Rabu, 29 Juni 2011

Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan

Resensi

Judul Asli

The Children of Adam: an Islamic Perspective on Pluralism (Washington DC: Center for Muslim-Christian Understanding; George University, 1996)

Karya

Mohammad Fathi Osman

Penerjemah

Irfan Abu Bakar

Penerbit

Yayasan Paramadina Jakarta

Tebal

134 Halaman

Istilah pluralisme dalam Islam barangkali menjadi sebuah persoalan baru, ia terdengar asing, bukan merupakan tradisi Islam yang sejati, bahkan bertentangan sama sekali. Sebab Islam hanya meyakini agamanyalah sebagai satu-satunya agama yang diterima disisi Tuhan (Q. S. 3: 85). Keyakinan ini didukung pula dengan 11 fatwa MUI yang dikeluarkan pasca Munas VII Juli 2005 lalu, dimana pluralisme menjadi salah satu konsentrasi fatwa dari 11 fatwa yang dikeluarkan dengan menjatuhkan hukum haram terhadap pemahaman pluralisme. Eksistensi MUI sendiri agaknya begitu agung ditengah masyarakat Islam Indonesia pada umumnya. MUI seolah-olah menjadi “wakil Tuhan” di permukaan bumi untuk menentukan hukum dengan ijtihad yang dilakukannya. Keharaman pluralisme yang difatwakan MUI tentu menjadi pengaruh besar bagi umat Islam bahwa ia (pluralisme) memang bertentangan jauh dari ajaran Islam.

Buku Mohamed Fathi Osman berjudul The Children of Adam: an Islamic Perspective on Pluralism (Washington DC: Center for Muslim-Christian Understanding; George University, 1996), yang terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina dengan judul Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan agaknya dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam kasus ini. Jika pluralisme dinilai sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam – dalam pandangan MUI dan umat Islam pada umumnya, barangkali hal ini tidak menurut Fathi Osman, bahkan sebaliknya, Fathi Osman justru memandang bahwa Islam memiliki prinsip-prinsip moral dan hokum mengenai pluralisme tersebut. Lebih dari itu, pluralisme juga pernah menjadi pengalaman Islam dalam catatan sejarah panjang. Fathi Osman sepertinya ingin mengakrabkan diri dengan banyaknya ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan prinsip pembenaran pluralisme dalam Islam. Dengan sendirinya, hal ini melemahkan pandangan yang mengatakan bahwa pluralisme tidak datang dari Islam, sebab banyak sekali ayat Al-Qur’an yang mendukung pluralisme dimaksud. Dalam hal ini, Fathi Osman mengawalinya dengan menyebutkan bahwa pluralisme dapat dilihat sebagai peran serta bersama tanpa memandang kelompok mayoritas atau minoritas, tapi masing-masing kelompok dapat memberikan peranan masing-masing dengan tetap mempertahankan identitasnya yang khas (h: 3). Ini jelas digambarkan Al-Qur’an: bahwa Tuhan tidak memandang siapa yang banyak, siapa yang sedikit, akan tetapi ketaqwaan yang membedakan mereka semua (Al Hujurot: 13).

Fathi Osman memandang bahwa hukum Islam (syariat) dimaksudkan untuk mencegah bahaya dan menepis beban dan penderitaan (Q. S. 5 : 6; 22: 78), bukan sebaliknya. Semua hukum Islam harus diwujudkan dalam kesanggupan individu dan masyarakat yang banyak disebutkan berulang-ulan dalam Al-Qur’an (Q. S. 2: 233, 286; 6: 152; 7: 42; 23: 62; 65: 7). Jika perlu, suatu larangan bahkan dapat ditunda untuk sementara sebagaimana halnyameringankan beban kesulitan yang tidak dapat dipikul (Q. S. 2: 173; 5: 8; 6: 119, 145; 16: 115) (h: 32). Jelas ini menunjukkan bahwa Islam melindungi kepentingan orang banyak tanpa memandang status dan kedudukannya, termasuk pula agama dan keyakinannya.

Bagi Fathi Osman, perbedaan merupakan suatu keniscayaan, sebab manusia dilahirkan dengan kondisi perbedaan bawaan, dan pada gilirannya akan menemukan perbedaan perolehan. Inilah essensi pluralisme menurut Osman yang harus diterima dan saling mengenal dengan baik (Q. S. 30: 22; 49: 13) dengan tujuan menemukan suatu pertukaran gagasan dan pengalaman yang bersifat membangun dan agar saling bekerjasama dalam upaya mereka mengembangkan kemanusiaan dan dunia dimana mereka hidup bersama. Tidak ada hambatan mengenai perkawinan silang, baik antara ras, suku, maupun status sosial. Bahkan perkawinan dengan budak dapat diizinkan , dan bahkan didorong dalam kasus-kasus tertentu (Q. S. 2: 22; 4: 25) (h: 38-9).

Bagi Osman, tidak ada alasan tidak bagi pemahaman pluralisme. Sebab pluralisme tidak hanya dapat ditemukan dalam hukum Islam, bahkan pluralism merupakan sesuatu yang pernah ada dalam sejarah peradaban umat Islam. Dalam Wilayah musli – Osman menyebutkan – pendeta Kristen hanyalah pemimpin spiritual yang mewakili komunitasnya masing-masing. Mereka menjalankan profesi dan kegiatan mereka masing-masing dengan bebas. Bahkan, Fatimiyah al-Aziz memiliki seorang menteri Kristen dan menunjuk orang Yahudi sebagai Gubernur di Syiria. Meski posisi-posisi penting dibidang keuangan, kesekretariatan, profesional kota-kota yang dipegang orang-orang Yahudi dan Kristen tidak jarang menimbulkan kecemburuan pihak muslim (h: 62-4). Dalam bidang pengetahuan pun, Osman menyebutkan terjadi interaksi pemikiran keagamaan Muslim, Yahudi dan Kristen di Eropa Barat yang amat menakjubkan (h: 70).

Dan yan paling penting untuk keharusan pluralisme ini adalah, bahwa manusia dilahirkan dari nenek moyang yang sama. Bagaimana mungkin manusia dapat dibedakan secara mutlak, jika manusia sama-sama disebut sebagai “anak-cucu Adam”. Inilah yang barangkali menjadi titik singgung paling mendasar dalam buku Fathi Osman tentang pluralisme didalam Islam, sebagaimana judul asli buku tersebut: The Children of Adam: an Islamic Perspective on Pluralism.

Sebagai buku terjemahan, butuh waktu yang relatif lama untuk memahami dengan sempurna tawaran-tawaran yang disampaikan dalam buku ini. Buku ini mungkin lebih layak dibaca oleh mereka yang bergerak didunia akademisi dan intelektual tinimbang masyarakat pada umumnya. Sebab, butuh nalar dan kecermatan yang besar untuk memahami isinya. Namun demikian, buku ini penting untuk dibaca sebagai perbandingan memahami pluralisme dalam Islam. Buku ini juga – boleh dikatakan – menjadi bantahan bahwa pluralisme bukan tradisi yang pernah ada didalam Islam, sebab dalam kenyataannya, tidak hanya hukum Islam, sejarah-pun mengenang pluralisme sebagai sesuatu yang pernah ada di dalam peradaban Islam.

Pluralisme agama telah menjadi salah satu wacana kontemporer yang sering dibicarakan akhir-akhir abad 20, khususnya di Indonesia. Wacana ini sebenarnya ingin menjembatani hubungan antaragama yang seringkali terjadi disharmonis dengan mengatasnamakan agama, diantaranya kekerasan sesama umat beragama, maupun kekerasan antarumat beragama. Di kalangan media saat ini terdapat pandangan umum bahwa Islam tidak mendukung pluralisme. Lebih menyedihkan lagi, kerap kali kita mendengar bagaimana susahnya minoritas non-Muslim untuk bisa hidup secara damai dan harmonis di negara-negara Muslim. Tindakan kekerasan orang-orang ekstrimis yang menyalahgunakan teologi Islam untuk membenarkan serangan jahatnya semakin mengentalkan prasangka buruk terhadap Muslim, dan saat ini banyak orang mengira bahwa orang-orang Muslim tidak percaya akan pluralisme dan keragaman. Padahal, sebaliknya, sejarah menunjukkan bahwa Islam — sebagaimana diajarkan oleh al- Qur’an serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad beserta para sahabatnya — benar-benar menerima, merayakan, dan bahkan mendorong kemajemukan. Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. Oleh karena itu didalam tulisan ini penulis mencoba membuka tabir atau menyodorkan bukti-bukti yang dapat dijadikan acuan bahwa islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi pluralism.

Definisi Pluralisme

Pluralisme agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori: yaitu:

Pertama, kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya.

Kedua, kategori etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll.

Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin kalimat yang lebih umum adalah ”banyak jalan menuju Roma”. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda Kata “pluralisme agama” berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama” dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan “atta’addudiyah” dan dalam bahsa Inggris “religius pluralism”. Dalam bahasa Belanda, merupakan gabungan dari kata plural dan isme. Kata “plural” diartikan dengan menunjukkan lebih dari satu. Sedangkan isme diartikan dengan sesuatu yang berhubungan dengan paham atau aliran. Dalam bahasa Inggris disebut pluralism yang berasal dari kata “plural” yang berarti lebih dari satu atau banyak. Dalam Kamus The Contemporary Engglish-Indonesia Dictionary, kata “plural” diartikan dengan lebih dari satu/jamak dan berkenaan dengan keaneka ragaman. Jadi pluralisme, adalah paham atau sikap terhadap keadaan majemuk, baik dalam konteks sosial, budaya, politik, maupun agama. Sedangkan kata “agama” dalam agama Islam diistilahkan dengan “din” secara bahasa berarti tunduk, patuh, taat, jalan. Pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama antarpenganut agama yang berbeda-beda dalam satu komonitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik ajaran masing-masing agama. Dengan demikian yang dimaksud “pluralisme agama” adalah terdapat lebih dari satu agama (samawi dan ardhi) yang mempunyai eksistensi hidup berdampingan, saling bekerja sama dan saling berinteraksi antara penganut satu agama dengan penganut agama lainnya, atau dalam pengertian yang lain, setiap penganut agama dituntut bukan saja mengakui keberadan dan menghormati hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman. Dalam prepektif sosiologi agama, secara terminology, pluralisme agama dipahami sebagai suatu sikap mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan sebagai yang bernilai positif dan merupakan ketentuan dan rahmat Tuhan kepada manusia.


Pluralisme Dalam Islam

Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. Dalam Islam berteologi secara inklusif dengan menampilkan wajah agama secara santun dan ramah sangat dianjurkan. Islam bahkan memerintahkan umat Islam untuk dapat berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara yang sebaik-baiknya (QS al-Ankabut/29: 46), tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice atau kecurigaan di antara mereka. Agama Islam adalah agama damai yang sangat mengahargai, toleran dan membuka diri terhadap pluralisme agama. Isyarat-isyarat tentang pluralisme agama sanagat banyak ditemukan di dalam al-qur’an antara lain Firman Allah “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 109/6). Pluarlisme agama adalah merupakan perwujudan dari kehenddak Allah swt. Allah tidak menginginkan hanya ada satu agama walaupun sebenarnya Allah punya kemampuan untuk hal itu bila Ia kehendaki. “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu.” (QS. Hud: 11/118). Dalam al-qur’an berulang-ulang Allah manyatakan bahwa perbedaan di antara umat manusia, baik dalam warna kulit, bentuk rupa, kekayaan, ras, budaya dan bahasa adalah wajar, Allah bahkan melukiskan pluralisme ideologi dan agama sebagai rahmat. Allah menganugrahkan nikmat akal kepada manusia, kemudian dengan akal tersebut Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama yang ia yakini kebenarannya tanpa ada paksaan dan intervensi dari Allah. Sebagaimana Firmannya “Tidak ada paksaan dalam agama”. (QS. Al Baqarah: 2/256). Manusia adalah makhluk yang punya kebebasan untuk memilih dan inilah salah satu keistimewaan manusia dari makhluk lainnya, namun tentunya kebebasa itu adalah kebabsan yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah swt. Kitab suci al-qur’an diturunkan dalam konteks kesejarahan dan stuasi keagamaan yang pluralistik (plural-religius). Setidaknya terdapat empat bentuk keyakinan agama yang berkembang dalam masyarakat Arab tempat Muhammad saw. menjalankan misi profetkinya sebelum kehadiran Islam, yaitu Yudaisme (Yahudi); Kristen, Zoroastrianisme dan agama Makkah sendiri. Tiga di antaranya yang sangat berpengaruh dan senantiasa disinggung oleh al-qur’an dalam berbagai levelnya adalah Yahudi, Kristen dan agama Makkah. Kedatangan al-qur’an ditengah-tengah pluralitas agama tidak serta-merta mendeskriditkan agama-agama yang berkembang pada saat itu, tapi al-quran sangat bersifat asfiratif, akomodatif, mengakui dan membenarkan agama-agama yang datang sebelum al-qur’an diturunkan. Bahkan lebih jauh dari itu al-qur’an juga mengakui akan keutamaan umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat dalam ayat. “Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu, dan Aku telah melebihkan kamu dari semua umat yang lain di ala mini (pada masa itu)”. (QS. Al-Baqarah: 2/47). Dalam ayat ini, tergambar suatu sikap pengakuan al-qur’an akan keunggulan dan keutamaan umat-umat terdahulu sebelum umat Islam. Al-qur’an sebagai sumber normatif bagi satu teologi inklusif-pluralis. Bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain yang mempunyai posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain al-qur’an. Maka, al-qur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam al-qur’an.

Berikut beberapa ayat Dalam Alqur’a Yang menyiratkan tentang pluralisme :
1. Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama lain. Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlan kepada manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku.

2. Pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah Allah, sebagaimana firman Allah SWT: “ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal” (Al Hujurat 49: 13).

3. Dalam kaitannya yang langsung dengan prinsip untuk dapat menghargai agama lain dan dapat menjalin persahabatan dan perdamaian dengan ‘mereka’ inilah Allah, di dalam al-Qur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikanya, sebagai berikut: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri?(Q.S.Yunus:99).

4. Dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS al-Maidah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS al-Maidah: 42-43).

Pengakuan al-qur’an terhadap pluralisme dipertegas lagi dalam khutbah perpisahan Nabi Muhammad. Sebagimana dikutip oleh Fazlur Rahman, ketika Nabi menyatakan bahwa, “Kamu semua adalah keturunan Adam, tidak ada kelebihan orang Arab terhadap orang lain, tidak pula orang selain Arab terhadap orang Arab, tidak pula manusia yang berkulit putih terhadap orang yang berkulit hitam, dan tidak pula orang yang hitam terhadap yang putih kecuali karena kebajikannya.” Khutbah ini menggambarkan tentang persamaan derajat umat manusia dihadapan Tuhan, tidak ada perbedaan orang Arab dan non Arab, yang membedakan hanya tingkat ketakawaan. Sungguh menarik untuk mencermati dan memahami pengakuan al-qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) dan obat penetram (syifa li mafi al-shudhur) terhadap pluralitas agama, jika ayat-ayat al-qur’an dipahami secara utuh, ilmiah-kritis-hermeneutis, terbuka, dan tidak memahaminya secara ideiologis-politis, tertutup, al-qur’an sangat radikal dan liberal dalam mengahadapi pluralitas agama. Secara normatif-doktrinal, al-qur’an dengan tegas menyangkal dan menolak sikap eksklusif dan tuntutan truth claim (klaim kebenaran) secara sepihak yang berlebihan, seperti biasa melekat pada diri penganut agama-agama, termasuk para penganut agama Islam. Munculnya klaim kebenaran sepihak itu pada gilirannya akan membawa kepada konflik dan pertentangan yang menurut Abdurrahman Wahid, merupakan akibat dari proses pendangkalan agama, dan ketidak mampuan penganut agama dalam memahami serta menghayati nilai dan ajaran agama yang hakiki. Al-qur’an berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman di dalam Islam. Ibnu ‘Arabi salah seorang Sufi kenamaan mengatakan, bahwa setiap agama wahyu adalah sebuah jalan menuju Allah, dan jalan-jalan tersebut berbeda-beda. Karena penyingkapan diri harus berbeda-beda, semata-mata anugrah Tuhan yang juga berbeda. Jalan bisa saja berbeda-beda tetapi tujuan harus tetap sama, yaitu sama-sama menuju kepada satu titik yang sama yakni Allah swt.

Penutup
Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. Al-qur’an sebagai sumber normatif bagi satu teologi inklusif-pluralis. Bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain yang mempunyai posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain al-qur’an. Maka, al-qur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam alqur’an. Pluarlisme agama adalah merupakan perwujudan dari kehenddak Allah swt. Allah tidak menginginkan hanya ada satu agama walaupun sebenarnya Allah punya kemampuan untuk hal itu bila Ia kehendaki. “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu.” (QS. Hud: 11/118). Dalam al-qur’an berulang-ulang Allah manyatakan bahwa perbedaan di antara umat manusia, baik dalam warna kulit, bentuk rupa, kekayaan, ras, budaya dan bahasa adalah wajar, Allah bahkan melukiskan pluralisme ideologi dan agama sebagai rahmat. Allah menganugrahkan nikmat akal kepada manusia, kemudian dengan akal tersebut Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama yang ia yakini kebenarannya tanpa ada paksaan dan intervensi dari Allah. Sebagaimana Firmannya “Tidak ada paksaan dalam agama”. (QS. Al Baqarah: 2/256). Manusia adalah makhluk yang punya kebebasan untuk memilih dan inilah salah satu keistimewaan manusia dari makhluk lainnya, namun tentunya kebebasa itu adalah kebabsan yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah swt.