dan disiplin yang baik di sekolah, dan pelaksanaan kurikulum yang jelas.

Daftar Pustaka

Edward Sallis, Total Quality Management in Education (terj.) oleh Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi, (Yogyakarta: IRCiSoD).


Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, (terj.) oleh Yosal Iriantara, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2007), cetakan IV.


Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an, (Malang: Aditya Media bekerjasama dengan UIN Malang Press).


http://www.dhanay.co.cc/2009/09/pendekatan-tqm-dalam-manajemen-mutu

Sudarwan Danim. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari UnitBirokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.

Profesi Guru Dalam Sorotan Publik

HIMNE GURU

Profesi Guru Dalam Sorotan Publik

Diajukan untuk memenuhi tugas mandiri

Mata Kuliah : Manajemen Mutu Pendidikan

Dosen pengampu : Dr.H. Wahyo, M.Pd








Oleh :

A R I P I N

505910065

Konsentrasi : Manajemen Pendidikan Islam

Pascasarjana

Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

SYEKH NUR JATI CIREBON 2011




HYMNE GURU

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan ku ukir dalam hatiku

Sebagai terima kasihku tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan

Engkau laksana embu penyejuk dalam kehausan

Engkau patriot pahlawan bangsaa

Tanpa tanda jasa

Lagu tersebut merupakan sanjungan bagi propesi guru yang dinilai sebagai suatu profesi yang sangat mulia,karena bekerja penuh dedikasi, profesional dan tanpa pamrih. Gambaran sosok guru yang begitu ideal dalam lagu tesebut mungkin hanya ada dalam sejarah yang tidak dapat ditemukan lagi pada masa sekarang. Guru pada masa sekarang tidak lagi dipandang sebagai propesi mulia, melainkan sama sebagaimana propesi lainnya. Guru dinilai telah gagal mencetak generasi berkualitas, berilmu dan burbudi pekerti. Hasil didikan guru pada masa sekarang hanya membuahkan generasi yang ketergantungan pada hal-hal yang serba instan alias jalan pintas tanpa proses atau pun prosedur yang hrus dilalui.
Kalau kita melihat sejarah terdahulu, bahkan pada zaman penjajahan sekali pun, kedudukan, dan profesi guru sangat disegani dan dimulyakan. Dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan kemasyarakatan maupun kenegaraan, para guru selalu ditempatkan pada posisi terdepan. Bahkan, dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pun guru selalu berada pada garda terdepan untuk menunjukkan kecintaannya terhadap tanah air dan rakyat Indonesia. Seperti yang kita ketahu, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Imam Bonjol dan Ki Hajar Dewantara pun adalah seorang guru yang disegani.

Sering kita jumpai pada zaman dulu, tidak pernah ada orang tua siswa marah karena anaknya "dihajar". Bahkan, para orang tua siswa selalu berterima kasih bila anak mereka "dihajar" guru karena melakukan tindakan yang melanggar kurang ajar. Harga diri, wibawa, penghargaan masyarakat, dan penghargaan materi pun saat itu sangat memadai bagi guru. Sihingga posisi guru dipandang sebagai posisi yang sangat mulia dan terhormat. Bahkan tidak jarang guru dianggap sebagai manifestasi dari sifat ketuhanan yang berakar dari istilah Rabb.

Dalam proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi sebagai pemindah ilmu pengetahuan (Transfer of Knowledge) dari guru ke murid (top Down), tetapi juga berfungsi sebagai orang yang menanamkan nilai (values), membangun karakter (Character building) serta mengembangkan potensi besar yang dimiliki murid secara berkelanjutan. Guru adalah ujung tombak dalam melaksanakan misi pendidikan di lapangan serta merupakan faktor sangat penting dalam mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu dan efisien. Oleh karena itu, guru harus bangun dan berdiri dari tidur nyenyaknya yang selalu membanggakan slogan "pahlawan tanpa tanda jasa." Nasib guru adalah di tangan guru. Guru harus bangkit untuk mengubah citra profesionalisme yang mapan baik dalam pengabdian maupun dalam penghidupan kesehariannya.

Karena guru menjadi figur sentral dalam dunia pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar (PBM), maka setiap guru diharapkan memiliki karakteristik (ciri khas) kepribadian yang ideal sesuai dengan persyaratan yang bersifat psikologis-pedagogis. Pemapanan kepribadian guru menuju guru profesional adalah salah satu cara yang tepat untuk bangkit dalam keterbenaman. Dan itu membutuhkan waktu dan perangkat yang cukup matang. Langkah pemerintah yang membuat UU guru dan dosen bisa menjadi langkah solutif untuk mengangkat kembali citra profesionalisme guru dalam masyarakat saat ini.

Guru sebagai revolusioner

Psikolog Pendidikan, Muhibbin Syah (1995) menjelaskan, dalam mengolah Proses Belajar Mengajar guru tidak hanya berorientasi pada kecakapan-kecakapan yang berdimensi ranah cipta (kognitif) , tetapi kecakapan yang berdimensi ranah rasa (afektif) dan ranah karsa sebagai keterampilan hidup (Psikomotorik). Sebab, dalam perspektif psikologi pendidikan, mengajar pada prinsipnya berarti proses perbuatan seseorang (guru) yang membuat orang lain (siswa) belajar, dalam arti mengubah seluruh dimensi perilakunya. Perilaku ini meliputi tingkah laku yang bersifat terbuka seperti keterampilan membaca (ranah karsa), juga yang bersifat tertutup seperti berpikir (ranah cipta), dan berperasaan (ranah rasa).

Menjadi sebuah Karakteristik yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologi. Fleksibilitas kognitif (keluwesan ranah cipta) merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Ia juga memiliki resistensi (daya tahan) terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur (terlampau dini) dalam pengamatan dan pengenalan. Ia selalu berpikir kritis dan selalu menggunakan pertimbangan akal sehat yang dipusatkan pada pengambilan keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sesuatu dan melakukan atau menghindari sesuatu (Heger & Kaye,1990).

Guru yang terbuka secara psikologis biasanya ditandai dengan kesediaan yang relatif tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya dengan faktor-faktor ekstern antara lain, siswa, teman sejawat, dan lingkungan pendidikan tempat bekerja. Ia mau menerima kritik dengan iklas. Ia juga memiliki empati (empathy), yakni respons afektif terhadap pengalaman emosional dan perasaan orang lain (Reber,1988). Itulah di antaranya yang harus dilakukan guru sekarang ini. Jika guru segera bangun dan menanamkan profesionalisme yang tepat dan benar, insya Allah cibiran sebagai masyarakat kelas dua akan sirna. Pengabdian akan mendapat kepuasan dengan hasil kemajuan siswa sesuai harapan. Peningkatan kesejahteraan penghidupan pun akan merangkak tanpa perlu bergantung pada pihak lain.

Pada aspek social masyarakat, guru juga berfungsi sebagai penanam nilai-nilai budaya yang tercipta dalam masyarakat. Guru mempunyai andil besar dalam melestarikan kebudayaan (culture) yang menjadi tatanan nilai dan identitas social. Oleh karena itu, peran guru sangatlah komplek, begitu juga tantangan guru untuk senantiasa mempertahankan eksistensi profesionaitas mereka sangat berat dan komplek pula. Kondisi dan profesi guru yang sekarang sudah tidak lagi dianggap sebagai hal yang prestise dan membanggakan, bahkan guru sekarang dianggap sebagai posisi yang kecil dan termarjinalkan perlu di kembalikan seperti kondisi terdahulu.

Prilaku Guru

Sebuah istilah yang menjadi slogan guru sebagai cerminan bagi anak didik " guru kencing berdiri murid kencing berlari, memberikan pesan moral kepada guru agar bertindak dengan penuh pertimbangan. Ketika guru menanamkan nilai dan contoh karakter dan sifat yang tidak baik, maka jangan salahkan murid ketika berprilaku lebih dari apa yang guru lakukan. Seperti kelakuan bejat guru ketika membocorkan jawaban Ujian Nasional sebagai upaya menolong kelulusan anak didiknya. Memang murid pada saat itu senang, karena mendapatkan jawaban untuk mempermudah mereka lulus. Akan tetapi, saat itu juga guru telah menanamkan ketidakpercayaan murid terhadap guru. Dan pada saatnya nanti, mereka akan jauh berbuat lebih bejat lagi ketimbang saat ini yang guru mereka lakukan.

Pada ahir tahun pelajaran, gegap gempita kelulusan peserta ujian nasional (UN) di segala jenjang pendidikan nasional tidak kalah heboh dari ketidaklulusannya. Di suatu daerah, guru-guru berkrepribadian tangguh menyoal kecurangan praktek UN. Akan tetapi di beberapa daerah lain justru kuat dan berusaha melindungi kecurangan yang terjadi di sekolah mereka. Masih banyaknya prilaku guru yang sebenarnya menjatuhkan harkat dan citra diri seorang guru pada pelaksanaan UN perlu direspon dengan serius. Lebih parahnya lagi bagi guru yang tidak terima dan melaporkan terjadinya kecurangan di sekolah mereka akan mendapatkan intimidasi dan bahkan ancaman pemecatan dari pihak sekolah atau yayasan. Ada apa ini semua ?

Mengingat standarisasi kelulusan yang dinilai terlalu tinggi oleh banyak guru dan kepala sekolah, menuntut mereka memeras otak untuk mencari langkah jitu meluluskan peserta didik mereka. Sehingga Banyak niat mulia pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dilakukan dengan cara curang. Itu semua dilakukan tidak lebih hanya untuk menjaga citra dan nama baik sekolah mereka. Tidak sedikit kepala sekolah dan guru membentuk tim untuk membantu proses UN mulai dari pemberian jawaban sampai penyeleksian sendiri (perbaikan) sebelum lembaran jawaban dikirim ke panitia UN.

Guru yang profesinya sangat mulia, pendidik nurani bangsa idealnya senantiasa ditiru dan digugu oleh anak didik dan masyarakat. Kalaulah apa yang dilakukan oleh guru dan pihak sekolah adalah tindakan keterpaksaan yang diperintah oleh kepala dinas pendidikan atau kepala daerah mungkin itu masih lumayan. Tapi, kalau demi menaikkan gengsi sekolah, demi menutupi kebodohan mengajar dengan membantu anak didik agar lulus, apakah itu pelecehan dan pembunuhan terhadap potensi anak didik? Dan dimana hati nurani guru sebagai teladan ? bukankah ini merupakan prilaku memberikan contoh kejahatan, dan tindakan seperti itu menanamkan benih potensi tindakan korupsi.

Mental korupsi telah dibentuk oleh guru sejak generasi bangsa duduk di bangku sekolah. Parahnya lagi, yang membentuk karakter itu adalah guru sendiri. Padahal seyogyanya gurulah yang punya peran sentral untuk membersihkan mental koruptor dalam jiwa anak didik. Guru adalah tempat strategis untuk membentuk kepribadian anak bangsa. Jika karakter guru mengarah pada hal yang buruk, maka anak didik yang terbentuk pun akan tidak jauh dari karakter guru. Tapi sebaliknya. Kebiasaan memberikan bocoran jawaban kepada anak didik, berarti telah mengajarkan anak didik untuk korupsi. Kelak ketika anak didik itu menjadi pemimpin, maka tidak menutup kemungkinan dia akan membocorkan dana atau kebijakan yang lainnya.

Namun secara umum kita tidak juga menutup mata terhadap perjuangan beberapa guru yang bathinnya resah, jiwanya terguncang, dan melaporkan kecurangan yang dilakukan oknum guru dan kepala sekolah ke pihak berwenang. Ingatan kolektif tidak mungkin dihapus, bagaimana guru-guru sejati tersebut, mengadu sampai ke DPR RI. Bersasksi di depan sorotan kamera Televisi-televisi nasional, berani menanggung resiko demi kejujuran, kemuliaan dan kehormatan profesi guru. Namun tidak banyak guru bermental satria yang menjunjung tinggi profesionalisme guru.

Kecurangan dalam UN yang melahirkan gugatan dari praktisi, pengamat, LSM dan tidak jarang juga siswa ikut menggugat kecurangan UN di sekolah mereka. Kisah berakhir happy ending (?). dari hasil gugatan mereka, ternyata pemerintah belum bisa bertindak tegas terhadap para pelaku kecurangan. Sampai saat ini belum satu pun yang terbukti sebagai tersangka pelaku kecurangan pada UN. Jadi, keberanian bersaksi guru-guru berkrepribadian tangguh, murid-murid yang berjiwa satria, tidak mendapat tempat di mahkamah kebenaran. Ternyata kehidupan bangsa ini masih berlangsung sebagaimana sedia kala.

Guru yang digugu dan ditiru

Rumitnya problema kehidupan menentang tiap guru yang mencoba-coba menjalankan "pendidikan moral". Kalau seperti para filsuf positivis, sang guru percaya bahwa hanya Prinsip-prinsip sajalah yang mungkin diajarkan disertai alas an-alasan bernalar, sang guru masih harus menentukan prinsip-prinsip mana yang bisa dijadikan bermakna bagi anak-anak kontemporer (Maxine Greene). Guru mesti menentukan terlebih dulu tindakan-tindakan mana yang mempunyai "gema moral". Karena setiap tindakan guru akan menjadi cerminan anak didik yang melihatnya. Slogan "guru digugu dan ditiru" merupak represantasi dari komunikasi prilaku guru dengan murid setiap harinya.

Tantangan dalam kehidupan guru memang tidak mudah. Hidup dengan gaji kecil, sarana dan prasana pendidikan minim, fasilitas yang mengundang air mata, terkadang dicaci maki dan disumpahserapahi kalau ada apa-apa dengan pendidikan. Pokoknya derita guru adalah tumpukkan kesedihan. Tetapi, tetap tegar berjuang demi profesi mulia. Terlalu murah bila digadaikan dengan kecurangan demi UN. Di akhirat nantinya akan diadili pula karena curang. Lebih parah lagi tanaman psikologis. Bila anak didik berhasil karena tindakan curang guru, UN lulus dengan curang, masuk perguruan tinggi pakai joki, mendapatkan pekerjaan dengan menjogok dan cara-cara curang lainnya. bagaimana kalau dia nantinya menjabat posisi strategis di struktur pemerintahan negera kita (Pemimpin)?
Jadi, saatnya pendidikan Nasional dibersihkan dari guru-guru yang berwatak koruptor dan preman. Mari tinggalkan korupsi pendidikan dan mendidik peserta didik korupsi sejak si bangku sekolah. Yang seharusnya kita kampanyekan kepada anak didik justru pendidikan antikorupsi. Selayaknya posisi guru di barisan terdepan dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan antikorupsi, pendidikan anti curang pun digalakkan. Tentunya yang harus diperhatikan dan dibangun adalah mental guru-guru dan pihak sekolah yang lainnya.

Guru yang mempunyai jiwa idealis terhadap nilai-nilai luhur moral, dia akan senantiasa berlaku jujur terhadap semua apa yang dilakukan. Dalam menghadapi UN sebenarnya guru harus proaktif untuk memberikan mutivasi belajar dan mensupport agar anak didik siap menghadapi Ujian Nasional. Sifat sportifitas dan kompetitif yang ditanamkan didalam mental anak didik, akan mencerminkan prilaku mereka kelak ketika mereka hidup dilingkungan masyarakat. Apalagi ketika diantara mereka menjadi pemimpin bangsa. Sikap tauladan yang dicontohkan guru terhadap anak didik dalam menghadapi UN lebih memberikan rasa kepercayaan yang tinggi kepada diri sendiri dan kepada orang lain.


Meningkatkan Profesionalisme

Mengenai profesionalisme, P. Siegart dalam Rahardi (1998) menyebutkan ada tiga sikap dasar bagi individu untuk disebut profesional. Ketiga sikap dasar itu adalah (1) adanya keseimbangan antara sikap altruistik dengan sikap non-altruistik/egoistik dalam diri individu; (2) adanya penonjolan kepentingan luhur dalam praktik kerja keseharian; dan (3) munculnya sikap solider antarteman seprofesi.

Ketiga sikap dasar ini akan menumbuhkan sikap positif terhadap kerja pada diri individu, teristimewa yang mengutamakan kemauan ikhlas untuk bekerja sama dengan sesama teman seprofesi yang disemangati oleh niat melayani dan mengabdi demi tercapainya tujuan luhur sebuah karya, dalam hal ini adalah karya pendidikan yang dibentuk oleh guru dan pihak sekolah secara bersama-sama.

Seringkali terdengar keluhan bahwa sekarang kini semakin sulit mendapatkan tenaga pengajar (guru) yang memenuhi kualifikasi profesionalisme. Bahkan lebih tajam lagi, seorang pakar pendidikan, J. Drost SJ, mengatakan bahwa sekarang di Indonesia tidak ada guru yang memenuhi syarat sebagai guru (hal. 19).

Berbicara mengenai moral memang tidak dapat dipisahkan dengan profesionalisme seseorang. Keduanya saling terkait secara kausal. Yang satu menjadi akibat bagi yang lain, dan yang satu menjadi penyebab bagi yang satunya. Bagaimana mungkin seorang guru dapat dikatakan profesional apabila tidak memiliki keutamaan moral yang tinggi.

Moral dan profesionalisme juga memiliki kaitan yang erat dengan perkembangan global dunia kita. Profesionalisme dapat dianggap sebagai suatu akibat dari merebaknya arus globalisasi, dan globlalisasi merupakan suatu sebab munculnya profesionalisme. Di sini, moral menjadi perekat sekaligus penawar hubungan keduanya. Kemudian presionalisme kerja guru menjadi tuntutan, kendati masih sering dirasakan semata-mata obsesi belaka. Seorang guru hendaknya selalu melekatkan dan menumbuhkembangkan keutamaan-keutamaam sebagai guru di dalam dirinya demi memantapkan kualitas pelayanan dan pengabdiannya kepada pemanusiaan manusia muda.

Kompleksitas permasalahan guru, serta beratnya tanggung jawab yang diemban guru, menuntut peran aktif yang besar dari pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi mereka. Bukan hanya jaminan dan kesejahteraan materi, akan tetapi hukum, kebijakan politik, pembinaan dan apresiasi yang tinggi perlu diberikan kepadanya. Jiwa pendidik dan mental kesatria harus menjadi bagian yang terpatri dalam diri guru. Sehingga mendidik tidak hanya untuk mengejar kesejahteraan dan jaminan social, membiarkan kecurangan UN dilakukan oleh oknum sekolah sendiri, dan berani melawan ketidak adilan yang diciptakan oleh birokrasi pemerintah terhadap pendidikan.

UU guru yang semestinya memberikan jaminan profesi dan jaminan kesejahteraan harus tetap dijadikan salah satu cara meningkatkan kinerja dan profesionalisme guru. Kita semua berharap optimis pendidikan negeri ini akan mampu diperbaiki ketika semua elemen pendidikan bersama-sama membangun pendidikan bangsa. Kompetisi yang sehat dan sportif diantara sekolah-sekolah peserta UN perlu ditanamkan. Nilai hasil UN bukanlah ukuran mutlak sebagai nilai kualitas pendidikan. Karena dalam prinsip Otonomi pendidikan, MBS dan KTSP yang menjadi perangkat peningkatan mutu pendidikan nasional memberikan kebebasan mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi sekolah/daerah masing-masing.

Jadi, guru tetap harus bersikap professional pula dalam mengahadapi proses dan hasil UN. Walaupun misalkan terdapat beberapa anak didik yang tidak lulus, guru harus mampu memberikan pemahaman terhadap mereka bahwa itu semua hanya merupakan sebuah proses kesucsesan yang masih tertunda. Guru mempunyai peran strategis dalam mengawal anak didik menjadi generasi bangsa yang siap pakai. Selain mendidik untuk kesejahteraan pribadi dan keluarga, guru juga peka terhadap kondisi

Terciptanya keserasian antara kebutuhan pribadi dan kewajiban social akan membentuk tatanan social di Indonesia tercipta degan baik. Praktek korupsi yang dimulai dari kecurangan UN perlu dimusnahkan dari sekarang. Sikap tegas dari pemerintah (Pengadilan kebenaran) harus dibenahi. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) harus dibenahi.