Drs. Aripin Muslim
Jika kita mempelajari sejarah islam pasti bertemu dengan Tasawuf dan jika membaca Tasawuf akan berkenalan dengan Ibnu ‘Arobi tokoh sufi yang kontrofersial. Dari masa ke masa dia menjadi bahan perbincangan banyak kalangan, sebagian memujinya dan memberinya gelar Syekh Akbar (Syekh Terbesar) ada pula yang mengelarinya Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Namun tidak sedikit yang menuduhnya murtad karena pandangannya dianggap menyimpang dari ajaran islam.
Tiga pandangannya yang idanggap menyimpang oleh mayoritas umat islam itu adalah Wihdatul Wujud (Kesatuan Wujud), Wihdatul Adyan (Kesatuan Agama) dan Nur Muhammad (Cahaya Muhammmad). Yang pertama konsep Ketuhanan, yang kedua konsep Agama dan yang ketiga konsep penciptaan.Sebenarnya umat islam mempunyai rujukan yang sama dalam memecahkan masalah keagamaan, yaitu Qur’an dan Hadits, yang pertama adalah wahyu Tuhan yang mutlak kebenarannya dan yang kedua perkataan Rosul yang dijamin kejujurannya. Dua sumber itu merupakan sumber informasi yang lengkap dan memadai tentang Tuhan, manusia dan alam semesata. Namun Tuhan adalah Tuhan, tidak dapat diserupakan dengan siapa pun dan tidak dapat diibaratkan dengan apa pun. Tuhan hanyalah seperti Tuhan. Baik Qur’an atau pun hadits tidak menjelaskan Tuhan yang transenden. Informasi yang didapat dari dua sumber itu adalah Tuahn yang imanen , Tuhan menurut gambaran pikiran manusia. Maka citra Tuhan pun bermacam-macam, tergantung dengan apa Dia dihubungkan, misalnya Ynag Maha Perkasa, Yang Maha Pengasih dan sebagainya. Namun yang paling umum Tuhan itu disebut Yang Maha Pencipta. Pencitraan Tuhan seperti ini berdasarkan logika sejarah, bahwa adanya alam menunjukkan adanya pencipta, maka Tuhan ndisebut Maha Pencipta.
Para sufi memiliki konsep tertentu mengenai Tuhan yang berbeda dengan orang awam. Bagi Hasan Al-Basri misalnya, Tuhan itu adalah pribadi yang sering murka tetapi maha besar karunia-Nya. Oleh karenanya Hasan Basri mengajarkan khauf (takut) dan roja’ (harapan), takut akan murka-Nya dan mengharap karunia-Nya
Citra Tuhan seperti di atas terasa amat menakutkan, padahal menurut Rabi’ah al-Adawiyah Tuhan itu begitu estetis, Dia tidak perlu ditakuti, tetapi justru harus dicintai dan dirindukan. Maka bagi Adawiyah ketika dia melaksanakan perintah-Nya bukan karena mengharap sorga atau karena takut neraka. Apapun yang dia lakukan benaar-benar karena cinta. Cintanya kepada Tuhan menutupi hatinya sehingga tak ada tempat sedikit pun untuk mencintai yang lain.
Ibnu ‘Arobi memandang Tuhan sebagai wujud mutlak, tiada yang wujud kecuali Tuhan, alam yang beraneka ragam ini hanyalah bayangan-Nya. Konsekwensi dari pemahaman ini adalah penyamaan agama. Secara esoteris semua agama sama saja mengajari manusia untuk menyembah Tuhan.
Dua dari tiga konsep ketuhanan tersebut di atas (Hasan Basri dan Robi’ah Al-Adawiyah) tidak banyak mendapat kritikan yang berarti, tapi mengapa konsep ketuhanan yang dibawa Ibnu ‘Arobi dikritik begitu tajam dan dipandang murtad, kitab-kitabnya dianggap menyesatkan sehingga pesantren-pesantren di Indonesia jarang mengajarkannya.
Tulisan ini mencoba menelusuri kembali konsep-konsep Ibnu ‘Arobi, apa yang melatar belakangi pemikirannya; bagai mana persamaan perbedaannya dengan pemikiran lain terutama tentang konsep keetuhanan.
B.Riwayat Singkat Ibnu ‘Arobi
Nama lengkapnya Muhammadd bin Ali bin Muhammad al-‘Arobi at-Thai al-Hatimi. Namanya yang paling mashur adalah Ibnu ‘Arobi, untuk membedakannya dengan Ibnul Arobi. Sufi yang bergelar Muhyiddin ini dilahirkan di Murcia Spanyol bagian tenggara dua abad setelah wafat Al-Hallaj sufi yang dihukum pancung karena sering meneriakkan “Ana al Haq” (aku adalah Tuhan), tepatnya pada 17 Romadlon 560 H atau 28 juli 1165 M. Gelar lain yang deberikan kepadanya adalah Syekh Akbar (Syekh Terbesar).
Ketika berusia tujuh tahunkeluarganya pindah ke Sevilla karena situasipolitik kurang menguntungkan setelah Murcia ditaklukan Dinasti Muwahhidin. Saat menginjak usia delapan tahun dia mulai belajar Qur’an, tafsir, hadits, fiqih, teologi dan filsafat Skolastik. Diantara guru tasawufnya adalah dua orang wanita lanjut usia, yaitu Yasamin (Syams) dari Marchena dan Fatimah dari Kordova.
Tampaknya Ibnu ‘Arobi mempunyai hubungan sangat dekat dengan Ibnu Rusyd, ffilosof muslim yang dibarat terkenal dengan
Nama Averros. Hal ini terbukti ketika kengadakan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara dia singgah di Kordova menemui filosof tersebut pada tahun 595H/ 1199 M. Memang petemuan mereka tidak begitu lama, karena p-ada tahun itu pula Ibnu Rusyd wafat. Sebagai tanda hormatnya dia ikut menghadiri pemakamannya. Kemudian pada tahun itu jua ia pindah ke Almeria.
Pada usia tiga puluh tahun menurut peerhitungan tahun qomariyah atau dua puluh delapan tahun menurut tahun syamsiyah dia mengadakan perjalanan ke luaar semenanjung Liberia. Di Tunisia ia mempelajari Khal’un Na’lain (Melepas Kedua Sandal) karya Ibnu Qusi, sufi yang mengadakan pemberontakan terhadap Dinasti Murabbitin di Al-Garve, untuk mengomentari karya tersebut ia menulis sebuah buku.
Ibnu “arobi melanjutkan perjalalannya ke wilayah Timur. Ada dua alasan atas kepergiannya. Pertama situasi poitik di Spanyol memanas, kaum sufi terancam karena dituduh menggalang kekuatan massa untuk mengadakan pemberontakan. Kedua pada tahun 597 H, dia mendapat perintah lewat mimpi agar menemui Muhammad al Hasan untuk pergi bersamanya. Pada tahun 598 H/ 1201 M ia melanjutkan perjalanan dari Tunisia ke Mesir. Di Mesir teman seperjalanannya meninggal maka ia pergi ke Mekah sendirian, di kota ini berjumpa dengan guru sufi terkenal, Zahirn bin Rustam.
Selama bermukim di sana dia menghabiskan waktunya untuk belajar dan menulis buku. Empat buku yang dia selesaikan adlah Misykatul Anwar (Cermin Cahaya-cahaya), kitab Hilyatul Abdal (hiasan para wali), Tajur Rosail (Mahkota Kerosulan) dan Ruhul Qudus (Roh Suci). Selain itu dia mulai menulis karya monumentalnya Futuhatul Makiyyah (Pembuka Kota Mekah) yang menurut pengakuannya didiktekan Tuhan melalui Jibril.
Ketika mukim di Mosul dia menyelesaikan kitab Tanazulatul Mausiliyyah (Reduksi Keterikatan), di kota ini pula dia dilantik menjaaadi murid Nabi Khidir untuk yang ke tiga kalinya.
Tempat tinggalnya yang terakhir adalah Damaskus, di alhir hidupnya dia menghabiskan waktunya untuk membaca, mengajar dan menuli. Di sinilah dia menyelesaikan karya monumentalnya Futuhatul Makiyyah yang sudah dimulai ketika mukim di Mekah. Buku lainnya adalah Fushushul Hikam yang lebih tipis tepi lebih penting, menurut pengakuannya dia melihat Nabi pada bulan Muharam membawa kitab tersebut dan menyuruh menyebarkannya kepada umat Islam.
Beberapa tahun sebelum meninggal dia memberi ijazah (kewenangan) kepada salah seorang muridnya, Asyraf Muzaffar al-Din Musa untuk mengajarkan semua karyanya. Nampaknya penunjukkan ini tidak sembarangan kaarena beberapa kitabnya sulit difahami kecuali oleh orang-orang tertentu.
Pada tanggal 22 Rabi’uts Tsani 638/ Nopember 1242 M Syeikh ini menghadap Tuhan dalam usia tujuh puluh delapan tahun dan dimakamkan di Bukit Qasiyun. Hingga kini makamnya banyak diziarahi umat Islam
C. Karya Ibnu ‘Arobi.
Ibnu ‘Arobi adalah sufi penulis yang sangat produktif Menurut brockelmann karyanya tidak kurang dari 234 judul. Omar Yahya menyebut jumlah 846 judul, diantaranya 700 judul karya orsinil, dari jumlah itu 400 judul masih ada. Ibnu ‘Arobi sendiri pernah menyebut 287 judul’ Diantara kaaryanya yang paling penting adalah Futuhatul Makiyyah dan Fushushul Hikam, terdiri dari dua puluh bab. Setiap judulnya memakai nama Nabi, isinya menjelasskan asspek-asspek tertentu dalam kebijaksanaan Tuhan.
Kaaryanya yang lain adalah Tarjumanul Asywaq (Panafsir kerinduan), Kitab Fana fil Musyahadah (Lebur dalam Kesaksian), Risalatul Anwar (Risalah Cahaya), Kitab Isro, Risalah fi Sual Ismail bin Saudakin (Risalah tentang Pertanyaan Ismail bin Saudakin), Risalah Ilal Imam Fakhruddin ar-Razi (Surat kepada Imam Fakhruddin ar-Razi), Kitab Hilyatul Abdal (Hiasan Para Wali), Kitab Naqsyul Fushush (Lukisan Hikmah), Kitab Wilayah (Kitab Pemerintahan), Kitab Isthilahatus Shufiyah (Kamus Istilah Tasawuf), Diwanul Akbar (Dewan Terbesar), Mawaqiun Nujum (Orbit Bintang-bintang), At-Tadbirotul Ilahiyyah (Undang-undang Ketuhanan).
D. Wahdatul Wujud
Istilah wihdatul wujud yang berarti kesatuan wuju, sering dihubungkan dengan Ibnu ‘Arobi. Pada hal menurut penelitian terakhir sufi dari Spanyol ini tidak pernah menyebutnya dalam karya-karyanya yang banyak. Jika nengok jauh kebelakang, banyak sufi zebelumnya yang mengucapkan kata-kata mistis yang ada hubungannya dengan faham wahdatul wujud. Misalnya saja Ma’ruf al_karakhi, sufi Bagdad yang hidup empat abad sebelum Ibnu ‘Arobi (W.200 H) pernah bernah bersyahadat dengan kalimat “Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah”. Lebih ekstrim lagi Abu Yazid al_Bustomi (w. 874 M) dia berkata “Ana Robbukum fa’buduni” (Aku adalah Tuhanmu maka sembahlah aku). Al-Hallaj (w.922 M) sufi Bagdad yang dihukum pancung mengatakan “Ana al-Haqq” (Aku adalah Tuhan). Namun mereka semua tidak dianggap sebagai pencetus pertama istilah wahdatul wujud. Lantas siapa yang memulai penggunaan istilah itu? Ibrohim Madkur menyebut Ibnu Timiyah, ulama pengikut mazhab Hambali,sebagai pencetusnya. Tapi Al-Kautsar tidak mempercayai anggapan tersebut. Dia menyebutkan hasil penelitian W.C. Chittick bahwa istilah wahdatul wujud diceetuskan pertama kali oleh Al-Qunawi (w. 673/1274 M) secara sepintas ketika menjelaskan tentang keesaan Tuhan. Kemudian dipopulerkan oleh al-Farghani murid utama al-Qunawi. Akan tetapi penggunaan istilah wahdatul wujud oleh guru dan murid tersebut bukan sebagai istilah teknis, yang pertama kali menggunakan istilah itu sebagai istilah teknis adalah Ibnu Sabi’in sufi Spanyol yang lahir tahun 613 H.
Menurut pandangan Ibnu ‘Arobi bahwa yang memiliki wujud hakiki hanyalah Tuhan, manusia dan alam semesta hanyalah bayangan. Wujudnya tergantung pa wujud-Nya. Hal ini terlihat jelas dalam ucapannya:
ان المحدث قد ثبت حدوثه- وافتقااره الي محدث احدثه لامكانه لنفسه فوجوده من غيره---ولابد ان يكون المستند اليه وااجب الوجود لذاته غنيا فى وجوده بنفسه غير مفتقر وهو لذي اعطى الوجود بذاته لهاذ الحديث--- الحديث واجب اللوجود ولكن وجوبه بغيره لابنفسه-
“Sudah menjadi kenyataan bahwa mahluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada Khalik yang menjadikannya; karena ia hanya mempunyai sifat mumkin (kungkin ada dan mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain; ... dan sesuatu yang lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang pada essensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tidak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya; bahkan ia lah yang dalam essensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan... Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada sesuatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri”.
Dengan lain kata makhluk atau yang dijadikan, wujudnya bergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud salain Tuhan adalah wujud bayangan.
Jija dilihat dari sudut pandang dirinya sendiri, Tuhan adalah yang Nyata (Al-Haqq), tapi jika dilihat dari sifat-sifat-Nya yang mengejawantah dalam keanekaragaman entitas-entitas yang mumkin, Ia adalah Al-Khalq (ciptaan). Walau pun begitu pada hakekatnya keduanya sama dan satu.
Menurut Ibnu ‘Arobi ketuhanan dan kemanusiaan bukanlah dua sifat yang berbeda, tapi lebih merupakan dua aspek yang terpantul dalam setiap tingkatan penciptaan. Ketuhanan dapat disamakan dengan aspek realitas tersembunyi (batin) sedangkan kemanusiaan dengan aspek lahir (dzahir). Keaneka ragaman makhluk dapat diibaratkan cermin, ketika seseorang berdiri di depan seribu cermin maka akan tampak seribu wajah pula. Tetapi ini tidak berarti jumlah orang orang itu ada seribu, dia tetap hanya satu, seperti itu pula Tuhan.
E. Perbedaan Wahdatul Wujud dan Hulul
Faham wahdatul wujud Ibnu ‘Arobi mirip dengan konsep al-Hallaj tentang Hulul. Tapi sebenarnya ada perbedaan yang cukup mendasar. Menurut Al-Hallaj pada diri manusia itu ada dua sifat, yaitu sifat Ketuhanan (Lahut) dan kemanuisiaan (Nasut). Ketika seseorang mampu mensucikan jiwanya, maka Tuhan akan menyatu dalam dirinya sehingga tidak ada perbedaan antara Lahut dan Nasut, seperti seperti api dan bara yang sulit dipisahkan. Teti keduanya adalah hal yang berbeda. Sedangkan menurut Ibnu ‘Arobi al-Haqq (Lahut dalam istilah al-Hallaj) dan Khalq (Nasut dalam istilah al_Hallaj) adalah dua hal yang sama dan satu. Khalik adalah hakikat makhluk dan makhluk adalah bayngan Khalik.
G. Nur Muhammad
Doktrin tentang Nur Muhammad berkaitan erat dengan doktrin wahdatul wujud. Doktrin ini merupakan penafsiran terhadap kata Nur dalam al-Qur’an. Dalam kitab suci ini memang terdapat beberapa kata “nur” dengan berbagai makna. Salah satunya bermakna Muhammad tercantum dalam surat al-Maidah ayat 15
قد جاءكم من الله نور وكتاب مبين
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahay dari Allah dan kitab yang menerangkan
Selain diambil dari ayat di atas juga difahami dari penjelasan Nabi sendiri
terhadap salah seorang sahabatnya bahwa yang pertama kali diciptakan Tuhan adalah Nur Muhammad. Ayat dan hadits tersebut menjadi objek pembahasan bagi para mufasi seperti Al Qosimi, At-Thobari, Al-Alusi Al-Qurtubi dan para sufi seperti An-Nabhani, Al-Hallaj dan Ibnu ‘Arobi.
Menrut Ibnu ‘Arobi yang pertama diciptakan Tuhan aadalah Nur Muhammad atau Haqiqatul Muhammadiyah (Hakikat Muhammad). Nur Muhammad bertajalli dari Nur Zat-Nya. Nur Muhammad merupakan wadah bertajalli yang paling sempurna karena ia dianggap sebagai khalifatullah atau insan kamil paling istimewa. Haqkikat Muhammad mempunyai dua jalur hubungan, yaitu pertama, hubungan dengan alam semesta, kedua, hubungannya dengan manusia sebagai hakikat manusia.
Dari segi hubungannya dengan alam, Nur Muhammad adalah nur yang pertama diciptakan Allah dan yang dari dalam dirinya dijadikan alam semesta ini, ahalam jasmani dan alam rohani. Jadi Nur Muhammad memuat dalam dirinya apa yang disebut a’yan mumkinat (kenyataan yang mungkin) dan dengan firman “kun” maka segala yang berwujud potensial itu beralih kepada wujud aktual dalam bentuk alam empiris ini.
F. Kritik dan Ancaman Terhadap Ibnu ‘Arobi
Para sufi sering menhadapi resiko tinggi dalam mempertahankan keyakinannya. Mereka mendapat cercaan dan ancaman dari umat islam sendiri. Beberapa diantara mereka bahkan mati dibunuh karena dianggap murtad dan menyesatkan. Misalnya Al-Hallaj, Suhrowardi al Maqtul, Ain Qudhot dan sebagainya. Hal yang sama dialami pula oleh Ibnu ‘Arobi di Mesir hampir saja tewaas dibunuh.
Ibnu ‘Arobi m endapat kritik tajam dari Ibnu Taimiyah, seorang pengikut madzhab Hambali. Selain itu dari Ibnu Qoyyil al-Jauzi, murid utamanya. Dia juga mendapat kritikan dari Ibnu Kholdun (9w. 808 H/1410 M) pakar sejarah dan pensyarah kitab hadits Al-Bukhori dan tokoh madzhab Syafi’i terkemuka di Mesir. Juga mendapat kritikan dari Ibrahim al Biqa’i (w. 858 H/1460 ). Dua buku ditulisnya untuk menyerang Ibnu ‘Arobi, yaitu Tanbihul Ghobi ‘Ala Takfiri Ibnu ‘Arobi (Peringatan bagi Orang Bebal, atas Pengkafiran Ibnu ‘Arobi), Tahzirul Ubbad min Ahlil Inad bil Bid’atil Ittihad (Peringatan bagi Hamba Allah, Golongan Pendurhaka, tentang Bid’ahnya Ittihad).
G. Pembelaan Terhadap Ibnu ‘Arobi
Walau pun banyak yang menentang tapi banyak pula ulama yang mengadakan pembelaan tehadap Ibnu ‘Arobi, diantara mereka adalah Majduddin Al-Firuzzabadi, Quthbuddin al Humawi, Shalahuddin al Shafadi, Sihabuddin Umar, As Suhrowardi (penulis Awariful Ma’arif, bukan Suhrowardi al Maqtul), Fakhruddin Arrazi dan Jalaluddin as Suyuti (pengarang kitab tafsir terkenal), Abdur Razzak al Qusyani dan Abdul Ghazi al Nablusi).
H. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Ibnu ‘Arobi adalah seorang mistikus besar. Hal ini terlihat dari banyaknya tantangan dan pembelaan terhadapnya dari sejumlah ulama terkenal. Sufi filosof dari Spanyol itu berpengaruh besar dalam dunia islam walau pun tidak sebebsar pengaruh al Ghazali.
Konsepnya tentang Tuhan berbeda denghan Hasan Al Basri, Robi’ah al Adawiyah atau al Hallaj. Dia tidak berbicara soal hubungan ketaatan antara Tuhan dan Hamba seperti Hasan Basri atau hubungan cinta antara manusia dan Dzat Yang Maha Indah seperti Robi’ah Baginya Tuhan itu satu satunya Dzat yang wujud, tiada wujud lain kecuali Dia, . Untuk menjelaskan keesaan dan kemutlakan Tuah tersebut, dia mengatakan bahwa makhluk yang beraneka ragam ini memancar dari pikiran Tuhan, tidak tercipta dari tidak ada kemudian ada. Jadi pada hakikatnya alam ini Tuhan juga.
Pemikiran Ibnu ’Arobi tentang wahdatul wujud tampak sekali dipengaruhi konsep hulul dari al Hallaj yang mengatakan bahwa Lahut (unsur Keetuhanan) dan Nasut (unsur kemanusiaan) pada kondisi tertentu dapat bersatu. Dia juga terpengaruh oleh filsafat Neo Platonisme tentang keesaan Tuhan, zat “Yang Pertama” dengan ketunggalan yang sebenar benarnya. Wallahu a’lamu bishowab
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Karen, SejarahTuhan, terjemahan Zainul Am, Mizan, Bandung, 2006
‘Arobi, Ibnu, Misteri Kun Syajarotul Kaun, Tejemahan Wasmukan, Risalah Gusti, Surabaya,2001
‘Arobi, Ibnu, Relung Cahaya,terjemahan Ari Anggari, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996
.
At Taafzzani, Abul Wafa al Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terjemahan Ahmad Rafi Usman, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997
.
Dahlan A. Azis, Sunni dan Tasawuf Falsafi tinjauan Filosofis, dalam jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an vol II, Lembaga Studi Agama dan filsafat, Jakarta 1987.
Fakhri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terjemahan R. Mulyadhi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1987
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta 1984
Ibrahim, Syekh Muhammad, Misteri besar Mansur al Hallaj: Ana’l Haqq, terjemahan Hr. Bandaharo dan Joebaar Ajub, CV Rajawali, Jakarta, 1991
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terjemahan Yudian Wahyudi Asmin, Bumi Aksara, Jakarta 1995
Nassution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978
Noer, Kautsar Azhari, Ibnu ‘Arobi, Whdatul Wujud dalam Perdebatan, Paramadina, Jakarta 1995
Sahabuddin, Nur Muhammad Pintu Menuju Allah, Logos Wacan Ilmu, Jakarta, 2002