AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH
PERSAMBUNGAN ANTARA DUA UJUNG
Drs. Aripin Muslim
PERSAMBUNGAN ANTARA DUA UJUNG
Drs. Aripin Muslim
I. Pendahuluan
Di dalam diri manusia kita dapati adanya dua kekuatan. Dua kekuatan ini rupanya tidak dijumpai pada makhluk-makhluk lain yang ada di atas bumi ini. Dengan ini pula manusia berada di tempat teratas dan berkuasa dalam deretan dari tingkatan wujud ini. Dua kekuatan ini pun bersifat spirituil semuanya. Tidak lain yang dimaksud dua kekuatan itu adalah kekuatan aqidah dan akal pikiran. Kekuatan yang pertama memberi akibat timbulnya suatu kepercayaan pada diri manusia, betapa pun primitifnya dan betapa pun manusia itu mencoba menghindarinya. Contoh untuk ini: Manusia tidak dapat menghindari dari kehidupan dirinya. Dia tidak dapat menolak kehadiran hidupnya. Ia tidak mengetahui dari mana dan mengapa ia hidup. Suka atu tidak ia harus menerima kehidupan ini. Kepercyaan semacam ini menentukan adanya sumber dari pada hidupnya. Sumber tersebut disebut Tuhan, dan bagi manusia ada kekuatan dalam dirinya untuk mempercayainya. Kekuatan semacam itu di dalam bahasa agama disebut dengan aqidah.
Kekuatan yang kedua memberi kepada manusia ilmu pengetahuan melalui penalaaran logika dan penalaaran pengalaman. Potensi yang terakhir ini kita sebut saja potensi akal atau pikiran. Akal (bahasa Arab) berarti ikat atau mengerti. Makna ini menunjukkan fungsi berlaku. Orang yang tidak sehat atau tidak sempurna akalnya, seperti anak kecil dan orang gila, bebas bertindak. Makin sempurna akal anak atau semakin sehat orang gila semakin terbatas tingkah lakunya. Ia dibatasi oleh akalnya atau bisa juga berarti manusia tindakannya dibatasi oleh undang-undang akal pikirannya. Dengan perkataan lain cara kerja akal diatur oleh undang-undang yang terdapat dalam akal itu sendiri yang terkenal dengan logika. Akal juga cara penalrannya harus mengikuti peta pengalaman (experience) yang berada di luar dirinya. Akal akan menolak objek-objek yang tidak logis atau pengalaman-pengalaman yang tidak rasional.
Melihat apa yang diterangkan di atas, kita dihadapkan kepada pengertian bahwa kekuatan teersebut berrbeda fungsi dan cara kerjanya. Karena kedua kekuatan tersebut tidak dapat bertemu, namun keduanya bersambung, laksana ujung dari sebuah pulpen, umpamanya satu ujung tidak mungkin ketemu ujung lainnya. Ujung yang satu bukan ujung yang lainnya. Tetapi keduanya bersambung, satu ujung melengkapi ujung lainnya, dan itu merupakan suatu kesempurnaan bagi apa yang disebut dengan pulpen tersebut.
Agama sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan, tidak mengenal kedua ujung tersebut, tetapi manusia menerimanya dengan atau melalui kedua ujung atau kedua kekuatan dimaksud di atas tersebut. Keadaan semacam ini menimbulkan perbedaan-perbedaan menjelma menjadi partai-partai atau aliran-aliran seperti kita kenal.
Salah satu aliran diantaranya kita mengenal aliran Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjadi topik tulisan ini. Aliran ini menurut ahli ilmu kalam merupakan jalan tengah antara golongan-golongan yang berlawanan atau antara aliran rasionalis di satu pihak dan aliran tekstualis di pihak lain. Umpanya, Imam Asy’ari sebagai tokoh utama aliran Ahlussunah wal Jama’ah tidak membenarkan paham-paham aliran mu’tazailah. Alsannya karena paham-pahamya didasarkan atas kekuatan akal pikiran, sebagaimana beliau menolak paham-paham tekstualis. Kedua golongan ini dianggap merugikan semua terhadap Islam. Yang satu merusak islam dari kebebasan akal pikiran dan yang lainnya (gol. Tekstualis) menyeret islam ke lembah kebekuan. Karena mereka hanya memegangi lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya. Memandang keadaan semacam itu, Al-Asy’ari mencoba tampil ke depan untuk menjadi pennyambung kedua golongan yang berbeda pandangan tersebut. Tindakan tersebut ternyata mendapat sambutan dan penerimaan dari mayoritas kaum muslimin.
Pokok-pokok pikiran seperti di atas inilah yang mengilhami penulis untuk mengangkatnya menjadi judul tulisan ini.
Kemudian dari pada itu, untuk membuktikan bahawa ajaran-ajaran Al-Asy’ari dan tokoh-tokoh pendukungnya bercorak moderat, maka kita dituntut untuk melihat macam paham paham lain yang tergolong dalam aliran ilmu kalam, hususnya aliran mu’tazilah. Pandangan semacam ini biasa disebut komparatif.
Satu hal juga tidak boleh dilupakan, bahwa masing masing golongan di dalam Ilmu Kalam semuanya terikat dengan tujuan yang sama. Tujuan Ilmu Kalam tersebut ialah memantapkan kepercayaan agama dengan jalan akal pikiran dsamping kemantapan hati orang-orang yang percaya kepadanya. Dan membela kepercayaan-kepercayaan tersebut dengan menghilangkan keraguan yang boleh jadi masih kelihatan melekat atau sengaja dilekatkan oleh lawan-lawan kepercayaan itu.
Adapun sisematika yang penulis tempuh dalam masalah ini terdiri dari: I. PENDAHLUAN, berisi gambaran umum isi tulisan ini. II. SEBUTAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH. Dimaksudkan apakah Nabi pernah manyebut kalimat tersebut. III. SEBUTAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH dari Asy’ariyah, berbicara mengenai asal usul As’ariyah sehingga aliran ini disebut dengan aliran Ahlussunnah wal jam’ah. IV. HUBUNGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH NABI DENGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH ASY’ARI. Membicarakan gambaran apakan Aliran Ahlussunnah wal jama’aah dari Asy’ariyah ini merupakan analisa dari Alussunnah wal jama’ah seperti apa yang disebut Nabi dalam sebuah haditsnya. V. AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH, memberikan keterangan singkat tentang pokok-pokok materi aqidah golongan ini.
II. SEBUTAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah yang dimaksud di sini adalah sebutan yang autentik,seb utan yang dasariyah yang keluar dari lisan Nabi Muhammad SAW. Sendiri.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tobroni ada disebutkan kata-kata ahlussunnah wal jama’ah sebagai suatu golongan yang selamat dari jilatan api eraka. Hadits tersebut berbunyi:
والذى نفس محمد بيده ستفتترق امتى على ثلاث وسبعين فرقة فواحدة فى الجنة وثنتان وسبعون فى النار قيل من هم يا رسول الله قال اهل السنة والجماعة – رواه الطبرانى
Artinya: Demi Tuhan yang menguasai jiwa Muhaammad, umatku akan terpecah-perah menjadi 73 golongan; Satu di antaranya 72 masuk neraka. Ditanyakan kepadanya: Siapa gerangan yang masuk surga itu, wahai Rosulullah? Jawab baliau: Ahlussunnah wal Jama’ah.
Menurut hadist ini, jelas di mata kita bahwa istilah atau sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah di zaman Nabi sendiri sudah ada, sebagai sebutan untuk suatu golongan di antara golongan-golongan yang lain yang tidak disebutkan oleh Nabi. Hal ini perlu bagi kita untuk menggaris bawahinya sebagai satu bahan renungan. Lebih dari itu Nabi menandaskan sebagai satu-satunya golongan yang selamat h baarang dari jilatan api neraka. Sudah barang tentu kita iman kepada apa yang ditegaskan Nabi tentang masalah di atas dan masalah-masalah lainnya.
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah siapa yang dimaksud golongan Ahlussunnah waljamaah itu? Oleh karena itu dalam hubungan ini lebih lanjut Nabi bersabda:
ستتفترق امتى على ثلاث و سبعين فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكة قيل من هم يا رسول الله قال اهل السنة والجماعة قيل وما اهل السنة والجماعة قال ما انا عليه واصحابى
Artinya: Umatku akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, satu golongan diantaranya selamat sedang yang lainnya celaka, Ditanyakan kepada Nabi: Siapa yang selamat itu? Jawabnya: Ahlussunnah wal Jama’ah. Ditanyakan lagi kepadanya: Apakah Ahlussunnah wal Jama’ah itu? Jawabnya: Yaitu yang saya lakukan sekarang dan sahabat-sahabtku.
III. AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DARI ALIRAN ASY’ARIYAH
Yang dimaksud aliran Ahlussunnah wal jama’ah di sini adalah wadah pikiran-pikiran Imam Asy’ari dalam bidang aqidah. A. Hanafi, MA. Dalam bukunya Pengantar Teologi Islam, menandaskan bahwa aliran Ahlussunnah wal Jama’ah identik dengan aliran Asy’ariyah. Artinya kepeercayaan atau akidah Asy’ariyah menjaadi kepercayaan atau akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Ini berarti pula kalsu kita berbicara aqidah-aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah maka kita harus kembali atau mempelajari pikiran-pikiran Imam Asy’ari ditambah tokoh-tokoh pendukungnya.
Imam Asy’ari sebenarnya tidak bermaksud mengadakan atau mencitakan aliran tersendiri di luar aliran yang telah ada sebelumnya. Tetapi berliau berdiri di tengah-tengah antara golongan yang bertentangan, khususnya golongan tekstualis (Hasywiyah) yang terlalu memegangi taklid dan nash dan golongan Mu’tazilah yang terlalu memegangi akal pikiran (Ahluro’yi), sehingga pendapat-pendapat mereka berlawanan dengan nash-nash yang sudah pasti (Qoth’i). Sebagai contoh konkrit, penulis kemukakan: Golongan Hasywiyah yang menganut Antropomorphisme mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia. Sedangkan Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat Tuhan seperti yang banyak disebut dalam al-Qur’an. Dalam hal ini Imam Asy’ari mengakui sifat-sifat Tuhan tersebut, akan tetapi sifat-sifat ini sesuai dengan Dzat Tuhan sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat manusia. Tuhan mendengan tetapi tidak seperti menusia adanya. Golongan Hasywiyah atau Mujassimah, Tuhan mendengar seperti manusia mendengar dan lain sebagainya.
Jadi sebutan aliran Asy’ariyah sendiri boleh jadi belum dikenal pada masanya. Demikian juga sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah (bukan Ahlussunnah saja). Namun sebutan Ahlussunnah (tanpa Jama’ah) sudah populer sejak sebelum Asy’ari. Sebutan tersebut ditujukan kepada Ulama yang apa bila menghadapi kejadian dan peristiwa, mereka mencari hukumnya dari Al-Qur’an dan Al-Haadits. Apabila mereka tidak menjumpainya atau tidak mendapatkannya, mereka mengambil jalan diam saja, karena tidak berani melampauinya. Aliran Ahlussunnah (tanpa Jama’ah) ini lahir pada waktu aliran Mu’tazilah timbul dalam lapangan aqidah yang pada pendapat-pendapatnya bercorak rasionalis dengan tidak segan-segan menolak Hadits yang berlawanan dengan hukum-hukum akal pikiran atau memberi ta’wilan ayat-ayat musabihat.
Corak pemikiran Mu’tazilah ini ditentang dengan tetap memegangi dan mempertahankan hadits-hadits yang ditolak oleh kaum Mu’tazilah. Tujuan mereka ingin mengikuti jejak Ulama Salaf dalam menghadapi nash-nash yang musabihat, tetapi alasan-palasan mereka tidak argumentatif teologis.
Melihat keadaan semacam ini, Al- Asy’ari datang menyilang mereka, diawali dengan mengadakan diskusi dengan gurunya (Al-Jubba’i) dari kalangan Mu’tazilah dan menyatakan diri bergabung dengan golongan Salaf untuk memperkuat paham-paham mereka dengan alasan-alasan Ilmu Kalam yang lebih konkrit. Pikitan-pikiran Al-Asy’ari semacam inilah yang kemudian oleh para pengikutnya disebut paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
IV. HUBUNGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH NABI DENGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH ASY’ARIYAH
Apakah Ahlussunnah wal Jama’ah Imam Asy’ari identik dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang disebut Nabi di dalam haditsnya di atas, yaitu sebagai ssatu-psatunya golongan yang masuk surga? Untuk melacak kebenaran ini tidaklah mudah.
Sekilas kita telah mengetahui bahwa corak pemikiran Imam Asy’ari adalah bearada di tengah-tengah antara golongan-golongan yang berlawanan. Antara golongan tekstualis dan golongan rasionalis, seperti yang telah diuraikan di atas. Dalam mengemukakan dalil dan alasan Imam Asy’ari juga memakai dalil-dalil akal dan naql bersama-sama. Isi Al-Qur’an dan Hadits diperkuatnya dengan alasan-alasan akal. Ia tidak menggunakan atau menganggap akal sebagai hakim atas nas-nas agama. Untuk mengenal pemikiran Imam Asy’ari lebih jauh kita kemukakan pernyataan beliau sebagai berikut:
“Apa yang kami katakana dan agama yang kami anut adalah berpegang kepada Kitab Allah san sunnah Nabi Muhammad. Kapada apa yang diriwayatkan oleh para Sahabat dan para Tabiin dan Imam-Imam Haits (Ahlussunnah), semuanya kami imani. Begitu juga kami percaya dengan penuh cinta kepada Ahmad bin Hambal dengan pendirian-pendiriannya mengenai Al-Qur’an dan lain-lain”.
Dengan demikian pemikiran Imam Asy’ari mengikuti jejak Ulama Salaf ما انا عليه اليوم واصحابى Di satu pihak dan menggunakan argumen ilmu kalam untuk menangkal paham Mu’tazilah yang rasionalis. Harus diingat bahwa yang dimaksud Ulama Salaf di sini, bukanlah aliran Salaf yang diperbaharui oleh Ibnu Taimiyah pada abad ke VII H. Melainkan aliran Ilmu Kalam yang dipelopori oleh Imam Ahmad Ibnu Hambal pada abad ke IV H. Ibnuj taimiyah tidak mengakui ddan mempercayai Imam Asy’ari dan pemikirannya. Dianggapnya Imam Asy’ari telah merusak citra aliran Salkaf tersebut, melalui pemahamannya terhadap aqidah islamiyah secara rasionalis.
Pada hal kita keeetahui, alasan-alasan rasional atau alasan logic dari aliran Asy’ariyah adalah bersifat defensif exterior, yakni alasan untuk membela dan mempertahankan terhadap serangan-serangan dari luar atau usaha-usaha destruktif dari lawan-lawan Islam yang bertujuan merongrong aqidah Islam. Sehubungan denganini tepat sekali apa yang dikatakan oleh Imam Gozali, bahwa kalau pihak lawan menggunakan senjata modern,maka suatu hal yang tidak masuk akal kalu kita masih menggunakan senjata konvensional. Dengan perkataan lain, menjelaskan aqidah islam dengan memakai metode yang bersifat pikiran dapat dihindarkan, kalau sekiranya aqidah-aqidah islam hanya akan dipahami dan dipakai oleh umat islam sendiri.
Dari urauian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Aliran Asy’ariyah (Ahlussunnah wal Jama’ah) telah berusaha menempatkan dirinya pada jalur apa yang disebut dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang dimaksudkan Nabi dalam Haditsnya, yaitu “Apa yang saya lakukan (laksanakan) sekarang dan sahabat-sahabat saya”. Dan usaha ini berhasil menguasai dunia aqidah kaum muslimin mayoritas.
Dengan demikian, bagi kita didak perlu ragu-ragu lagi untuk mencintau, mendukung dan membela paham Ahlussunnah wal Jama’ah melalui wadah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sampai hari kiamat.
Nabi Muhammad bersabda: لا يزال الطائفة من أمتى ظاهرين حتى يأتيهم أمرالله وهم ظاهرون
Artinya: Segolongan umatku selalu dalam kebenaaran dan reka senantiasa berada di atas kebenaran, sehingga datangnya hari kiamat. (H.R. Bukhori).
Karena sikap alikran Asy’ariyah seperti apa yang digambarkan oleh Imam Ghozali: Sebagaimana halnya orang yang melihat dengan baik memerlukan mata yang sehat dan sinar mata hari secara bersama-sama. Dan lkebih dari itu adalah menghamalkan.
V. AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Aqidah aliran ini harus dicari pertama-tama dari keterangan-keterangan Al- Asy’ari. Karena kepercayaan Asy’ariyah menjadi keprcayaan Ahlussunnah wal Jama’ah. Kemudian dari pendapat-pendapat pengikutnya, seperti Al-Juwaini, Al-Asfaroini, Al-Ghazali dan lain-lainnya. Harus dicari pula segi-segi perbedaannya dengan aqidah golongan lain, terutama aliran Mu’tazailah.
Adapun aqidah-aqidah Ahlussnunnah wal Jama’ah antara lain:
1. Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala nanti di akherat,
2. Sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat positif atau ma’ani, yaitu qudrot, irodat dan seterusnya adalah sifat-sifat yang lain dati dzat Tuhan, tetapi bukan pula lain dari dzat,
3. Qu’an sebagai maniufestasi Kalamullah yang qodim adalah qodim, sedangkan qur’an yang berupa huruf ddan suara adalah hadits (baru),
4. Ciptaan Tuhan tidak karena tujuan,
5. Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan (baik buruk dari Tuhan),
6. Tuhan tidak berkewajiban: Membuat yang baik dan terbaik, mengutus Rosul dan memberi pahala bagi yang taat dan menyiksa atas orang-orang yang maksiat,
7. Tuhan boleh memberei beban di atas kesangguipan manusia,
8. Kebaikan dan keburukan tidak dapat diketahui akal semata-mata,
9. Pekerjaan manusia Tuhanlah ang menjadikannya,
10. Ada syafa’at pada hari kiamat,
11. Keutusan Nabi Muhammad diperkuat dengan Mu’jizat,
12. Kebangkitan di akherat (al-Ba’ats), pengumpulan manusia (al-Hasyr), pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur , siksa kubur, timbangan amal (mizan), jembatan (Shiroth), kesemuanya adalah benar (hak),
13. Surga dan Neraka keduanya adalah makhluk,
14. Semua Sahabat-Sahabat Nabi adalah baik dan adil,
15. Sepuluh orang SahaBAT Nabi yang dijanjikan masuk sorga oleh Nabi, pasti terjadi,
16. Ijma’ adalh suatu kebenaran yang harus diterima
Orang mukmin yang mengerjakan dosa besar akan masuk neraka sampai selesai menjalani siksa dan akhirnya akan masuk surga.
VI. TOKOH-TOKOH ALIAARAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
1. Al-Baqilani 7. Al-Ghazali
2. Ibnu Farouq 8. Ibvnu Tusnart
3. Ibnu Ishak al-Isfaroini 9. As-Syahrostani
4. Abu Kahir Al-Baghdadi 10. Al-Razi
5. Al-Juwaini 11. Al-Iji
6. Abdul Mudzaffah al-Isfaroini 12. As-Sanusi
VII. KESIMPULAN
Keterangan dan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa maksud berdirinya aliran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah agar kaum muslimin dalam memahami aqidah-aqidahnya kembali kepada masa Nabi, Sahababat dan Tabiin. Untuk mencapai maksud tersebut, maka tidak ada jalan lain kecuali mereka haarus kembali kepada Al-pQur’an, Alp-Hadaits serta pendapat-pendapat Sahabat dan Tabiin. Sikap semacam itu sudah barang tentu tidak ditinggalkan oleh aliran ini.
Tetapi sebagai mana halnya menghadapi serangan-serangan aqidah golongan lainnya yang dibangun di atas rasio/filsafat , baik disengaja atau tidak aqidah-aqidah tersebut akan bersentuhan dengan aqidah-aqidah kaum muslimin yang dibangun di atas nash al-Qur’an dan al-Haadits. Maka tak ada jalan lain pula kecuali kita harus menggunakan hujjah-hujjah (alasan-alsan)O mereka. Hal ini pun telah disadari oleh aliran Ahlussunnah wal Jama’ah seperti yang mereka lakukan dalam menghadapi pikiran-pikiran golongan lain khususnya Mu’tazilah.
Langkah semacam itu yang diambil oleh golongan terbesar ini tidak salah, sesuai dengan kekuatan yang telah ada pada diri manusia, yaitu kekuatan yang ada pada kalbu sebagai tempat persemaian aqidah dan kekuatan akal. Kekuatan ini sebagai dua kuatan ujung, ujung yang satu bukan ujung yang lainnya. Dua ujung tersebut laksana pesawat radio penerima dan pesawat radio pemancar. Radio penerima tidak bisa menyuarakan apa-apa selain suara yang disiarkan lewat pesawat radio pemancar. Pesawat pemancar ini harus menyiarkan acara-acara yang telah diprogramkan. Ia harus mampu menolak ganguan-ganguan suara lain selain apa yang telah diprogramkan dengan cara-cara tertentu yang memungkinkan ganguan-gangguan suara lain atau usaha-usaha lain yang akan merubah program tersebut tidak masuk ke dalam pesawat pemancar yang akhirnya dapat diterima oleh pesawat radio penerima.
Demikianlah gambaran tujuan dan daya upaya golongan Ahlussunnah wal Jama’ah yang merka tempuh dalam rangka memurnikan dan mempertahankan aqidah-aqidah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Malik Al-pJuwaini, Dasar-Dasar Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Terjemah, Nur Cahya, Yogyakarta, 1982.
A. Hanafi, MA. Pengantar .Teologi Islam, Djaya Murni, Jakarta, tt
Al-Mausu’ah Al-Arobiyah Al-Muyassaroh
As-Sahrostani, Al-Milal wan-Nihal, Al-Halabi, Mesir, 1967.
Ismail Al-Bukhori, Shohih Bukhori, Al-Halabi, Mesir, 1936.
Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Al-Madzhibul Islamiyah, Darul Fikri Al-Arobi,tt
Di dalam diri manusia kita dapati adanya dua kekuatan. Dua kekuatan ini rupanya tidak dijumpai pada makhluk-makhluk lain yang ada di atas bumi ini. Dengan ini pula manusia berada di tempat teratas dan berkuasa dalam deretan dari tingkatan wujud ini. Dua kekuatan ini pun bersifat spirituil semuanya. Tidak lain yang dimaksud dua kekuatan itu adalah kekuatan aqidah dan akal pikiran. Kekuatan yang pertama memberi akibat timbulnya suatu kepercayaan pada diri manusia, betapa pun primitifnya dan betapa pun manusia itu mencoba menghindarinya. Contoh untuk ini: Manusia tidak dapat menghindari dari kehidupan dirinya. Dia tidak dapat menolak kehadiran hidupnya. Ia tidak mengetahui dari mana dan mengapa ia hidup. Suka atu tidak ia harus menerima kehidupan ini. Kepercyaan semacam ini menentukan adanya sumber dari pada hidupnya. Sumber tersebut disebut Tuhan, dan bagi manusia ada kekuatan dalam dirinya untuk mempercayainya. Kekuatan semacam itu di dalam bahasa agama disebut dengan aqidah.
Kekuatan yang kedua memberi kepada manusia ilmu pengetahuan melalui penalaaran logika dan penalaaran pengalaman. Potensi yang terakhir ini kita sebut saja potensi akal atau pikiran. Akal (bahasa Arab) berarti ikat atau mengerti. Makna ini menunjukkan fungsi berlaku. Orang yang tidak sehat atau tidak sempurna akalnya, seperti anak kecil dan orang gila, bebas bertindak. Makin sempurna akal anak atau semakin sehat orang gila semakin terbatas tingkah lakunya. Ia dibatasi oleh akalnya atau bisa juga berarti manusia tindakannya dibatasi oleh undang-undang akal pikirannya. Dengan perkataan lain cara kerja akal diatur oleh undang-undang yang terdapat dalam akal itu sendiri yang terkenal dengan logika. Akal juga cara penalrannya harus mengikuti peta pengalaman (experience) yang berada di luar dirinya. Akal akan menolak objek-objek yang tidak logis atau pengalaman-pengalaman yang tidak rasional.
Melihat apa yang diterangkan di atas, kita dihadapkan kepada pengertian bahwa kekuatan teersebut berrbeda fungsi dan cara kerjanya. Karena kedua kekuatan tersebut tidak dapat bertemu, namun keduanya bersambung, laksana ujung dari sebuah pulpen, umpamanya satu ujung tidak mungkin ketemu ujung lainnya. Ujung yang satu bukan ujung yang lainnya. Tetapi keduanya bersambung, satu ujung melengkapi ujung lainnya, dan itu merupakan suatu kesempurnaan bagi apa yang disebut dengan pulpen tersebut.
Agama sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan, tidak mengenal kedua ujung tersebut, tetapi manusia menerimanya dengan atau melalui kedua ujung atau kedua kekuatan dimaksud di atas tersebut. Keadaan semacam ini menimbulkan perbedaan-perbedaan menjelma menjadi partai-partai atau aliran-aliran seperti kita kenal.
Salah satu aliran diantaranya kita mengenal aliran Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjadi topik tulisan ini. Aliran ini menurut ahli ilmu kalam merupakan jalan tengah antara golongan-golongan yang berlawanan atau antara aliran rasionalis di satu pihak dan aliran tekstualis di pihak lain. Umpanya, Imam Asy’ari sebagai tokoh utama aliran Ahlussunah wal Jama’ah tidak membenarkan paham-paham aliran mu’tazailah. Alsannya karena paham-pahamya didasarkan atas kekuatan akal pikiran, sebagaimana beliau menolak paham-paham tekstualis. Kedua golongan ini dianggap merugikan semua terhadap Islam. Yang satu merusak islam dari kebebasan akal pikiran dan yang lainnya (gol. Tekstualis) menyeret islam ke lembah kebekuan. Karena mereka hanya memegangi lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya. Memandang keadaan semacam itu, Al-Asy’ari mencoba tampil ke depan untuk menjadi pennyambung kedua golongan yang berbeda pandangan tersebut. Tindakan tersebut ternyata mendapat sambutan dan penerimaan dari mayoritas kaum muslimin.
Pokok-pokok pikiran seperti di atas inilah yang mengilhami penulis untuk mengangkatnya menjadi judul tulisan ini.
Kemudian dari pada itu, untuk membuktikan bahawa ajaran-ajaran Al-Asy’ari dan tokoh-tokoh pendukungnya bercorak moderat, maka kita dituntut untuk melihat macam paham paham lain yang tergolong dalam aliran ilmu kalam, hususnya aliran mu’tazilah. Pandangan semacam ini biasa disebut komparatif.
Satu hal juga tidak boleh dilupakan, bahwa masing masing golongan di dalam Ilmu Kalam semuanya terikat dengan tujuan yang sama. Tujuan Ilmu Kalam tersebut ialah memantapkan kepercayaan agama dengan jalan akal pikiran dsamping kemantapan hati orang-orang yang percaya kepadanya. Dan membela kepercayaan-kepercayaan tersebut dengan menghilangkan keraguan yang boleh jadi masih kelihatan melekat atau sengaja dilekatkan oleh lawan-lawan kepercayaan itu.
Adapun sisematika yang penulis tempuh dalam masalah ini terdiri dari: I. PENDAHLUAN, berisi gambaran umum isi tulisan ini. II. SEBUTAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH. Dimaksudkan apakah Nabi pernah manyebut kalimat tersebut. III. SEBUTAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH dari Asy’ariyah, berbicara mengenai asal usul As’ariyah sehingga aliran ini disebut dengan aliran Ahlussunnah wal jam’ah. IV. HUBUNGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH NABI DENGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH ASY’ARI. Membicarakan gambaran apakan Aliran Ahlussunnah wal jama’aah dari Asy’ariyah ini merupakan analisa dari Alussunnah wal jama’ah seperti apa yang disebut Nabi dalam sebuah haditsnya. V. AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH, memberikan keterangan singkat tentang pokok-pokok materi aqidah golongan ini.
II. SEBUTAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah yang dimaksud di sini adalah sebutan yang autentik,seb utan yang dasariyah yang keluar dari lisan Nabi Muhammad SAW. Sendiri.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tobroni ada disebutkan kata-kata ahlussunnah wal jama’ah sebagai suatu golongan yang selamat dari jilatan api eraka. Hadits tersebut berbunyi:
والذى نفس محمد بيده ستفتترق امتى على ثلاث وسبعين فرقة فواحدة فى الجنة وثنتان وسبعون فى النار قيل من هم يا رسول الله قال اهل السنة والجماعة – رواه الطبرانى
Artinya: Demi Tuhan yang menguasai jiwa Muhaammad, umatku akan terpecah-perah menjadi 73 golongan; Satu di antaranya 72 masuk neraka. Ditanyakan kepadanya: Siapa gerangan yang masuk surga itu, wahai Rosulullah? Jawab baliau: Ahlussunnah wal Jama’ah.
Menurut hadist ini, jelas di mata kita bahwa istilah atau sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah di zaman Nabi sendiri sudah ada, sebagai sebutan untuk suatu golongan di antara golongan-golongan yang lain yang tidak disebutkan oleh Nabi. Hal ini perlu bagi kita untuk menggaris bawahinya sebagai satu bahan renungan. Lebih dari itu Nabi menandaskan sebagai satu-satunya golongan yang selamat h baarang dari jilatan api neraka. Sudah barang tentu kita iman kepada apa yang ditegaskan Nabi tentang masalah di atas dan masalah-masalah lainnya.
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah siapa yang dimaksud golongan Ahlussunnah waljamaah itu? Oleh karena itu dalam hubungan ini lebih lanjut Nabi bersabda:
ستتفترق امتى على ثلاث و سبعين فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكة قيل من هم يا رسول الله قال اهل السنة والجماعة قيل وما اهل السنة والجماعة قال ما انا عليه واصحابى
Artinya: Umatku akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, satu golongan diantaranya selamat sedang yang lainnya celaka, Ditanyakan kepada Nabi: Siapa yang selamat itu? Jawabnya: Ahlussunnah wal Jama’ah. Ditanyakan lagi kepadanya: Apakah Ahlussunnah wal Jama’ah itu? Jawabnya: Yaitu yang saya lakukan sekarang dan sahabat-sahabtku.
III. AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DARI ALIRAN ASY’ARIYAH
Yang dimaksud aliran Ahlussunnah wal jama’ah di sini adalah wadah pikiran-pikiran Imam Asy’ari dalam bidang aqidah. A. Hanafi, MA. Dalam bukunya Pengantar Teologi Islam, menandaskan bahwa aliran Ahlussunnah wal Jama’ah identik dengan aliran Asy’ariyah. Artinya kepeercayaan atau akidah Asy’ariyah menjaadi kepercayaan atau akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Ini berarti pula kalsu kita berbicara aqidah-aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah maka kita harus kembali atau mempelajari pikiran-pikiran Imam Asy’ari ditambah tokoh-tokoh pendukungnya.
Imam Asy’ari sebenarnya tidak bermaksud mengadakan atau mencitakan aliran tersendiri di luar aliran yang telah ada sebelumnya. Tetapi berliau berdiri di tengah-tengah antara golongan yang bertentangan, khususnya golongan tekstualis (Hasywiyah) yang terlalu memegangi taklid dan nash dan golongan Mu’tazilah yang terlalu memegangi akal pikiran (Ahluro’yi), sehingga pendapat-pendapat mereka berlawanan dengan nash-nash yang sudah pasti (Qoth’i). Sebagai contoh konkrit, penulis kemukakan: Golongan Hasywiyah yang menganut Antropomorphisme mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia. Sedangkan Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat Tuhan seperti yang banyak disebut dalam al-Qur’an. Dalam hal ini Imam Asy’ari mengakui sifat-sifat Tuhan tersebut, akan tetapi sifat-sifat ini sesuai dengan Dzat Tuhan sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat manusia. Tuhan mendengan tetapi tidak seperti menusia adanya. Golongan Hasywiyah atau Mujassimah, Tuhan mendengar seperti manusia mendengar dan lain sebagainya.
Jadi sebutan aliran Asy’ariyah sendiri boleh jadi belum dikenal pada masanya. Demikian juga sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah (bukan Ahlussunnah saja). Namun sebutan Ahlussunnah (tanpa Jama’ah) sudah populer sejak sebelum Asy’ari. Sebutan tersebut ditujukan kepada Ulama yang apa bila menghadapi kejadian dan peristiwa, mereka mencari hukumnya dari Al-Qur’an dan Al-Haadits. Apabila mereka tidak menjumpainya atau tidak mendapatkannya, mereka mengambil jalan diam saja, karena tidak berani melampauinya. Aliran Ahlussunnah (tanpa Jama’ah) ini lahir pada waktu aliran Mu’tazilah timbul dalam lapangan aqidah yang pada pendapat-pendapatnya bercorak rasionalis dengan tidak segan-segan menolak Hadits yang berlawanan dengan hukum-hukum akal pikiran atau memberi ta’wilan ayat-ayat musabihat.
Corak pemikiran Mu’tazilah ini ditentang dengan tetap memegangi dan mempertahankan hadits-hadits yang ditolak oleh kaum Mu’tazilah. Tujuan mereka ingin mengikuti jejak Ulama Salaf dalam menghadapi nash-nash yang musabihat, tetapi alasan-palasan mereka tidak argumentatif teologis.
Melihat keadaan semacam ini, Al- Asy’ari datang menyilang mereka, diawali dengan mengadakan diskusi dengan gurunya (Al-Jubba’i) dari kalangan Mu’tazilah dan menyatakan diri bergabung dengan golongan Salaf untuk memperkuat paham-paham mereka dengan alasan-alasan Ilmu Kalam yang lebih konkrit. Pikitan-pikiran Al-Asy’ari semacam inilah yang kemudian oleh para pengikutnya disebut paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
IV. HUBUNGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH NABI DENGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH ASY’ARIYAH
Apakah Ahlussunnah wal Jama’ah Imam Asy’ari identik dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang disebut Nabi di dalam haditsnya di atas, yaitu sebagai ssatu-psatunya golongan yang masuk surga? Untuk melacak kebenaran ini tidaklah mudah.
Sekilas kita telah mengetahui bahwa corak pemikiran Imam Asy’ari adalah bearada di tengah-tengah antara golongan-golongan yang berlawanan. Antara golongan tekstualis dan golongan rasionalis, seperti yang telah diuraikan di atas. Dalam mengemukakan dalil dan alasan Imam Asy’ari juga memakai dalil-dalil akal dan naql bersama-sama. Isi Al-Qur’an dan Hadits diperkuatnya dengan alasan-alasan akal. Ia tidak menggunakan atau menganggap akal sebagai hakim atas nas-nas agama. Untuk mengenal pemikiran Imam Asy’ari lebih jauh kita kemukakan pernyataan beliau sebagai berikut:
“Apa yang kami katakana dan agama yang kami anut adalah berpegang kepada Kitab Allah san sunnah Nabi Muhammad. Kapada apa yang diriwayatkan oleh para Sahabat dan para Tabiin dan Imam-Imam Haits (Ahlussunnah), semuanya kami imani. Begitu juga kami percaya dengan penuh cinta kepada Ahmad bin Hambal dengan pendirian-pendiriannya mengenai Al-Qur’an dan lain-lain”.
Dengan demikian pemikiran Imam Asy’ari mengikuti jejak Ulama Salaf ما انا عليه اليوم واصحابى Di satu pihak dan menggunakan argumen ilmu kalam untuk menangkal paham Mu’tazilah yang rasionalis. Harus diingat bahwa yang dimaksud Ulama Salaf di sini, bukanlah aliran Salaf yang diperbaharui oleh Ibnu Taimiyah pada abad ke VII H. Melainkan aliran Ilmu Kalam yang dipelopori oleh Imam Ahmad Ibnu Hambal pada abad ke IV H. Ibnuj taimiyah tidak mengakui ddan mempercayai Imam Asy’ari dan pemikirannya. Dianggapnya Imam Asy’ari telah merusak citra aliran Salkaf tersebut, melalui pemahamannya terhadap aqidah islamiyah secara rasionalis.
Pada hal kita keeetahui, alasan-alasan rasional atau alasan logic dari aliran Asy’ariyah adalah bersifat defensif exterior, yakni alasan untuk membela dan mempertahankan terhadap serangan-serangan dari luar atau usaha-usaha destruktif dari lawan-lawan Islam yang bertujuan merongrong aqidah Islam. Sehubungan denganini tepat sekali apa yang dikatakan oleh Imam Gozali, bahwa kalau pihak lawan menggunakan senjata modern,maka suatu hal yang tidak masuk akal kalu kita masih menggunakan senjata konvensional. Dengan perkataan lain, menjelaskan aqidah islam dengan memakai metode yang bersifat pikiran dapat dihindarkan, kalau sekiranya aqidah-aqidah islam hanya akan dipahami dan dipakai oleh umat islam sendiri.
Dari urauian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Aliran Asy’ariyah (Ahlussunnah wal Jama’ah) telah berusaha menempatkan dirinya pada jalur apa yang disebut dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang dimaksudkan Nabi dalam Haditsnya, yaitu “Apa yang saya lakukan (laksanakan) sekarang dan sahabat-sahabat saya”. Dan usaha ini berhasil menguasai dunia aqidah kaum muslimin mayoritas.
Dengan demikian, bagi kita didak perlu ragu-ragu lagi untuk mencintau, mendukung dan membela paham Ahlussunnah wal Jama’ah melalui wadah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sampai hari kiamat.
Nabi Muhammad bersabda: لا يزال الطائفة من أمتى ظاهرين حتى يأتيهم أمرالله وهم ظاهرون
Artinya: Segolongan umatku selalu dalam kebenaaran dan reka senantiasa berada di atas kebenaran, sehingga datangnya hari kiamat. (H.R. Bukhori).
Karena sikap alikran Asy’ariyah seperti apa yang digambarkan oleh Imam Ghozali: Sebagaimana halnya orang yang melihat dengan baik memerlukan mata yang sehat dan sinar mata hari secara bersama-sama. Dan lkebih dari itu adalah menghamalkan.
V. AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Aqidah aliran ini harus dicari pertama-tama dari keterangan-keterangan Al- Asy’ari. Karena kepercayaan Asy’ariyah menjadi keprcayaan Ahlussunnah wal Jama’ah. Kemudian dari pendapat-pendapat pengikutnya, seperti Al-Juwaini, Al-Asfaroini, Al-Ghazali dan lain-lainnya. Harus dicari pula segi-segi perbedaannya dengan aqidah golongan lain, terutama aliran Mu’tazailah.
Adapun aqidah-aqidah Ahlussnunnah wal Jama’ah antara lain:
1. Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala nanti di akherat,
2. Sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat positif atau ma’ani, yaitu qudrot, irodat dan seterusnya adalah sifat-sifat yang lain dati dzat Tuhan, tetapi bukan pula lain dari dzat,
3. Qu’an sebagai maniufestasi Kalamullah yang qodim adalah qodim, sedangkan qur’an yang berupa huruf ddan suara adalah hadits (baru),
4. Ciptaan Tuhan tidak karena tujuan,
5. Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan (baik buruk dari Tuhan),
6. Tuhan tidak berkewajiban: Membuat yang baik dan terbaik, mengutus Rosul dan memberi pahala bagi yang taat dan menyiksa atas orang-orang yang maksiat,
7. Tuhan boleh memberei beban di atas kesangguipan manusia,
8. Kebaikan dan keburukan tidak dapat diketahui akal semata-mata,
9. Pekerjaan manusia Tuhanlah ang menjadikannya,
10. Ada syafa’at pada hari kiamat,
11. Keutusan Nabi Muhammad diperkuat dengan Mu’jizat,
12. Kebangkitan di akherat (al-Ba’ats), pengumpulan manusia (al-Hasyr), pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur , siksa kubur, timbangan amal (mizan), jembatan (Shiroth), kesemuanya adalah benar (hak),
13. Surga dan Neraka keduanya adalah makhluk,
14. Semua Sahabat-Sahabat Nabi adalah baik dan adil,
15. Sepuluh orang SahaBAT Nabi yang dijanjikan masuk sorga oleh Nabi, pasti terjadi,
16. Ijma’ adalh suatu kebenaran yang harus diterima
Orang mukmin yang mengerjakan dosa besar akan masuk neraka sampai selesai menjalani siksa dan akhirnya akan masuk surga.
VI. TOKOH-TOKOH ALIAARAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
1. Al-Baqilani 7. Al-Ghazali
2. Ibnu Farouq 8. Ibvnu Tusnart
3. Ibnu Ishak al-Isfaroini 9. As-Syahrostani
4. Abu Kahir Al-Baghdadi 10. Al-Razi
5. Al-Juwaini 11. Al-Iji
6. Abdul Mudzaffah al-Isfaroini 12. As-Sanusi
VII. KESIMPULAN
Keterangan dan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa maksud berdirinya aliran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah agar kaum muslimin dalam memahami aqidah-aqidahnya kembali kepada masa Nabi, Sahababat dan Tabiin. Untuk mencapai maksud tersebut, maka tidak ada jalan lain kecuali mereka haarus kembali kepada Al-pQur’an, Alp-Hadaits serta pendapat-pendapat Sahabat dan Tabiin. Sikap semacam itu sudah barang tentu tidak ditinggalkan oleh aliran ini.
Tetapi sebagai mana halnya menghadapi serangan-serangan aqidah golongan lainnya yang dibangun di atas rasio/filsafat , baik disengaja atau tidak aqidah-aqidah tersebut akan bersentuhan dengan aqidah-aqidah kaum muslimin yang dibangun di atas nash al-Qur’an dan al-Haadits. Maka tak ada jalan lain pula kecuali kita harus menggunakan hujjah-hujjah (alasan-alsan)O mereka. Hal ini pun telah disadari oleh aliran Ahlussunnah wal Jama’ah seperti yang mereka lakukan dalam menghadapi pikiran-pikiran golongan lain khususnya Mu’tazilah.
Langkah semacam itu yang diambil oleh golongan terbesar ini tidak salah, sesuai dengan kekuatan yang telah ada pada diri manusia, yaitu kekuatan yang ada pada kalbu sebagai tempat persemaian aqidah dan kekuatan akal. Kekuatan ini sebagai dua kuatan ujung, ujung yang satu bukan ujung yang lainnya. Dua ujung tersebut laksana pesawat radio penerima dan pesawat radio pemancar. Radio penerima tidak bisa menyuarakan apa-apa selain suara yang disiarkan lewat pesawat radio pemancar. Pesawat pemancar ini harus menyiarkan acara-acara yang telah diprogramkan. Ia harus mampu menolak ganguan-ganguan suara lain selain apa yang telah diprogramkan dengan cara-cara tertentu yang memungkinkan ganguan-gangguan suara lain atau usaha-usaha lain yang akan merubah program tersebut tidak masuk ke dalam pesawat pemancar yang akhirnya dapat diterima oleh pesawat radio penerima.
Demikianlah gambaran tujuan dan daya upaya golongan Ahlussunnah wal Jama’ah yang merka tempuh dalam rangka memurnikan dan mempertahankan aqidah-aqidah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Malik Al-pJuwaini, Dasar-Dasar Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Terjemah, Nur Cahya, Yogyakarta, 1982.
A. Hanafi, MA. Pengantar .Teologi Islam, Djaya Murni, Jakarta, tt
Al-Mausu’ah Al-Arobiyah Al-Muyassaroh
As-Sahrostani, Al-Milal wan-Nihal, Al-Halabi, Mesir, 1967.
Ismail Al-Bukhori, Shohih Bukhori, Al-Halabi, Mesir, 1936.
Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Al-Madzhibul Islamiyah, Darul Fikri Al-Arobi,tt