Selasa, 29 Juni 2010

Ibnu 'Arobi Sufi Kontorfersi

PEMIKIRAN MISTISISME IBNU ‘AROBI
Drs. Aripin Muslim

A. Pendahuluan
Jika kita mempelajari sejarah islam pasti bertemu dengan Tasawuf dan jika membaca Tasawuf akan berkenalan dengan Ibnu ‘Arobi tokoh sufi yang kontrofersial. Dari masa ke masa dia menjadi bahan perbincangan banyak kalangan, sebagian memujinya dan memberinya gelar Syekh Akbar (Syekh Terbesar) ada pula yang mengelarinya Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Namun tidak sedikit yang menuduhnya murtad karena pandangannya dianggap menyimpang dari ajaran islam.
Tiga pandangannya yang idanggap menyimpang oleh mayoritas umat islam itu adalah Wihdatul Wujud (Kesatuan Wujud), Wihdatul Adyan (Kesatuan Agama) dan Nur Muhammad (Cahaya Muhammmad). Yang pertama konsep Ketuhanan, yang kedua konsep Agama dan yang ketiga konsep penciptaan.Sebenarnya umat islam mempunyai rujukan yang sama dalam memecahkan masalah keagamaan, yaitu Qur’an dan Hadits, yang pertama adalah wahyu Tuhan yang mutlak kebenarannya dan yang kedua perkataan Rosul yang dijamin kejujurannya. Dua sumber itu merupakan sumber informasi yang lengkap dan memadai tentang Tuhan, manusia dan alam semesata. Namun Tuhan adalah Tuhan, tidak dapat diserupakan dengan siapa pun dan tidak dapat diibaratkan dengan apa pun. Tuhan hanyalah seperti Tuhan. Baik Qur’an atau pun hadits tidak menjelaskan Tuhan yang transenden. Informasi yang didapat dari dua sumber itu adalah Tuahn yang imanen , Tuhan menurut gambaran pikiran manusia. Maka citra Tuhan pun bermacam-macam, tergantung dengan apa Dia dihubungkan, misalnya Ynag Maha Perkasa, Yang Maha Pengasih dan sebagainya. Namun yang paling umum Tuhan itu disebut Yang Maha Pencipta. Pencitraan Tuhan seperti ini berdasarkan logika sejarah, bahwa adanya alam menunjukkan adanya pencipta, maka Tuhan ndisebut Maha Pencipta.
Para sufi memiliki konsep tertentu mengenai Tuhan yang berbeda dengan orang awam. Bagi Hasan Al-Basri misalnya, Tuhan itu adalah pribadi yang sering murka tetapi maha besar karunia-Nya. Oleh karenanya Hasan Basri mengajarkan khauf (takut) dan roja’ (harapan), takut akan murka-Nya dan mengharap karunia-Nya
Citra Tuhan seperti di atas terasa amat menakutkan, padahal menurut Rabi’ah al-Adawiyah Tuhan itu begitu estetis, Dia tidak perlu ditakuti, tetapi justru harus dicintai dan dirindukan. Maka bagi Adawiyah ketika dia melaksanakan perintah-Nya bukan karena mengharap sorga atau karena takut neraka. Apapun yang dia lakukan benaar-benar karena cinta. Cintanya kepada Tuhan menutupi hatinya sehingga tak ada tempat sedikit pun untuk mencintai yang lain.
Ibnu ‘Arobi memandang Tuhan sebagai wujud mutlak, tiada yang wujud kecuali Tuhan, alam yang beraneka ragam ini hanyalah bayangan-Nya. Konsekwensi dari pemahaman ini adalah penyamaan agama. Secara esoteris semua agama sama saja mengajari manusia untuk menyembah Tuhan.
Dua dari tiga konsep ketuhanan tersebut di atas (Hasan Basri dan Robi’ah Al-Adawiyah) tidak banyak mendapat kritikan yang berarti, tapi mengapa konsep ketuhanan yang dibawa Ibnu ‘Arobi dikritik begitu tajam dan dipandang murtad, kitab-kitabnya dianggap menyesatkan sehingga pesantren-pesantren di Indonesia jarang mengajarkannya.
Tulisan ini mencoba menelusuri kembali konsep-konsep Ibnu ‘Arobi, apa yang melatar belakangi pemikirannya; bagai mana persamaan perbedaannya dengan pemikiran lain terutama tentang konsep keetuhanan.

B.Riwayat Singkat Ibnu ‘Arobi
Nama lengkapnya Muhammadd bin Ali bin Muhammad al-‘Arobi at-Thai al-Hatimi. Namanya yang paling mashur adalah Ibnu ‘Arobi, untuk membedakannya dengan Ibnul Arobi. Sufi yang bergelar Muhyiddin ini dilahirkan di Murcia Spanyol bagian tenggara dua abad setelah wafat Al-Hallaj sufi yang dihukum pancung karena sering meneriakkan “Ana al Haq” (aku adalah Tuhan), tepatnya pada 17 Romadlon 560 H atau 28 juli 1165 M. Gelar lain yang deberikan kepadanya adalah Syekh Akbar (Syekh Terbesar).
Ketika berusia tujuh tahunkeluarganya pindah ke Sevilla karena situasipolitik kurang menguntungkan setelah Murcia ditaklukan Dinasti Muwahhidin. Saat menginjak usia delapan tahun dia mulai belajar Qur’an, tafsir, hadits, fiqih, teologi dan filsafat Skolastik. Diantara guru tasawufnya adalah dua orang wanita lanjut usia, yaitu Yasamin (Syams) dari Marchena dan Fatimah dari Kordova.
Tampaknya Ibnu ‘Arobi mempunyai hubungan sangat dekat dengan Ibnu Rusyd, ffilosof muslim yang dibarat terkenal dengan
Nama Averros. Hal ini terbukti ketika kengadakan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara dia singgah di Kordova menemui filosof tersebut pada tahun 595H/ 1199 M. Memang petemuan mereka tidak begitu lama, karena p-ada tahun itu pula Ibnu Rusyd wafat. Sebagai tanda hormatnya dia ikut menghadiri pemakamannya. Kemudian pada tahun itu jua ia pindah ke Almeria.
Pada usia tiga puluh tahun menurut peerhitungan tahun qomariyah atau dua puluh delapan tahun menurut tahun syamsiyah dia mengadakan perjalanan ke luaar semenanjung Liberia. Di Tunisia ia mempelajari Khal’un Na’lain (Melepas Kedua Sandal) karya Ibnu Qusi, sufi yang mengadakan pemberontakan terhadap Dinasti Murabbitin di Al-Garve, untuk mengomentari karya tersebut ia menulis sebuah buku.
Ibnu “arobi melanjutkan perjalalannya ke wilayah Timur. Ada dua alasan atas kepergiannya. Pertama situasi poitik di Spanyol memanas, kaum sufi terancam karena dituduh menggalang kekuatan massa untuk mengadakan pemberontakan. Kedua pada tahun 597 H, dia mendapat perintah lewat mimpi agar menemui Muhammad al Hasan untuk pergi bersamanya. Pada tahun 598 H/ 1201 M ia melanjutkan perjalanan dari Tunisia ke Mesir. Di Mesir teman seperjalanannya meninggal maka ia pergi ke Mekah sendirian, di kota ini berjumpa dengan guru sufi terkenal, Zahirn bin Rustam.
Selama bermukim di sana dia menghabiskan waktunya untuk belajar dan menulis buku. Empat buku yang dia selesaikan adlah Misykatul Anwar (Cermin Cahaya-cahaya), kitab Hilyatul Abdal (hiasan para wali), Tajur Rosail (Mahkota Kerosulan) dan Ruhul Qudus (Roh Suci). Selain itu dia mulai menulis karya monumentalnya Futuhatul Makiyyah (Pembuka Kota Mekah) yang menurut pengakuannya didiktekan Tuhan melalui Jibril.
Ketika mukim di Mosul dia menyelesaikan kitab Tanazulatul Mausiliyyah (Reduksi Keterikatan), di kota ini pula dia dilantik menjaaadi murid Nabi Khidir untuk yang ke tiga kalinya.
Tempat tinggalnya yang terakhir adalah Damaskus, di alhir hidupnya dia menghabiskan waktunya untuk membaca, mengajar dan menuli. Di sinilah dia menyelesaikan karya monumentalnya Futuhatul Makiyyah yang sudah dimulai ketika mukim di Mekah. Buku lainnya adalah Fushushul Hikam yang lebih tipis tepi lebih penting, menurut pengakuannya dia melihat Nabi pada bulan Muharam membawa kitab tersebut dan menyuruh menyebarkannya kepada umat Islam.
Beberapa tahun sebelum meninggal dia memberi ijazah (kewenangan) kepada salah seorang muridnya, Asyraf Muzaffar al-Din Musa untuk mengajarkan semua karyanya. Nampaknya penunjukkan ini tidak sembarangan kaarena beberapa kitabnya sulit difahami kecuali oleh orang-orang tertentu.
Pada tanggal 22 Rabi’uts Tsani 638/ Nopember 1242 M Syeikh ini menghadap Tuhan dalam usia tujuh puluh delapan tahun dan dimakamkan di Bukit Qasiyun. Hingga kini makamnya banyak diziarahi umat Islam

C. Karya Ibnu ‘Arobi.
Ibnu ‘Arobi adalah sufi penulis yang sangat produktif Menurut brockelmann karyanya tidak kurang dari 234 judul. Omar Yahya menyebut jumlah 846 judul, diantaranya 700 judul karya orsinil, dari jumlah itu 400 judul masih ada. Ibnu ‘Arobi sendiri pernah menyebut 287 judul’ Diantara kaaryanya yang paling penting adalah Futuhatul Makiyyah dan Fushushul Hikam, terdiri dari dua puluh bab. Setiap judulnya memakai nama Nabi, isinya menjelasskan asspek-asspek tertentu dalam kebijaksanaan Tuhan.
Kaaryanya yang lain adalah Tarjumanul Asywaq (Panafsir kerinduan), Kitab Fana fil Musyahadah (Lebur dalam Kesaksian), Risalatul Anwar (Risalah Cahaya), Kitab Isro, Risalah fi Sual Ismail bin Saudakin (Risalah tentang Pertanyaan Ismail bin Saudakin), Risalah Ilal Imam Fakhruddin ar-Razi (Surat kepada Imam Fakhruddin ar-Razi), Kitab Hilyatul Abdal (Hiasan Para Wali), Kitab Naqsyul Fushush (Lukisan Hikmah), Kitab Wilayah (Kitab Pemerintahan), Kitab Isthilahatus Shufiyah (Kamus Istilah Tasawuf), Diwanul Akbar (Dewan Terbesar), Mawaqiun Nujum (Orbit Bintang-bintang), At-Tadbirotul Ilahiyyah (Undang-undang Ketuhanan).

D. Wahdatul Wujud
Istilah wihdatul wujud yang berarti kesatuan wuju, sering dihubungkan dengan Ibnu ‘Arobi. Pada hal menurut penelitian terakhir sufi dari Spanyol ini tidak pernah menyebutnya dalam karya-karyanya yang banyak. Jika nengok jauh kebelakang, banyak sufi zebelumnya yang mengucapkan kata-kata mistis yang ada hubungannya dengan faham wahdatul wujud. Misalnya saja Ma’ruf al_karakhi, sufi Bagdad yang hidup empat abad sebelum Ibnu ‘Arobi (W.200 H) pernah bernah bersyahadat dengan kalimat “Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah”. Lebih ekstrim lagi Abu Yazid al_Bustomi (w. 874 M) dia berkata “Ana Robbukum fa’buduni” (Aku adalah Tuhanmu maka sembahlah aku). Al-Hallaj (w.922 M) sufi Bagdad yang dihukum pancung mengatakan “Ana al-Haqq” (Aku adalah Tuhan). Namun mereka semua tidak dianggap sebagai pencetus pertama istilah wahdatul wujud. Lantas siapa yang memulai penggunaan istilah itu? Ibrohim Madkur menyebut Ibnu Timiyah, ulama pengikut mazhab Hambali,sebagai pencetusnya. Tapi Al-Kautsar tidak mempercayai anggapan tersebut. Dia menyebutkan hasil penelitian W.C. Chittick bahwa istilah wahdatul wujud diceetuskan pertama kali oleh Al-Qunawi (w. 673/1274 M) secara sepintas ketika menjelaskan tentang keesaan Tuhan. Kemudian dipopulerkan oleh al-Farghani murid utama al-Qunawi. Akan tetapi penggunaan istilah wahdatul wujud oleh guru dan murid tersebut bukan sebagai istilah teknis, yang pertama kali menggunakan istilah itu sebagai istilah teknis adalah Ibnu Sabi’in sufi Spanyol yang lahir tahun 613 H.
Menurut pandangan Ibnu ‘Arobi bahwa yang memiliki wujud hakiki hanyalah Tuhan, manusia dan alam semesta hanyalah bayangan. Wujudnya tergantung pa wujud-Nya. Hal ini terlihat jelas dalam ucapannya:
ان المحدث قد ثبت حدوثه- وافتقااره الي محدث احدثه لامكانه لنفسه فوجوده من غيره---ولابد ان يكون المستند اليه وااجب الوجود لذاته غنيا فى وجوده بنفسه غير مفتقر وهو لذي اعطى الوجود بذاته لهاذ الحديث--- الحديث واجب اللوجود ولكن وجوبه بغيره لابنفسه-
“Sudah menjadi kenyataan bahwa mahluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada Khalik yang menjadikannya; karena ia hanya mempunyai sifat mumkin (kungkin ada dan mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain; ... dan sesuatu yang lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang pada essensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tidak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya; bahkan ia lah yang dalam essensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan... Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada sesuatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri”.

Dengan lain kata makhluk atau yang dijadikan, wujudnya bergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud salain Tuhan adalah wujud bayangan.
Jija dilihat dari sudut pandang dirinya sendiri, Tuhan adalah yang Nyata (Al-Haqq), tapi jika dilihat dari sifat-sifat-Nya yang mengejawantah dalam keanekaragaman entitas-entitas yang mumkin, Ia adalah Al-Khalq (ciptaan). Walau pun begitu pada hakekatnya keduanya sama dan satu.
Menurut Ibnu ‘Arobi ketuhanan dan kemanusiaan bukanlah dua sifat yang berbeda, tapi lebih merupakan dua aspek yang terpantul dalam setiap tingkatan penciptaan. Ketuhanan dapat disamakan dengan aspek realitas tersembunyi (batin) sedangkan kemanusiaan dengan aspek lahir (dzahir). Keaneka ragaman makhluk dapat diibaratkan cermin, ketika seseorang berdiri di depan seribu cermin maka akan tampak seribu wajah pula. Tetapi ini tidak berarti jumlah orang orang itu ada seribu, dia tetap hanya satu, seperti itu pula Tuhan.
E. Perbedaan Wahdatul Wujud dan Hulul
Faham wahdatul wujud Ibnu ‘Arobi mirip dengan konsep al-Hallaj tentang Hulul. Tapi sebenarnya ada perbedaan yang cukup mendasar. Menurut Al-Hallaj pada diri manusia itu ada dua sifat, yaitu sifat Ketuhanan (Lahut) dan kemanuisiaan (Nasut). Ketika seseorang mampu mensucikan jiwanya, maka Tuhan akan menyatu dalam dirinya sehingga tidak ada perbedaan antara Lahut dan Nasut, seperti seperti api dan bara yang sulit dipisahkan. Teti keduanya adalah hal yang berbeda. Sedangkan menurut Ibnu ‘Arobi al-Haqq (Lahut dalam istilah al-Hallaj) dan Khalq (Nasut dalam istilah al_Hallaj) adalah dua hal yang sama dan satu. Khalik adalah hakikat makhluk dan makhluk adalah bayngan Khalik.
G. Nur Muhammad
Doktrin tentang Nur Muhammad berkaitan erat dengan doktrin wahdatul wujud. Doktrin ini merupakan penafsiran terhadap kata Nur dalam al-Qur’an. Dalam kitab suci ini memang terdapat beberapa kata “nur” dengan berbagai makna. Salah satunya bermakna Muhammad tercantum dalam surat al-Maidah ayat 15
قد جاءكم من الله نور وكتاب مبين
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahay dari Allah dan kitab yang menerangkan

Selain diambil dari ayat di atas juga difahami dari penjelasan Nabi sendiri
terhadap salah seorang sahabatnya bahwa yang pertama kali diciptakan Tuhan adalah Nur Muhammad. Ayat dan hadits tersebut menjadi objek pembahasan bagi para mufasi seperti Al Qosimi, At-Thobari, Al-Alusi Al-Qurtubi dan para sufi seperti An-Nabhani, Al-Hallaj dan Ibnu ‘Arobi.
Menrut Ibnu ‘Arobi yang pertama diciptakan Tuhan aadalah Nur Muhammad atau Haqiqatul Muhammadiyah (Hakikat Muhammad). Nur Muhammad bertajalli dari Nur Zat-Nya. Nur Muhammad merupakan wadah bertajalli yang paling sempurna karena ia dianggap sebagai khalifatullah atau insan kamil paling istimewa. Haqkikat Muhammad mempunyai dua jalur hubungan, yaitu pertama, hubungan dengan alam semesta, kedua, hubungannya dengan manusia sebagai hakikat manusia.
Dari segi hubungannya dengan alam, Nur Muhammad adalah nur yang pertama diciptakan Allah dan yang dari dalam dirinya dijadikan alam semesta ini, ahalam jasmani dan alam rohani. Jadi Nur Muhammad memuat dalam dirinya apa yang disebut a’yan mumkinat (kenyataan yang mungkin) dan dengan firman “kun” maka segala yang berwujud potensial itu beralih kepada wujud aktual dalam bentuk alam empiris ini.
F. Kritik dan Ancaman Terhadap Ibnu ‘Arobi
Para sufi sering menhadapi resiko tinggi dalam mempertahankan keyakinannya. Mereka mendapat cercaan dan ancaman dari umat islam sendiri. Beberapa diantara mereka bahkan mati dibunuh karena dianggap murtad dan menyesatkan. Misalnya Al-Hallaj, Suhrowardi al Maqtul, Ain Qudhot dan sebagainya. Hal yang sama dialami pula oleh Ibnu ‘Arobi di Mesir hampir saja tewaas dibunuh.
Ibnu ‘Arobi m endapat kritik tajam dari Ibnu Taimiyah, seorang pengikut madzhab Hambali. Selain itu dari Ibnu Qoyyil al-Jauzi, murid utamanya. Dia juga mendapat kritikan dari Ibnu Kholdun (9w. 808 H/1410 M) pakar sejarah dan pensyarah kitab hadits Al-Bukhori dan tokoh madzhab Syafi’i terkemuka di Mesir. Juga mendapat kritikan dari Ibrahim al Biqa’i (w. 858 H/1460 ). Dua buku ditulisnya untuk menyerang Ibnu ‘Arobi, yaitu Tanbihul Ghobi ‘Ala Takfiri Ibnu ‘Arobi (Peringatan bagi Orang Bebal, atas Pengkafiran Ibnu ‘Arobi), Tahzirul Ubbad min Ahlil Inad bil Bid’atil Ittihad (Peringatan bagi Hamba Allah, Golongan Pendurhaka, tentang Bid’ahnya Ittihad).
G. Pembelaan Terhadap Ibnu ‘Arobi
Walau pun banyak yang menentang tapi banyak pula ulama yang mengadakan pembelaan tehadap Ibnu ‘Arobi, diantara mereka adalah Majduddin Al-Firuzzabadi, Quthbuddin al Humawi, Shalahuddin al Shafadi, Sihabuddin Umar, As Suhrowardi (penulis Awariful Ma’arif, bukan Suhrowardi al Maqtul), Fakhruddin Arrazi dan Jalaluddin as Suyuti (pengarang kitab tafsir terkenal), Abdur Razzak al Qusyani dan Abdul Ghazi al Nablusi).

H. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Ibnu ‘Arobi adalah seorang mistikus besar. Hal ini terlihat dari banyaknya tantangan dan pembelaan terhadapnya dari sejumlah ulama terkenal. Sufi filosof dari Spanyol itu berpengaruh besar dalam dunia islam walau pun tidak sebebsar pengaruh al Ghazali.
Konsepnya tentang Tuhan berbeda denghan Hasan Al Basri, Robi’ah al Adawiyah atau al Hallaj. Dia tidak berbicara soal hubungan ketaatan antara Tuhan dan Hamba seperti Hasan Basri atau hubungan cinta antara manusia dan Dzat Yang Maha Indah seperti Robi’ah Baginya Tuhan itu satu satunya Dzat yang wujud, tiada wujud lain kecuali Dia, . Untuk menjelaskan keesaan dan kemutlakan Tuah tersebut, dia mengatakan bahwa makhluk yang beraneka ragam ini memancar dari pikiran Tuhan, tidak tercipta dari tidak ada kemudian ada. Jadi pada hakikatnya alam ini Tuhan juga.
Pemikiran Ibnu ’Arobi tentang wahdatul wujud tampak sekali dipengaruhi konsep hulul dari al Hallaj yang mengatakan bahwa Lahut (unsur Keetuhanan) dan Nasut (unsur kemanusiaan) pada kondisi tertentu dapat bersatu. Dia juga terpengaruh oleh filsafat Neo Platonisme tentang keesaan Tuhan, zat “Yang Pertama” dengan ketunggalan yang sebenar benarnya. Wallahu a’lamu bishowab

DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Karen, SejarahTuhan, terjemahan Zainul Am, Mizan, Bandung, 2006
‘Arobi, Ibnu, Misteri Kun Syajarotul Kaun, Tejemahan Wasmukan, Risalah Gusti, Surabaya,2001

‘Arobi, Ibnu, Relung Cahaya,terjemahan Ari Anggari, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996
.
At Taafzzani, Abul Wafa al Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terjemahan Ahmad Rafi Usman, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997
.
Dahlan A. Azis, Sunni dan Tasawuf Falsafi tinjauan Filosofis, dalam jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an vol II, Lembaga Studi Agama dan filsafat, Jakarta 1987.

Fakhri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terjemahan R. Mulyadhi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1987

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta 1984
Ibrahim, Syekh Muhammad, Misteri besar Mansur al Hallaj: Ana’l Haqq, terjemahan Hr. Bandaharo dan Joebaar Ajub, CV Rajawali, Jakarta, 1991

Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terjemahan Yudian Wahyudi Asmin, Bumi Aksara, Jakarta 1995

Nassution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978
Noer, Kautsar Azhari, Ibnu ‘Arobi, Whdatul Wujud dalam Perdebatan, Paramadina, Jakarta 1995

Sahabuddin, Nur Muhammad Pintu Menuju Allah, Logos Wacan Ilmu, Jakarta, 2002

Jumat, 25 Juni 2010

Gerakan Islam Radikal di Indonesia

MELACAK AKAR HISTORIS GERAKAN ISLAM RADIKAL

DI INDONESIA

Oleh: Drs. Aripin Muslim

A. Pendahuluan

Radikalisme telah menjadi gejala umum di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Insiden bom di JW Mariott dan Ritz Carlton 17 Juli lalu membuktikan masih bercokolnya radikalisme atas nama agama.

Islam radikal, tampaknya, terus mencoba melawan. Perlawanan itu muncul dalam bentuk melawan kembali kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau identitas yang menjadi taruhan hidup. Mereka berjuang untuk menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial lain. Mereka berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun konstruksi baru. Dan, berjuang melawan musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang dipandang menyimpang. Mereka yakin bahwa perjuangan mereka diridai Tuhan.

Pengaruh keagamaan dan politik dari Timur Tengah ke Indonesia bisa menjadi pemicu. Sejak Islam masuk ke Nusantara, hubungan masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah sangat kental. Transmisi itu dimungkinkan karena posisi Timur Tengah sebagai sentrum yang selalu menjadi rujukan umat Islam, baik untuk berhaji, ziarah, maupun belajar. Dari aktivitas tersebut, lalu muncul berbagai bentuk jaringan, baik jaringan keulamaan, jaringan gerakan dakwah, maupun jaringan gerakan politik.

Kini, gerakan radikal Islam telah terfragmentasi dalam beragam organisasi. Namun, ada sejumlah benang merah yang bisa ditarik dari berbagai kelompok Islam radikal. Yaitu, pemahaman yang sangat literal terhadap ajaran Islam, keyakinan yang sangat kuat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri ini, perjuangan yang tak kenal lelah menegakkan syariat Islam, resistensi terhadap kelompok yang berbeda pemahaman dan keyakinan serta penolakan dan kebencian yang nyaris tanpa cadangan terhadap segala sesuatu yang berbau Barat.

B. Pengetian Islam Radikal

Jauh sebelum opini dunia tentang “terorisme Islam” muncul ke permukaan, kita pernah mendengar sebutan “fundamentalisme”. Dalam bahasa Arab “fundamentalisme” atau al-ushuliyyah berarti “mendasar atau disiplin dalam menjalankan kewajiban agama. “Muslim fundamental” adalah muslim yang sangat disiplin dalam menjalankan ajaran Islam, seperti salat lima waktu secara berjamaan atau menghindari sesuatu yang tidak jelas kehalalannya. Dalam konteks itu, umat Islam diserukan untuk melaksanakan ajaran agamanya secara fundamental.

“Radikalisme” dalam bahasa Arab disebut syiddah al-tanatu. Artinya keras, eksklusif, berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif dalam memandang agama-agama lainnya.

C. Akar Sejarah

Kelompok muslim radikal muncul sejak terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, menyusul kemudian Ali bin Abi Thalib yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. Saat itu, radikal Islam diwakili oleh kelompok Khawarij.

Sementara itu, Islam yang harmonis dapat dibuktikan dari peristiwa Fath Makkah (pembebasan Kota Makkah) oleh umat Islam yang dipimpin langsung Nabi Muhammad. Kota Makkah dibebaskan setelah puluhan tahun dijadikan markas kegiatan orang-orang musyrik.Saat umat Islam mengalami suasana euforia atas keberhasilannya menguasai kota tersebut, ada sekelompok kecil sahabat Nabi yang berpawai dalam kota dengan meneriakkan slogan “al-yaum yaumul malhamah” (hari ini adalah hari pertumpahan darah).

Slogan itu dimaksudkan sebagai upaya balas dendam mereka atas kekejaman orang-orang musyrik Makkah kepada umat Islam selama puluhan tahun. Gejala tidak sehat tersebut dengan cepat diantisipasi oleh Nabi Muhammad dengan melarang beredarnya slogan itu dan menggantinya dengan slogan yang lebih ramah dan penuh kasih: al-yaum yaumul marhamah (hari ini adalah hari penuh belas kasih). Akhirnya, peristiwa pembebasan Kota Makkah dapat terwujud tanpa insiden berdarah.

Gejala kemunculan radikalisme Islam sesungguhnya ditengarai ada sejak Nabi Muhammad masih hidiup. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dikisahkan, ketika di daerah Ja’ranah Nabi Muhammad membagikan fa’I atau harta rampasan perang dari wilayah Thaif dan Hunain, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dzul-Khuwaishirah dari Banu Tamim melayangkan protes kepada beliau. “Bersikap adillah, wahai Muhammad!” Nabi Muhammad dengan tegas menjawab, “Celaka kamu! Tidak ada orang yang lebih adil dari aku. Karena apa yang kami lakukan berdasar petunjuk Allah!”.

Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhammad bersabda, “Suatu saat akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang membaca Alqur’an, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini.”

Hadis sahih di atas kemudian terbukti setelah Nab Muhammad wafat. Pada 35 H, Khalifah Usman bin Affan terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa itu kemudian terulang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib yang juga terbuhun oleh kalangan ekstrem dari umat Islam. Komunitas ekstrem tersebut sungguh pun pada mulanya bernuansa politik, tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang dikenal dengan faham Khawarij.

Hal yang menarik, saat Khalifah Ali bin Abi Thalib masih hidup, kelompok ekstrem Khawarij itu memvonis kafir Khalifah Ali bin Abi Thalib atas dasar kesalahan beliau yang membenarkan arbitrase atau tahkim dengan Mu’awiyah. Soalnya, bagi Khawarij, yang berlaku adalah doktrin laa hukma illa Allah, bahwa arbitrase itu hanya milik Allah. Khalifah Ali bin Abi Thalib pun menangkis diplomasi mereka dengan kata-kata singkat, “Untaian kata yang benar, namun tendensius dan mengarah pada yang batil”.

D. .Kesimpulan

Gelombang umat Islam radikal yang berkembang saat ini sebenarnya terpengaruh oleh pola-pola Khawarij pada masa periode awal sejarah umat Islam. Sikap mereka yang ingin menempuh jalur apa saja, menyalahkan siapa saja yang tak sama pemahamannya, merupakan refleksi dari pemahaman mereka yang “sathiyyah” (dangkal) dan belum tuntas terhadap ajaran Islam

Selasa, 22 Juni 2010

Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam dan Aliran aliran

Setelah wafatnya Rasul maka beralihlah pimpinan agama ke tangan Kholifah yang tlah mendapat eprsetujuan kaum muslimin. Di samping itu ambisi terutama dari pemuka golongan-golongan yang merasa dekat dengan Nabi tidak juga dapat fielakkan. Abu Bakar , Umar, Utsman, Ali merupakan sahabat sahabat yang terdsekat dasn berkenan memangku jabatan yang mulia itu.

Ketika Ali Bin Abi Thalib diangkat menjadi Kholifah yang ke IV, ia sefera mendapat tantangan dari pemuka pemuka yang ingin menjadi khilofah, terutam Tolhah dan Zubair dari Makkah yang rupanya mendapat dukungan dari Siti A'isyah (Isteri Rosul), Tantengan tersebut dapat diatasi oleh Ali dalam pertempuran Jamal di Irak, Tolhah dan Zuber mati terbunuh dan A'isyah digiring kembali ke Makkah.

Perlawanan selanjutnya datang dari Muawiyah gubernur Damaskus (Syam/Syiria) dan keluarga yang terdekat dari Usaman Binh Affan. Muawiyah menuntut Ali agar menghukum pembunuh Usman, lebih ndari itu ia menuduh Ali yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. apalagi golongan pemberontak yang datang dari Mesir itu Termasuk Muhammad bin Abi Bakr adalah anak angkat Ali, dan Ali sendiri nampaknya acuh tak acuh tidak mau mengambil tindakan keras terhadap para pemberontak itu.

Dalam pertempuran di Siffin tentara dadpat bmematahkan tentara Muawiyah, tapi tangan kanan uawiyah, Amru bin 'Ash dengan cara mengangkat mushgaf Al-Qur'an, para Muqri (ahli membaca Qur'an) yang berada di mpihak Ali memaksa Ali agar dapat menerima tawaran baik itu, lalu dicarilah perdamaian dengan mengadakan tahkim. Amru bin Ash mewakili MUawiyah, Abu Musa Al Asy'ari mewakili Ali. Dari kedua golongan ini terjadilah pemufakatan untuk mmasing masing menjatuhkan kedua poimpinan yang saling bertentangan utu. Abu Musa yang lebih tua harus terlebih dahulu mengumumkan pada orang banyak bahwa dari pihaknya menurunkan Ali sebagai Kholifah. berlainan dengan apa yang disepakati bersama, Amru bin Ash mengumumkan bahwa pihaknya sengat menyetujui penurunan ali sebagai kholifah, atas dasar itu pula ia mengumumkan serta menetapkan Muawiyah sebagai kholifah. Putusan yang sangat bertentangan itu ditolak oleh Ali dan ia pun tidak mau meletakkan jabatannya sebagai kholifah sampai akhir hayatnya.

Golingan Ali yang sejak semula tiddkmau menerima tahkim, memandang bahwa Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah, mereka inilah yang kemudian terkenal dengna nama golongan Khawarij. Orang orang yang telah keluar dan memisahkan diri dari karena menganggap Ali telah bersalah dan berbuat dosa; mereka menentang Ali.

Dua musuh yang bharus dihadapi Ali, yaitu Muawiya dan Khowarij. Golongan Khawarij dapat dikalahkan Ali, tetapi Muawiyah ia mengalami kegagalan sampai ia wafat Muawiyah tetap berkuasa di Damaskus. Setelah Ali wafat dengan mudah Muawiyah memperoleh npengakuan sebagai kholifah umat islam (661 M).

Persoalan politik inilah yang akhirnya beralih kepada timbulnya persoalan teologi. Timbullah persoalan: Siapa yang kafir dan siapa yang bmaswih tetap mikmin?

Golongan Khawarij memandang Ali, Muawiyah, Amru bin Ash dan Abu Musa serta orang-orangbyang menyetujui tahkim adalahkafir, al-Qur'an menyatakan (al-maidah ayat 44), yang artinya: Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang btelah diturunkan Allah (al-Qur'an), adaalah kafir.

Atas dasar ini Khawarij memutusakan ke 4 orang ini harus dibunuh karena mereka telah murtad/ kafir. Konsep kafir ini berkembang pula bukan saja orang yang tidak mau menegakkan hukum berdasarkan al -Qur'an tetapi orang-orang mukmin yang telah beerbuat dosa besar juga dipandang kafit.

Persoalan oraqng yang berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi islam selanjutnya. Persoalannya ialah: Masihkah ia dapat dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadai kafir karena beerbuat dosa besar itu? Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam.

Pertama Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah nkafir, dalam arti keluar dari islam atau tegasnya murtad oleh karena itu wajib dibunuh.

Aliran kedua Murji'ah yang menegaskan bahawa orang yang berbuat dosa besart tetap masih masih mukmin dan bukan kafir. Adpun soall dosa yang dilakukannya, terserah Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.

Kaum Mu'tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Orang serupoa ini kata mereka mengambil posisi di antara posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilu bainal manzilatain (posisi di antara dua posisi.